top of page
Khuin, Nadia Herdiana, Raoul Pandeirot, Ester Sorya Rifinka Sitinjak

Aceh Sebagai Pelabuhan Kemanusiaan Bagi Pengungsi Rohingya

Belum lama ini, Indonesia kembali dihebohkan dengan berita tentang Rohingya, pengungsi yang kini bertetap di Aceh. Rohingya adalah kelompok etnis mayoritas Muslim yang sebelumnya menetap lama di Rakhine. Myanmar menganggap Rohingya sebagai sekutu Inggris, karena itu Rohingya banyak dibenci oleh penduduk Myanmar. Rohingya mulai meninggalkan Myanmar pada tahun 1990-an dan perpindahan tersebut mulai memuncak pada 2017, ketika Rohingya digencar dengan kekerasan, tindakan diskriminatif, dan genosida oleh militer Myanmar yang akhirnya membuat Rohingya berpindah kembali untuk mencari perlindungan di negara-negara tetangga. Setelah mengungsi ke beberapa negara untuk mencari perlindungan, Rohingya akhirnya berpindah dan bersinggah di Aceh, Indonesia. 


Pengungsi Rohingya yang datang ke beberapa negara, termasuk Indonesia, didorong oleh keputusasaan yang disebabkan atas meningkatnya pembunuhan, penculikan, dan situasi berbahaya di tempat tinggal mereka sebelumnya. Para pengungsi juga berpindah demi mendapatkan keamanan dan kehidupan yang lebih baik. Sebagai tamu bagi Indonesia, pengungsi Rohingya tentunya wajib mengikuti hukum-hukum serta aturan-aturan yang berlaku di Indonesia. Tercatat hingga November 2023, ada tiga gelombang kedatangan ratusan pengungsi Rohingya yang tiba di perairan Aceh tepatnya di Kabupaten Pidie, Aceh Utara, dan Bireuen. “Dalam hitungan kami, sudah lebih dari 30 kali pendaratan pengungsi Rohingya di Aceh. Diharapkan adanya rujukan penanganan pengungsi Rohingya yang komprehensif,” ujar Bapak Husna selaku Koordinator KontraS (Human Rights Organization/The Commission for Disappeared and Victims of Violence).


sumber: bbc.com


Tanggapan Indonesia terhadap Pengungsi Rohingya

Berawal dari masyarakat Aceh yang menyadari banyaknya kapal yang seringkali terdampar di perairan Aceh, alhasil Aceh merespon dengan memberikan aliran bantuan kemanusiaan, seperti menyediakan tempat tinggal sementara, serta dukungan medis bagi pengungsi Rohingya. Respon tersebut bukan tanpa alasan; dikarenakan masyarakat Aceh yang dulunya sempat mengalami bencana besar, maka masyarakat Aceh ingin merespon dengan sebaik-baiknya terhadap pengungsi Rohingya sebagai tanda kemanusiaan. Sikap Indonesia yang bersedia menerima para pengungsi Rohingya di Indonesia dikarenakan identitas Indonesia sebagai negara yang menjunjung tinggi norma Hak Asasi Manusia (HAM), hingga peristiwa ini menjadi perhatian dunia. United Nations High Commissioner for Refugees (UNHCR) melaporkan sejak Oktober 2023, jumlah pengungsi Rohingya di Indonesia mencapai hingga 1.296.525 orang. Sebetulnya, Indonesia belum termasuk ke dalam Konvensi 1951 (the 1951 Refugees Convention) yang merupakan suatu perjanjian multilateral yang mengidentifikasikan status pengungsi dan menetapkan suatu hak untuk memperoleh suaka serta menetapkan suatu tanggung jawab bagi negara pemberi suaka.

