sumber gambar: google.com
PANAH KIRANA – Batman, Superman, Spider Man. Ratusan nama pahlawan super ini telah menjadi cita-cita mulia seorang anak usia belia. Kehormatan dan rasa bangga mungkin dua motif utama seorang anak bercita-cita menjadi pahlawan super. Kekuatan luar biasa yang tak dapat diungkapkan dengan kata-kata ia gunakan untuk menolong nyawa orang lain. Seiring berjalannya waktu, sayangnya anak-anak mulai melupakan mimpi mulia mereka. Hidup menerpa dengan keharusan terhadap mimpi dan ekspektasi yang masuk akal. Keinginan untuk menyelamatkan orang lain mulai pudar, digantikan rasa takut untuk dapat mempertahankan diri.
Aku pun tidak luput dari jutaan anak yang melupakan impian untuk menyelamatkan orang lain. Usiaku 6 tahun ketika aku mengutarakan impian tersebut. Tahun-tahun yang kujalani membuatku lupa pada apa yang kuingini. Aku mulai realistis mengenai kekuatan super, namun sayangnya aku juga mulai realistis mengenai kemampuanku yang tak mungkin dapat menyelamatkan seorang manusia. Hari-hari yang kujalani membuatku menanggalkan impianku hingga saat aku berada di sini, berada di depannya.
Usiaku telah genap 16 tahun ketika aku bertemu dengannya. Ia, sebuah wajah tanpa nama. Sebuah bayangan yang mondar-mandir di lorong sekolah. Sampai pada detik aku melihatnya mengeluarkan buku-buku tebal dari lokernya, aku tak pernah benar-benar melihatnya, hanya sekadar memandang. Meski kaki hendak berlari namun mata tetap memandangnya. Entah mengapa, melihatnya kesusahan merapikan buku-bukunya sambil menaikkan kacamata tebalnya membuatku berpikir mengapa aku tak pernah melihatnya. Beberapa detik kuhabiskan memperhatikannya dari kejauhan. Ada yang aneh. Hari ini bukan hari terakhir sekolah tapi kenapa ia membawa buku sebanyak itu? Dengan tidak menghiraukan pikiranku, aku mulai mengayunkan kaki berbalikan dari arahnya berjalan.
BRUKKK…
Buku-bukunya yang banyak dan tebal itu terjatuh ke lantai. Tersentak dan terkejut, aku refleks untuk membalikkan badan. Kudapati kumpulan siswi yang bergerak ke arahku sambil tertawa-tawa dan berbisik. Mataku melihat jauh hingga bayangan terhadap sosoknya yang kurus berlutut mengambili buku-bukunya yang terjatuh ke lantai. Kepalanya menunduk seakan malu kepada dinding-dinding yang menjadi saksi terhadap peristiwa yang tidak kulihat. Kali ini aku tidak hanya diam, melihatnya kesusahan untuk mencari kacamata tebalnya langsung kulayangkan kaki panjangku ke arahnya. Kacamata yang sedang dicari-cari kupungut dan kuberikan kepadanya. Sepertinya aku sudah mengganggu kesendiriannya. Ia menengokkan wajahnya, walau hanya sepintas tapi aku yakin. Di bawah pelupuk matanya, di atas kantung matanya yang menghitam aku melihat sedikit kaca. Kehadiranku rupanya sudah mengeringkan matanya yang hampir basah.
