Pernikahan Gus Zizan dan Kamila Asy Syifa | Sumber Gambar: Suara.com
Panah Kirana - Kasus pernikahan dini yang melibatkan tokoh publik kembali menyoroti permasalahan mendasar terkait penegakan hukum di Indonesia. Pernikahan dini adalah pernikahan yang dilangsungkan oleh individu yang belum mencapai batas usia sesuai dengan ketentuan dalam perundang-undangan. Seperti contohnya yang terjadi pada Ustad Gus Zinan yang berusia 19 tahun, ia menikahi Kamila Asy Syifa yang baru berusia 17 tahun. Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 jo. Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 (“UU Perkawinan”) menyatakan bahwa usia minimal untuk melangsungkan perkawinan adalah 19 tahun bagi pria dan wanita. Dengan demikian, Kamila yang masih berada di bawah usia tersebut tidak seharusnya diizinkan untuk menikah menurut hukum yang berlaku. Kasus ini mencerminkan adanya kesenjangan antara kesadaran hukum masyarakat dengan peraturan yang berlaku, serta perlunya pengawasan dan penegakan hukum yang lebih ketat.
Tidak hanya bertentangan dengan regulasi, praktik pernikahan dini juga berpotensi untuk merampas hak anak dalam bidang pendidikan, kesehatan, dan perlindungan sebagaimana tercantum dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 jo. Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 Tentang Perlindungan Anak (“UU Perlindungan Anak”). Pernikahan dini berisiko menyebabkan anak meninggalkan bangku sekolah, menghadapi masalah kesehatan, serta hidup dalam lingkungan yang rentan terhadap eksploitasi. Pernikahan dini mencerminkan lemahnya pengawasan hukum di Indonesia, di mana norma sosial yang kuat seringkali menormalisasikan praktik tersebut. Kedua hal tersebut menjadi faktor utama mengapa fenomena ini masih marak terjadi di negara kita. Meskipun UU Perkawinan telah mengatur batas usia minimal perkawinan, sayangnya angka pernikahan dini masih tergolong tinggi. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), pernikahan dini telah mencapai 10,5% per tahun dalam satu dekade terakhir, menunjukkan kondisi memprihatinkan yang dapat merusak masa depan generasi bangsa. Lalu, apakah pernikahan dini yang melanggar ketentuan Undang-Undang dapat memperoleh izin dari pengadilan? Berdasarkan Pasal 7 ayat (2) UU Perkawinan, orang tua dapat meminta dispensasi kepada pengadilan dengan alasan yang sangat mendesak, dan disertai dengan bukti- bukti pendukung. Namun, kriteria dispensasi yang ambigu seringkali membuka celah bagi pihak-pihak tertentu untuk memanipulasi sistem dan memfasilitasi pernikahan anak.
Pernikahan dini bukan hanya sekedar masalah hukum, tetapi juga masalah kemanusiaan. Praktik ini pada kebanyakan akan berdampak buruk pada fisik dan mental anak yang akan menghambat masa depan mereka. Dari segi kesehatan fisik, pernikahan dini dapat berdampak pada kesehatan reproduksi perempuan muda. Jika seorang perempuan muda belum siap fisik mengalami kehamilan, ia berisiko mengalami komplikasi selama kehamilan. Selain itu ketidaksiapan fisik dan tuntutan beban fisik yang tinggi akan menyebabkan masalah kesehatan jangka panjang seperti anemia dan gangguan pertumbuhan. Dari aspek psikologis, perempuan muda yang menikah di dalam tekanan akan lebih rentan mengalami baby blues. Kondisi ini diperburuk oleh kurangnya keterampilan parenting yang disertai dengan beban tanggung jawab mengurus keluarga. Pada umumnya seorang yang menikah dini tidak memiliki dukungan sosial yang cukup sehingga dapat memperburuk kondisi emosional mereka.
Melihat maraknya kasus pernikahan dini, dibutuhkan peran krusial serta tindakan nyata pemerintah dalam mencegah serta mengurangi kasus pernikahan dini di Indonesia. Upaya pencegahan harus dilakukan secara sistematis dan strategis untuk melindungi hak-hak anak. Kolaborasi antara pemerintah dengan lembaga terkait seperti lembaga perlindungan anak, tokoh agama, dan peran masyarakat sipil juga merupakan kunci utama dalam mengatasi masalah ini. Mengubah pola pikir dan norma sosial yang mendukung terjadinya pernikahan dini merupakan langkah pertama yang dapat dilakukan untuk mencegah praktik ini.
Langkah strategis yang dapat dilakukan oleh pemerintah salah satunya adalah dengan melakukan pendidikan seks yang komprehensif. Pendidikan ini tidak hanya berfokus untuk membantu remaja mengenali tubuh dan perkembangan seksual mereka saja, tetapi juga membekali remaja terkait dampak jangka panjang dari pernikahan dini terhadap kesehatan dan masa depan mereka. Kesadaran ini mendorong mereka untuk menunda pernikahan mereka hingga mereka benar-benar siap secara fisik maupun mental. Tidak hanya itu, pendidikan seks juga dapat meningkatkan kepercayaan diri, sehingga mereka mampu menolak tekanan sosial untuk menikah di usia muda dan memberdayakan anak-anak untuk memiliki pilihan hidup yang lebih baik.