 

Dalam menangani pengungsi dari luar negeri, Pemerintah Indonesia membuat Perpres No. 125 Tahun 2016 tentang penanganan pengungsi yang meliputi aspek penemuan, pengaman, penampungan, pengawasan, kerjasama internasional, serta berbagai aspek lainnya. Setelah diciptanya Perpres tersebut, masih terdapat berbagai hal yang belum terakomodir dalam penanganan pengungsi dari luar negeri di Indonesia. Pemerintah Indonesia sekarang tengah menghadapi dilema dalam menerima para pengungsi, karena Indonesia sendiri belum masuk ke dalam Konvensi 1951 yang di mana sebetulnya Indonesia tidak memiliki kewajiban untuk menampung para pengungsi. Hasil rapat koordinasi dan diskusi nasional akan dilaporkan kepada menko Polhukam dan ditindaklanjuti sebagai bahan masukkan ke dalam tindak lanjut pelaksanaan revisi Perpres No.125 Tahun 2016.


sumber: detik.com


Dampak Pengungsi Rohingya Bagi Indonesia

Nyatanya, pengungsi Rohingya tidak hanya berada di Aceh. Pada April 2023 lalu, sebagian dari mereka juga dipindahkan ke Medan dan Pekanbaru. Namun, tingkat pengungsi Rohingya dilaporkan terus menaik di Kawasan Sabang Aceh. Untuk menanggapi hal ini, Presiden Republik Indonesia, Bapak Joko Widodo, meminta Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan, Bapak Mahfud Mahmodin, untuk menangani pengungsi Rohingya di Aceh bersama dengan UNHCR. Indonesia juga dihadapkan dengan sejumlah dampak dikarenakan kedatangan Rohingya, seperti dampak di bidang ekonomi, sosial, serta keamanan. 


Hal ini sebetulnya menimbulkan suatu rasa tanggung jawab bagi Indonesia, melihat terjadi peningkatan pengungsi dan Indonesia harus menyediakan tempat tinggal, layanan kesehatan, makanan, serta fasilitas-fasilitas lain yang layak bagi para pengungsi. Selain itu, peran TNI dan aparat keamanan lainnya juga sangat terlihat dengan sejumlah tindakan serta antisipasi terhadap pengungsi Rohingya. Timbulnya rasa kecemburuan sosial melihat perilaku pihak Pemerintah Provinsi Aceh terhadap kecukupan sumber daya untuk tingkat kemiskinan di Aceh yang cukup tinggi dan potensi terjadinya konflik yang juga menjadi kekhawatiran para warga setempat jika hal ini tidak segera ditanggapi dengan baik oleh pihak pemerintah.


Baru ini juga, ramai beredar kabar penolakan warga Aceh terhadap kedatangan pengungsi Rohingya. Beberapa warga setempat merasa bahwa ketersediaan Indonesia untuk memberikan suatu bantuan kepada Rohingya dimanfaatkan dengan kurang baik. Banyak sekali permasalahan yang terjadi, seperti penyeludupan manusia, Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO), serta bantuan yang diberikan oleh warga setempat dinilai tidak dihargai oleh para pengungsi Rohingya. Tidak hanya itu, pemerkosaan terhadap anak di bawah umur juga terjadi. Kasat Reskrim Polres Pidie Iptu, Rangga Setyadi mengatakan bahwa korban pemerkosaan diancam oleh pelaku dengan senjata, di bilik dimana korban tinggal. Sebagian besar pengungsi Rohingya yang tiba di Aceh sebelumnya juga kabur dari kamp pengungsian di Bangladesh yang merupakan tujuan Rohingya sebelumnya dan hasil penyelidikan polisi setempat menunjukkan bahwa mereka membayar orang Bangladesh atas kapal yang mereka gunakan untuk berlayar ke Indonesia. Kapolda Aceh, Irjen Achmad Kartiko menerangkan bahwa menurut penyelidikan, mereka menemukan pihak pengungsi sengaja membiayai dan membayar kapal dengan awak kapalnya orang Bangladesh untuk masuk ke Indonesia tanpa adanya prosedur yang resmi yang dapat dikategorikan sebagai penyeludupan manusia.