Setelah menyerahkan kacamata tebalnya, aku membantunya memungut satu per satu buku yang terjatuh berserakan di lantai. Menyaksikan laki-laki ini hanya bisa terdiam, aku mencoba meyakinkannya bahwa siswi-siswi yang menabraknya tadi memang anak-anak berandal yang berusaha menjadi pusat perhatian. Usahaku itu rupanya tidak berhasil, ia hanya mengangguk terhadap apa yang kukatakan. Terima kasih yang ia ucapkan seharusnya menjadi aba-aba perpisahan kami. Namun, melihatnya mengangkat buku-buku beratnya sendirian aku menjadi tidak tega. Aku tanyakan di mana ia tinggal. Seperti agak terkejut, ia menjawabku. Ternyata rumahnya tidak jauh dari rumahku. Kutawarkan untuk membantunya membawa buku-buku ini sampai ke rumahnya, toh juga aku akan melewati rumahnya. Beberapa kali ia menolak namun aku tetap menawarkan jasaku hingga ada kata afirmasi keluar dari mulutnya. Ada senyum yang tipis tersungging di pipinya. Senyum itu tulus, namun senyum itu bukan senyum bahagia. Senyum yang kusaksikan itu adalah sebuah senyum yang dapat menghantui pikiran, senyum pahit yang mencoba menutupi sesuatu.
Kedua tanganku yang mulai memerah tidak menghalangi rasa penasaranku. Siapa orang ini? Menggendong buku pelajaran membuat lenganku lunglai, namun kaki tetap menghempas tanah dan mulut tetap berusaha mengorek informasi. Kulontarkan bom pertanyaan-pertanyaan kepadanya. Jawabannya membuatku belum juga puas. Ia masih seorang bayangan yang menghantui benakku. Dengan usaha menenangkan diri, berkenalan dan berbasa-basi saja tidak cukup. Seorang istimewa sepertinya, harus aku pelajari. Entah karena rasa ingin berteman atau ingin tahu yang menjadi motifku, yang kutahu aku mengajaknya untuk bergabung dengan teman-temanku pada hari Senin.
Hari Senin yang kuharap tak pernah datang akhirnya datang juga. Menjalani kegiatan rutin hari ke hari sebagai pelajar rasanya hambar. Namun mulai pada hari Senin ini ada seorang baru yang masuk dalam hidupku. Teman baru yang kukenal pada hari Jumat lalu. Saat istirahat aku mencari bayangannya yang tak terlihat oleh siapapun. Kupikir dia pasti bersama teman-temannya. Sampai pada saat pulang baru kudapati batang hidungnya. Langsung aku tepuk pundaknya dan bercanda mengenai dirinya yang tidak menepati janji untuk istirahat bersama di hari Senin. Air mukanya yang awalnya terkejut dalam hitungan detik berubah menjadi senyum. Entah aku yang mulai gila, atau mungkin senyum ini berbeda dengan senyum yang kulihat di hari Jumat maupun di hari Sabtu. Senyum penuh arti dan kebahagiaan. Senyum tulus yang menggambarkan kesukacitaan tertutup. Senyum yang meneriakkan seribu kata terima kasih secara bersamaan tanpa harus mengeluarkan suara.
Hari demi hari kami lalui bersama-sama tenggelam dalam canda ria, hari demi hari juga aku semakin bisa menaruh susunan puzzle dalam sosok misterius ini. Setelah berjumpa dan bersahabat dengannya, hidupku tidak sama lagi. Kami sinkron bagaikan harmoni lagu. Mengikuti kata Konfusius, kami bagaikan Yin and Yang, kami begitu berbeda namun kami melengkapi satu sama lain. Aku, yang tidak pandai pelajaran dan dia yang tidak pandai olahraga ataupun bergaul. Dunia kami lewati bersama sebagai kawan, sahabat, dan saudara tidak sedarah. Bersama kami mencoba menambal kekurangan satu sama lainnya. Ia yang tak pernah terlihat kini berada di lampu sorot sekolah bersamaku, dan aku yang tidak cemerlang menjadi lebih tajam oleh karenanya. Melewati hari-hari sebagai kombinasi emas, kami melakukan apapun bersama. Aku menariknya keluar dari cangkangnya untuk mengikuti kegiatan olahraga seperti sepak bola, sedangkan dia mengajakku berpikir tinggi sampai setinggi langit. Duo kebanggaan sekolah membuat kami lupa betapa jarum jam selalu berjalan lurus, tak pernah berhenti maupun berbalik arah.
