top of page

@america Event: Creative Content Protection in the Digital World dan Tantangan Penguatan Regulasi HAKI di Indonesia

  • Writer: Panah Kirana
    Panah Kirana
  • Oct 1
  • 5 min read

Oleh Geby Khusi Manuella dan Verlyn Adelaide Tzuriel Shillo

ree

Saat ini, industri kreatif global banyak mendapat sorotan karena pertumbuhannya yang sangat cepat, terutama dalam skala global. Tidak hanya itu,  Indonesia menempatkan posisinya dalam peringkat ke-54 dari 133 negara yang berkontribusi dalam sektor ini menurut Global Innovation Index. Pertumbuhan ini membuka peluang besar bagi para kreator untuk menerapkan ide kreatif dan mengembangkan karya, khususnya dalam ranah digital yang semakin kompetitif. Di samping itu, kemajuan tersebut menciptakan tantangan baru terkait perlindungan karya agar tidak mudah ditiru maupun dibajak. Hal ini menjadi isu utama dalam acara yang mengangkat tema “Creative Content Protection in the Digital World” yang diselenggarakan @america  pada 18 Agustus 2025 di Pacific Place Mall, Lantai 3, Jakarta Selatan, Indonesia.

Diskusi yang dilakukan memberikan sudut pandang yang beragam dari latar profesionalisme yang berbeda, yaitu Pete C. Mehravari selaku Director of Policy and Legal Affairs International Intellectual Property Alliance (IIPA), Ardianto Indra Kusuma (animator dan CEO Punopals), Ayunda Kusuma Wardani (CMOO Punoplas), dan Muhammad Neil El Himam dari Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (“Kemenparekraf”). Forum ini dipandu oleh seorang jurnalis, yaitu Satya Pramesi selaku moderator yang mengarahkan jalannya percakapan agar setiap sudut pandang narasumber dapat tersampaikan dengan sistematis. Para narasumber memandang bahwa perlindungan hak kekayaan intelektual merupakan landasan normatif yang menentukan legitimasi serta mendorong pertumbuhan dan keberlanjutan sektor industri kreatif ini. Dalam forum tersebut juga dipaparkan bahwa ragam perlindungan hak kekayaan intelektual sebagaimana halnya hak cipta, hak paten, merek dagang, desain industri hingga rahasia dagang menjadi suatu kerangka hukum yang tidak semata-mata berorientasi untuk melindungi individu kreator, tetapi juga sebagai penopang daya saing ekonomi nasional.

Berdasarkan pemaparan forum ini, Indonesia sudah menunjukkan tren positif terkait pendaftaran hak kekayaan intelektual, yaitu terdapat 265 pendaftaran Hak Kekayaan Intelektual (“HKI”) sepanjang tahun 2019-2024. Meskipun demikian, hal tersebut belum cukup merefleksikan potensi besar dari sektor industri kreatif, kondisi ini memperlihatkan adanya kesenjangan antara potensi ekonomi kreatif dengan karya yang memperoleh perlindungan hukum secara formal. Dapat dikatakan, permasalahan yang menonjol adalah ketidakseimbangan antara percepatan perkembangan digital dengan kapasitas regulasi yang belum cukup untuk mengimbangi dinamika tersebut. Deputi Bidang Ekonomi Digital dan Produk Kreatif Kemenparekraf, Muhammad Neil El Himam, juga menegaskan perlunya regulasi yang berorientasi pada perlindungan hak kreator, transparansi, kompensasi yang adil, serta harmonisasi dengan rezim hukum internasional.

Namun, dari perspektif kreator, pengajuan lisensi maupun proses pendaftaran HKI memang telah mendapat sedikit kemudahan administratif pada beberapa kategori. Akan tetapi, hambatan masih ditemui, yaitu lamanya prosedur birokratis yang memperlambat penyelesaian dan penerimaan HKI yang telah diajukan oleh kreator. Disamping itu, masih ada kesenjangan pemahaman antara kalangan kreator Intellectual Property (“IP”) mengenai fungsi HKI sebagai legal value (mekanisme perlindungan) dan economic value  (komersialisasi). Hal ini merupakan bentuk ketidakselarasan antara kerangka normatif di tingkat negara dan realitas yang dihadapi para kreator. Kerangka normatif sendiri pada dasarnya merujuk pada aturan hukum, peraturan perundang-undangan, serta prinsip-prinsip yang menjadi acuan dalam mengatur suatu bidang. Oleh karena itu, edukasi hukum perlu lebih ditegaskan lagi agar para kreator memahami urgensi pendaftaran karyanya dalam sistem HKI.