Bapak Joko Widodo mengatakan bahwa bantuan kemanusiaan sementara kepada pengungsi tetap diberikan, dengan tidak menyampingkan kepentingan masyarakat lokal. Perkataan tersebut menanggapi kekhawatiran masyarakat lokal agar tidak terjadi perdebatan di dalam lingkungan masyarakat, melihat tingginya partisipasi masyarakat atas isu kedatangan Rohingya di Indonesia. Hal ini juga disebabkan oleh bertambah besarnya aksi protes yang dilakukan oleh masyarakat Indonesia, khususnya di wilayah Aceh. Aksi protes ini tidak hanya dilakukan secara langsung, namun juga memenuhi media sosial hingga sempat beberapa kali menjadi trending.


Terdapat banyak sekali komentar dan opini masyarakat yang dapat dilihat dari unggahan UNHCR dan UNIN (United Nations Indonesia) yang berisikan, “Para pengungsi tinggal di Indonesia untuk sementara waktu, sampai solusi jangka panjang ditemukan untuk mereka. UNHCR dan IOM berkoordinasi dengan pihak berwenang untuk memastikan bahwa kebutuhan para pengungsi terpenuhi dan mereka dapat hidup secara bermartabat selama berada di Indonesia.” Retno Marsudi sebagai Menteri Luar Negeri menyatakan pada Rabu, 13 Desember 2023 bahwa beliau mengajak masyarakat internasional untuk bekerja sama menghentikan konflik Rohingya di Indonesia dan pengungsi Rohingya dapat kembali ke rumah mereka yaitu di Myanmar. Hal ini disampaikan pada keterangan tertulis di Forum Pengungsi Global di Kantor Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), Jenewa, Swiss. Pada pertemuan GRF (Global Refugee Forum), Bapak Retno juga kembali menegaskan bahwa komitmen Indonesia untuk  memperkuat kerja sama dalam Bali Process yang di mana akan menjadi forum untuk penanganan TPPO serta tindakan pidana lainnya terkait dengan negara asal, negara transit, dan negara tujuan. 


Atas dasar kemanusiaan, memberikan suatu bantuan kepada pihak pengungsi Rohingya seharusnya tidak menimbulkan suatu dampak yang dapat merugikan bagi Indonesia. Walaupun begitu, realitas menunjukkan bahwa adanya potensi tekanan pada sumber daya, serta stabilitas dan kekhawatiran akan keamanan di wilayah tersebut. Pihak Indonesia, khususnya bagi para pemerintah juga perlu memastikan agar potensi tersebut dapat diminimalisasi dan tidak menjadi pengaruh negatif terhadap warga negaranya sendiri. Oleh karena itu, sangat dibutuhkan kerja sama, baik dari tingkat nasional maupun internasional, untuk mengatasi dampak-dampak seperti ini dan menyediakan sebuah solusi yang berkelanjutan bagi pengungsi Rohingya.


sumber: bbc.com


Elemen Hukum Internasional 

Sumber hukum internasional yang sangat penting direferensikan mengenai krisis pengungsi Rohingya adalah Konvensi Pengungsi 1951. Konvensi tersebut merupakan sumber yang secara jelas membentuk definisi dari perlindungan hukum, hak-hak, dan segala bentuk bantuan yang berhak diterima oleh seorang pengungsi. Meskipun Indonesia belum mengesahkan perjanjian ini, Indonesia tetap konsisten menghormati prinsip non-refoulement dimana konsep ini melarang penolakan dan pengiriman pengungsi ke tempat berbahaya. Komitmen ini terlihat dari krisis Timor-Leste pada tahun 1999, di mana Indonesia memberi bantuan kemanusiaan internasional kepada pengungsi Timor-Leste walaupun tidak ada dasar hukum yang berwujud dalam hukum domestik Indonesia yang mencegahnya untuk mengembalikan para pengungsi.