Tahun demi tahun kami lewati hingga datanglah saatnya kami berada di ujung masa keemasan kami. Sosok misterius yang tak pernah terlihat kini menjadi pencuri pandang, memutarkan kepala-kepala di sekelilingnya dengan karismanya ketika ia berjalan. Inilah saatnya perpisahan kami datang, aku sudah tidak dapat lagi menunda perpisahan jalur hidup kami. Hidup sekolah kami telah usai dan kami mencoba meyakinkan diri bahwa semuanya akan baik-baik saja. Dengan bentangan kilometer di antara kami, bersama kami mengatakan bahwa sahabat tidak dapat dipisahkan samudera.
Kami berdiri di muka pintu gedung pesta perpisahan kami. Aku mencoba mengatakan bahwa pidato yang ia bacakan akan menjadi pidato yang paling luar biasa. Sosoknya yang rendah diri selalu meremehkan kemampuan jiwa. Terpilih sebagai perwakilan siswa, ia harus membacakan pidato di depan satu angkatan kami. Aku tidak begitu paham mengapa ia segugup maling kepergok mencuri hanya untuk membacakan pidatonya. Yang aku ketahui hanyalah sahabatku membutuhkan dukunganku. Dengan tangan bergetar, mata tertutup, ia bergumam pelan. Aku tawarkan jasaku sebagai pendengar yang baik untuk mendengarkan pidatonya namun ia bilang pidatonya adalah hadiah. Kebingunganku tidak terjawab karena yang aku tahu dialah yang menerima hadiah sebagai siswa berprestasi dari angkatan kami. Namun, hari ini bukan hari spesial untukku. Hari ini sahabatku membutuhkanku dan hanya dukunganlah yang aku berikan padanya.
Kami duduk bersebelahan, mendengarkan satu per satu pidato mulai dari pidato kepala sekolah hingga namanya disebut. Sebelum ia bangkit, ia mengatakan terima kasih padaku. Aku pikir terima kasih atas apa yang aku lakukan pagi ini, namun terima kasih ini memiliki arti yang jauh lebih dalam dan lebih lama dari sekedar pagi ini.
“Selamat pagi kepada Kepala Sekolah, dewan guru, orang tua siswa, dan teman-teman sekalian. Pada siang hari ini, saya Ardian diberikan kehormatan untuk menjadi perwakilan siswa dengan membawakan pidato perpisahan. Kelulusan adalah waktu untuk kita berterima kasih terhadap setiap orang yang telah membantu kita melalui tahun-tahun sulit yang kita lewati semasa SMA. Orang tua kita, guru kita, saudara kita, dan teman-teman kita. Kebanyakan orang tidak menyadari betapa pentingnya seorang teman, hingga ia merasakan kealpaan dari temannya. Saya berdiri di sini untuk berpidato namun saya akan menceritakan kepada semua hadirin di sini sebuah kisah. Kisah seorang pahlawan super, seorang teman. Seorang pahlawan yang saya temui di awal masa sekolah saya. Di depan hadirin pada hari ini, Ardian yang berdiri di atas podium bukanlah Ardian 2 tahun lalu. Sosok pahlawan inilah yang memberikan kesempatan bagi Ardian 2018 untuk bersinar.”
Pidato kontroversial Ardian menghasilkan ribuan bisik yang menggaduhkan seisi ruangan. Bagaimana tidak, seorang murid andalan sekolah yang dikenal baik hati, sempurna, dan cemerlang mengatakan bahwa ia akan menggunakan kesempatan pidato untuk mengisahkan cerita tentang orang yang ia bilang lebih baik dari dirinya. Tidak ada yang percaya ada orang yang lebih baik dari Ardian. Kepala-kepala mendongak ke kanan dan kiri untuk mencoba mencari sosok pahlawan yang disebutkan oleh Ardian. Aku? Aku hanya duduk manis dan terdiam, mencerna kata demi kata yang Ardian lontarkan.