Forum ini turut membahas kerangka nasional yang secara khusus mengatur mekanisme perlindungan HKI di Indonesia.  Terdapat beberapa jenis HKI di Indonesia, diantaranya adalah paten, merk, desain industri, hak Cipta, indikasi geografis, rahasia dagang, dan desain tata letak sirkuit terpadu (DTLST). Dalam talkshow nya, @america berfokus kepada bagaimana kondisi dan mekanisme perlindungan terhadap hak cipta (copyrights) dan hak merek (trademark) yang melekat pada dunia kreatif digital. Hal tersebut telah diatur dalam Undang-Undang No. 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta dan Undang-Undang No. 20 Tahun 2016 tentang Hak Merek dan Indikasi Geografis. Undang-undang ini menjadi perwujudan mengenai hak masyarakat untuk mengembangkan diri dan memperoleh perlindungan hukum seperti yang diatur dalam Pasal 28C ayat (1) yang berbunyi “Setiap orang berhak mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan dasarnya, berhak mendapat pendidikan dan memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya, demi meningkatkan kualitas hidupnya dan demi kesejahteraan umat manusia.” dan Pasal 28D ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang berbunyi “Setiap orang berhak untuk bekerja serta mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja”. 

Selain peraturan tersebut, terdapat beberapa peraturan lain yang turut disinggung karena masih berkenaan dengan perlindungan dalam dunia kreatif. Diantaranya adalah hak paten yang diatur dalam Undang-Undang No. 13 Tahun 2016 tentang Ppaten yang kemudian mengalami perubahan di Undang-Undang Nomor 65 Tahun 2024 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2016 tentang Paten dan rahasia dagang diatur dalam Undang-Undang No. 30 Tahun 2000 tentang Rahasia Dagang. Dalam konteks peraturan, Bapak Muhammad Neil El Himam, M.Sc., juga memaparkan bahwa peraturan tentang hak cipta di Indonesia masih harus dikembangkan, terutama dalam hal proteksi penuh terhadap creator dan nilai ekonominya, serta memastikan perlindungan yang sempurna dalam hal-hal yang seangkatan dengan AI. Selain itu, Mr. Pete menyampaikan jika ingin melakukan studi komparatif, Indonesia dapat mengadopsi konsep regulasi perlindungan tentang hak cipta yang diterapkan Amerika, khususnya dalam pengajuan hak-hak yang mengadopsi prinsip fundamental Rule Of Law. Ia menegaskan bahwa hukum harus efektif dan memiliki mekanisme penegakan pengadilan yang tegas.

Dalam dunia proteksi digital kreatif, ditekankan konsep bahwa Intellectual Property bukan hanya digunakan sebagai modal saja, tetapi juga sebagai aset yang nantinya akan memberikan nilai ekonomi bagi sang kreator.  Dalam pembahasan, berbagai sudut pandang dibawa ke dalam sebuah diskusi komprehensif dimana para kreator memaparkan tantangan di lapangan dalam hal biaya pendaftaran, kesulitan administratif, serta kurangnya pemahaman komersial. Indonesia sendiri telah memiliki cakupan jenis IP yang luas, namun dalam praktiknya masih dinilai lemah karena penegakan hukum yang belum merata serta permasalahan backlog, yakni penumpukan permohonan yang belum terselesaikan, yang memperlambat proses.  Menanggapi hal tersebut, Pete C. Mehravari menegaskan bahwa dalam penerapan strategi IP sangat diperlukan sebuah ‘toolkit’ yang mencangkup skema pembiayaan pendaftaran, panduan, dan template perjanjian lisensi yang tepat demi menghindari gap yang akan merugikan kreator. 

Dalam jalan diskusinya, forum ini menyoroti juga tentang urgensi standar etika, khususnya dalam AI pada proses kreatif. Output AI yang sepenuhnya dikendalikan oleh data korporasi seringkali menimbulkan penyalahgunaan sehingga diperlukan izin atau lisensi khusus, disamping itu dikatakan AI yang berfungsi sebagai assistive tool harus tunduk pada kode etik dan atribusi yang jelas. Deputi Kemenparekraf melengkapi bahwa dengan pertumbuhan sektor kreatif mencapai 120%, memunculkan kebutuhan perlindungan  hukum yang lebih krusial sehingga regulasi harus lebih adaptif, salah satunya dengan pembentukan Pedoman Nasional Penggunaan AI. Dalam konteks tersebut, forum melalui pemaparan Mr. Pete, membandingkan praktik di Amerika Serikat yang dinilai lebih stabil dalam penegakan hukum dan komersialisasi IP, hal ini guna memberi gambaran bagi sistem Indonesia yang masih menghadapi persoalan backlog, pembajakan dan rendahnya transparansi dalam proses pengajuan, pemeriksaan, dan peresmian HKI di Indonesia.

Talkshow Creative Content Protection in the Digital World menjadi sarana penting dalam pengembangan perlindungan dunia kreatif digital yang terus berkembang pesat. Acara ini meningkatkan kesadaran kreator akan pentingnya proteksi karya sekaligus memberi ruang bagi mahasiswa hukum untuk memahami legal gap yang ada. Forum ini juga membuka diskusi dengan berbagai pihak, mulai dari kreator, pemerintah, penegak hukum, hingga komunitas internasional. Melalui acara ini diharapkan setiap golongan semakin sadar bahwa kolaborasi seluruh komponen negara sangat penting untuk membangun perlindungan tersebut.


 
 
 

Comments


Post: Blog2 Post
bottom of page