Negara-negara seperti AS, Inggris, Jerman, dan Italia terikat pada non-refoulement karena telah menjadi pihak yang menandatangani Konvensi Pengungsi 1951. Dari tingkat hukum internasional, prinsip non-refoulement telah menjadi hukum adat internasional yang berlaku bahkan bagi negara yang tidak menyetujui Konvensi Pengungsi 1951 seperti negara Afrika Selatan, Mesir, India, dan Turki dan tentunya Indonesia. Fenomena tersebut terjadi akibat dari adanya perjanjian hukum adat internasional dan opinio juris yaitu aksi didasarkan pada faktor-faktor tugas moral, hak asasi manusia, praktik negara yang konsisten, dan kewajiban hukum yang dijelaskan dalam perjanjian internasional, mengokohkan non-refoulement sebagai hukum adat internasional.


Hukum adat internasional memiliki prinsip teguh yang menyatakan negara-negara yang tidak mengekspresikan penolakan terus menerus akan secara otomatis terikat pada hukum adat internasional di bawah non-refoulement. Indonesia mempunyai sejarah sebagai negara yang selalu menunjukkan sikap positif terhadap pengungsi seperti terhadap krisis Timor-Leste yang disebutkan sebelumnya, atau ketika memperoleh bantuan dari PBB dan UNHCR untuk mengakomodasi sebagian pulau-pulau Indonesia kepada pengungsi Vietnam pada tahun 1970-an atau 1980-an. Berdasarkan contoh-contoh ini, terlihat bahwa Indonesia secara konsisten mengikuti prinsip non-refoulement dan sebagai akibatnya, mengikatnya pada hukum adat internasional yang secara hukum mencegah Indonesia untuk mengembalikan para pengungsi Rohingya kembali ke Myanmar.


Hukum adat internasional bukanlah satu-satunya sumber hukum yang mengikat Indonesia untuk melindungi pengungsi Rohingya. Sebagai anggota PBB, Indonesia wajib menjunjung tinggi kebijakan non-refoulement melalui prinsip-prinsip umum hukum. Meskipun bukan negara penandatangan Konvensi Pengungsi tahun 1951, Majelis Umum PBB secara konsisten menyebut perjanjian tersebut sebagai landasan kebijakan pengungsi internasional dan mendesak setiap Negara Pihak untuk menerapkan prinsip-prinsipnya dan memberikan perlindungan pengungsi sesuai kebutuhan. Meskipun keputusan Majelis Umum ini tidak mengikat secara hukum, namun keputusan tersebut tetap mewakili komitmen dan kewajiban Negara-negara Anggota untuk melindungi hak asasi manusia.


Salah satu organisasi besar lainnya di mana Indonesia dan Myanmar menjadi anggotanya adalah ASEAN. Karena dampak yang ditimbulkan oleh pengungsi Rohingya, negara Indonesia mendesak tindakan kolektif regional di ASEAN untuk mengatasi krisis pengungsi Rohingya. Meskipun demikian, salah satu kebijakan organisasi tersebut, yaitu tidak melakukan campur tangan terhadap urusan dalam negeri negara-negara anggota telah menyebabkan tidak adanya tindakan atau intervensi yang diambil dalam menangani pengungsi Rohingya. Meski begitu, Indonesia tetap fokus untuk mendorong dialog dan keterlibatan dalam mencari penyelesaian masalah ini dengan tetap menghormati kedaulatan Myanmar dan pendapat negara-negara anggota ASEAN.


Sebagai anggota Organisasi Maritim Internasional (IMO) sejak 1961, meskipun hanya meratifikasi dua 28 dari 59 instrumen IMO, Indonesia terikat oleh Konvensi Internasional tentang Pencarian dan Penyelamatan Maritim. Konvensi ini mewajibkan Indonesia untuk membantu mereka yang kesulitan di laut, termasuk migran dan pengungsi.


Meski demikian, undang-undang yang dibicarakan masih termasuk hukum lunak yang berarti tidak mempunyai kekuatan mengikat secara hukum. Ini memberikan ruang untuk perdebatan, dengan beberapa pihak mendukung memulangkan pengungsi. Oleh karena itu, meski ada dukungan nasional dan internasional untuk perlindungan pengungsi, isu kekuatan mengikat undang-undang ini untuk mencegah pemulangan pengungsi masih menjadi topik perdebatan.


36 views0 comments

Comentarios


Post: Blog2 Post
bottom of page