“Dua tahun lalu, saya adalah seorang hantu. Bukan makhluk gaib namun saya hantu, diri saya tembus pandang, tidak ada yang menyadari keberadaan saya. Saya adalah wajah kabur di belakang wajah-wajah bersinar, saya adalah bahu yang tidak sengaja terdorong karena kehadiran saya tidak disadari. Setiap hari saya berjuang untuk menerima nasib saya sebagai seorang yang namanya tidak cukup menarik untuk diingat. Setiap hari saja berjuang untuk memerangi suara-suara di dalam kepala saya yang mengatakan saya tidak cukup baik untuk diperhatikan. Sampai pada hari itu, hari Jumat seusai sekolah, saya berniat membersihkan setengah loker saya. Untuk apa? Saya ingin mengakhiri hidup saya.”
Bisikan yang bermula pelan berubah menjadi atmosfer keterkejutan yang membuat setiap individu di gedung ini terkesiap.
“Yang mendorongku untuk melakukannya bukan penderitaan fisik, bukan juga cibiran verbal. Jadi apa? Perasaan dikucilkan bahkan tanpa mereka ketahui, perasaan sepi ketika mencari kelompok belajar, perasaan sendiri di tengah kerumunan ramai. Saya berniat membersihkan loker saya, agar ketika saya sudah tiada ibu saya tidak harus membersihkannya dan melihat lorong di mana anaknya merasakan kesedihan yang membulatkan tekad anaknya untuk menghabisi hidup. Sebelum saya sempat mengeluarkan semua isi loker, pahlawan ini membantu saya berdiri ketika kacamata tebal saya terlempar ke ujung ruangan karena seperti biasa, banyak orang yang tak menyadari keberadaan saya. Pahlawan ini, melihat saya. Ia benar-benar melihat saya sebagai Ardian, bukan hanya sebagai wajah yang lalu lalang menjadi wajah kabur pada latar belakang cerita orang lain namun ia melihat saya Ardian sebagai seorang individu. Pahlawan ini membantu saya menemukan Ardian yang hilang dalam kesepian, Ardian yang tenggelam dalam kesendirian. Ia tidak hanya membantu saya membawa buku, ia juga membantu saya menemukan harapan untuk hidup.. Pahlawan ini tidak ragu untuk mendorong Ardian yang tembus pandang ke dalam lampu sorot, hingga tidak hanya kami berdua yang mengetahui keberadaan Ardian. Ia menyelamatkan hidup saya bagaikan pahlawan super. Dialah alasan mengapa Ardian dapat berdiri di atas podium ini. Oleh sebab itu, saya ingin mengucapkan sejuta rasa terima kasih yang tak bisa saya ungkap selama 2 tahun persahabatan kami, kepada pahlawan super saya, Gilang.”
Air mata nakal yang menghianati usahaku untuk tidak menangis tumpah. Satu per satu mengalir di pipiku mendengarkan pengakuan Ardian.
“Terima kasih kepada sahabat baikku, terima kasih pada pahlawan superku. Cita-citamu untuk menjadi pahlawan sudah tercapai bahkan saat kau tidak menyadarinya.”
Tepuk tangan meriah tidak lagi menjadi fokusku. Semuanya menjadi kabur karena tetesan air mata yang membanjiri pelupuk mataku. Pada hari itu, aku bukan lagi Gilang yang dulu. Aku mengetahui bahwa menjadi penyelamat tidak harus memiliki kekuatan super. Karena kekuatan super sesungguhnya adalah tindakan kecil yang kita lakukan pada orang di sekitar kita bahkan pada orang yang tidak kenal. Suatu gerakan kecil membuat kehidupan seorang manusia menjadi lebih baik, kebahagiaan dimulai dari diri kita sendiri. Cita-citaku untuk menjadi pahlawan super sudah terwujud, aku telah menyelamatkan seorang nyawa. Aku adalah pahlawan super.
Comments