Selain memberikan pendidikan seks, pemerintah bersama tokoh agama, dan lembaga perlindungan anak dapat bekerja sama dalam membangun program-program pencegahan pernikahan dini berbasis agama, melalui khutbah dan ceramahnya. Para Tokoh agama dapat berperan aktif dengan menyampaikan pesan tentang bahaya, serta pentingnya menunda pernikahan sampai waktu yang tepat. Edukasi tidak hanya diberikan kepada anak, namun juga pada orang tua yang memiliki kewajiban untuk mencegah terjadinya perkawinan sesuai dengan Pasal 26 ayat (1) nomor 3 UU Perlindungan Anak serta pemerintah dan lembaga yang memfasilitasi konseling bagi korban pernikahan dini.
Partisipasi masyarakat juga menjadi kunci dalam memberantas kasus pernikahan dini dengan membangun jaringan masyarakat yang peduli terhadap perlindungan anak sebagai langkah strategis dalam mengatasi pernikahan dini sebagaimana dicantumkan pada pasal 25 ayat 1 UU Nomor 35 Tahun 2014, dimana masyarakat sipil memiliki peran sebagai pengawas dan pelapor. Jaringan masyarakat yang kuat akan membuat laporan menjadi lebih kredibel yang akan mendorong aparat penegak hukum untuk menangani kasus laporan dengan tegas dan sigap. Selain itu laporan masyarakat menjadi input penting bagi pemerintah untuk merumuskan kebijakan dan mengalokasikan sumber daya untuk menangani kasus pernikahan dini.
Pemerintah juga diharapkan dapat memperhatikan penegakan hukum terkait praktik pernikahan dini, seperti penegasan sanksi terhadap pihak-pihak yang memfasilitasi pernikahan dini, khususnya bagi orang tua seperti yang tercantum pada pasal 26 huruf c UU Nomor 35 Tahun 2014. Kolaborasi dengan media massa juga sangat penting untuk menyebarluaskan informasi yang benar tentang hak-hak anak dan bahaya pernikahan dini, sehingga masyarakat khususnya remaja mendapatkan pengetahuan lebih terkait resiko pernikahan dini. Seperti pemanfaatan media berbasis audio visual dalam mencegah pernikahan dini pada remaja di Gunung Kidul Yogyakarta, dan menghasilkan peningkatan pemahaman sebesar 91,2%, dan terjadi perubahan sikap pada remaja sebesar 90,1%. Data tersebut membuktikan bahwa media massa dapat digunakan sebagai sarana untuk mendukung pencegahan pernikahan dini.
Bentuk Sertifikasi Pranikah (Sertifikat Layak Kawin) | Sumber Gambar: detik.com
Pertanyaan penting yang muncul adalah sejauh mana pemerintah dan lembaga terkait telah berperan dalam mencegah pernikahan dini. Hingga saat ini, guna mengurangi angka pernikahan dini pemerintah telah menerapkan kebijakan sertifikasi pranikah pada tahun 2020, kegiatan ini merupakan bimbingan pranikah dengan materi pembekalan antara lain reproduksi remaja, kewajiban suami istri, dan pengelolaan keuangan yang baik. Terkait hal ini, evaluasi terhadap kinerja pemerintah dengan lembaga terkait perlu diperhatikan lebih lagi untuk memastikan bahwa upaya pencegahan yang dilakukan benar-benar memberikan dampak signifikan dan berkelanjutan.
Undang-Undang Perlindungan Anak telah memberikan payung hukum yang kuat untuk mencegah praktik pernikahan dini, namun implementasinya dalam lapangan masih harus ditingkatkan lagi. Kolaborasi antara pemerintah dan lembaga terkait serta peran masyarakat sipil diharapkan dapat mendukung penanganan kasus ini, hal ini demi memperjuangkan hak-hak anak yang merupakan generasi penerus bangsa. Penegakan hukum harus menjadi tombak untuk menjadikan anak Indonesia penerus bangsa yang berintegritas, karena hukum yang baik akan menghasilkan penerus bangsa yang baik pula. Dengan demikian kita dapat menciptakan lingkungan yang kondusif bagi tumbuh kembang anak, serta memutus rantai pernikahan dini yang akan merusak generasi bangsa.
Refrensi
Situs:
Budianto, Y. (2024a, March 8). Tingginya Angka Perkawinan usia anak di Indonesia. kompas.id. https://www.kompas.id/baca/riset/2024/03/08/tingginya-angka-perkawinan-usia-anak-di-indonesia
Oktari, R., & Finaka, A. W. (2022). Pentingnya Pendidikan Seksual Pada Anak: Indonesia Baik. indonesiabaik. https://indonesiabaik.id/infografis/pentingnya-pendidikan-seksual-pada-anak
Rahayu , D. (n.d.). Pentingnya Pendidikan seks pada anak usia Dini Di era Digital. Universitas Jambi. https://www.unja.ac.id/pentingnya-pendidikan-seks-pada-anak-usia-dini-di-era-digital/
Jurnal:
Khasanah, N., Liliana, A., & Benu, O. D. (2023). Pemanfaatan Teknologi Media Berbasis Audiovisual Dalam Mencegah Pernikahan Dini Pada Remaja di gunung kidul Yogyakarta. Journal of Public Health Innovation, 4(01), 17–24. https://doi.org/10.34305/jphi.v4i01.888
Peraturan
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 jo. Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 ("UU Perkawinan")
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 jo. Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 Tentang Perlindungan Anak (“UU Perlindungan Anak”).
Comentários