Ancaman Romantisisasi Perkawinan Anak di Dunia Hiburan
- Rafaella Winarta & B. Amanda Kaulika
- Jun 11, 2021
- 3 min read

Sinema elektronik atau biasa disebut sinetron merupakan salah satu bentuk hiburan yang diminati masyarakat Indonesia sebagai sarana hiburan pengisi waktu luang. Dalam KBBI, sinetron diartikan sebagai film yang dibuat khusus untuk penayangan di media elektronik seperti televisi. Namun pada umumnya, sinetron memiliki bentuk penayangan yang berlanjut selama beberapa hari dengan alur cerita yang lebih panjang dibandingkan dengan film.
Walau hanya sebagai sarana hiburan, pesan yang disampaikan dari alur cerita suatu sinetron seringkali sangat berpengaruh terhadap kebiasaan yang dilakukan masyarakat sehari-hari. Sebagai contoh, kenakalan seorang remaja yang sering membantah orang tua sering kali dikaitkan dengan pengaruh sinetron. Maka dari itu, pesan yang disampaikan dan cerita dalam sinetron harus diawasi agar tidak membawa pengaruh buruk terhadap masyarakat.
Hal tersebut merupakan alasan dibalik mengapa sinetron Suara Hati Istri Zahra dari stasiun televisi Indosiar mendapat kecaman dari masyarakat Indonesia. Pasalnya, sinetron ini mengangkat alur cerita seorang anak perempuan, Zahra, yang baru lulus SMA sebagai istri ketiga dari seorang pria paruh baya. Ditambah lagi dalam penyampaiannya, sebagian besar masyarakat yang mengecam merasa bahwa sinetron tersebut meromantisisasi perkawinan anak.
Protes masyarakat Indonesia memuncak setelah diketahui bahwa pemeran dari tokoh Zahra, merupakan artis dengan inisial LC yang baru berusia lima belas tahun. Merasa suaranya tidak ditanggapi oleh pihak stasiun televisi, masyarakat memulai petisi di Change.org yang telah mencapai lebih dari tujuh puluh lima ribu tanda tangan. Petisi tersebut ditujukan kepada Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) dengan permohonan untuk menghentikan tayangan sinetron Suara Hati Istri Zahra.
Pada saat petisi tersebut telah mencapai lima puluh ribu tanda tangan, pihak KPI memberikan tanggapan positif. Sebelum akhirnya dihentikan seluruhnya, pihak stasiun televisi sempat hanya akan menggantikan pemeran Zahra dengan artis yang sudah dewasa.
Menanggapi penghentian sinetron tersebut, Komisioner Pusat KPI Bidang Kelembagaan, Nuning Rodiyah, menyatakan bahwa keputusan tersebut diambil oleh KPI dengan pertimbangan bahwa sinetron Suara Hati Istri Zahra dapat berpotensi menjadi stimulan dalam meningkatnya angka pernikahan anak. Romantisisasi perkawinan anak yang digambarkan dikhawatirkan memicu keinginan pelajar dibawah umur untuk memilih menikah dibandingkan melanjutkan pendidikan.
Keputusan KPI ini juga didukung oleh Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA), Bintang Puspayoga, yang menyatakan bahwa tayangan tersebut tidak mendidik dan melanggar hak anak. Menurut Puspayoga, langkah yang diambil KPI penting dalam mencegah perkawinan anak serta perlindungan anak dari kekerasan seksual seperti pedofilia.
Pedofilia atau yang biasanya dikenal dengan pedofil adalah adalah gangguan mental yang terjadi pada orang dewasa. Gangguan mental ini adalah ketertarikan secara seksual, orang yang dewasa terhadap anak kecil atau orang dibawah umur.
Di Indonesia sendiri, kasus pedofil tidaklah sedikit, terlepas adanya UU No. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Dalam Pasal 82 diatur bahwa setiap orang yang dengan sengaja melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan, memaksa, melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan, atau membujuk anak untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 tahun dan paling singkat 3 tahun dan denda paling banyak Rp300 juta dan paling sedikit Rp60 juta.
Deputi Bidang Perlindungan Anak Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA), Nahar, mengatakan bahwa sejak Januari hingga Juli 2020, tercatat sebanyak 4.116 kasus kekerasan pada anak di Indonesia, banyak diantaranya adalah anak yang mengalami kekerasan secara seksual yang dilakukan oleh orang dewasa. Hal ini bukanlah angka yang sedikit karena 4.116 anak bangsa sudah mengalami trauma yang mendalam.
Selain pedofilia dan kekerasan seksual yang terjadi pada anak, di Indonesia sendiri kasus pernikahan dini juga bisa dianggap sesuatu yang wajar. Dimana dalam pernikahan dini yang dilakukan oleh anak dibawah umur, tidak hanya terjadi pada sesama pasangan dibawah umur ( laki- laki dan perempuan sesama umur ) namun juga bisa terjadi diantaranya ada pihak yang lebih tua.
Penyebab pernikahan dini di Indonesia sangatlah beragam, mulai dari keluarga miskin yang tidak bisa membayar hutang, memang dijodohkan, atau adanya paksaan. Pernikahan dini yang dimana pasangannya lebih tua jauh diatasnya dapat menyebabkan kekerasan seksual yang dapat menimbulkan trauma pada anak. Kasus pernikahan dini yang terjadi pada anak di Indonesia bisa dibilang cukup tinggi, walaupun setiap tahunnya mengalami penurunan, pada tahun 2017 perkawinan anak mencapai 11,54 persen akan tetapi pada 2021 angka perkawinan anak sudah turun menjadi 10,19 persen.
Sama dengan kasus pedofilia, pernikahan anak sendiri juga sudah diatur didalam UU Nomor 16 Tahun 2019, bahwa minimal umur untuk menikah adalah sembilan belas tahun untuk pria dan wanita dengan izin orang tua dan dua puluh satu tahun untuk kedua pihak tanpa izin orangtua. Menurut Komisi Perlindungan Anak Indonesia, penambahan batas umur minimal pernikahan merupakan sebagai upaya untuk menekan angka pernikahan anak yang marak terjadi dikalangan pelajar SMP-SMA. Dengan mencegah pernikahan usia anak, diharapkan dapat memperbaiki angka putus sekolah pada pelajar Indonesia.
Comments