top of page
Syalaisha Athaaya Devana dan Khuin

Pembela Lingkungan Karimunjawa Divonis 7 Bulan Penjara


Sumber gambar: bbc.com


Mempertahankan kelestarian lingkungan melibatkan usaha untuk menjaga kemampuan ekosistem terhadap tekanan perubahan dan dampak buruk dari aktivitas manusia, serta memelihara stabilitas lingkungan agar tetap menjadi habitat yang layak bagi manusia, hewan, dan tumbuhan. Tanggung jawab menjaga lingkungan ini tidak hanya terletak pada organisasi, perusahaan, atau pemerintah semata, tetapi juga menjadi tanggung jawab seluruh komunitas masyarakat. Kurangnya kesadaran dan keapatisan masyarakat terhadap pentingnya menjaga lingkungan membuat beberapa orang tergerak untuk menyuarakan serta mengedukasi akan pentingnya melestarikan lingkungan, contohnya adalah Daniel Frits Maurits.


Daniel Frits Maurits Tangkilisan merupakan seorang aktivis lingkungan yang melawan pencemaran lingkungan akibat adanya tambak udang ilegal di Jepara. Daniel mengunggah sebuah video berdurasi kurang lebih 6 menit di akun Facebook miliknya, di mana video tersebut menunjukkan bagaimana kondisi Pesisir Karimunjawa yang terdampak limbah tambak udang. Dalam unggahan tersebut, Daniel menambahkan sebuah komentar: "Masyarakat otak udang menikmati makan udang gratis sambil dimakan petambak. Intine sih masyarakat otak yang itu kaya ternak udang itu sendiri. Dipakani enak, banyak & teratur untuk dipangan." Komentar tersebut dilaporkan oleh seorang warga berinisial R dengan dalih komentar Daniel mengandung unsur kebencian atas Suku, Agama, Ras, dan Antargolongan (SARA) karena menyebut “otak udang.”


Dalam lingkungan masyarakat yang multikultural, khususnya di Indonesia, memahami dan menghindari penggunaan suatu pernyataan yang mengandung unsur SARA adalah kunci untuk menjaga ketertiban dan keharmonisan dalam lingkungan masyarakat tersebut. Sebuah ungkapan atau pernyataan yang dianggap “merendahkan,” terutama yang berkaitan dengan SARA menjadi pemicu timbulnya perselisihan antar komunitas. Pada kasus Daniel, komentar dirinya terhadap penambakan udang ilegal di Jepara tersebut dengan menggunakan istilah “otak udang” yang dipersepsikan atau dilihat sebagai pemicu timbulnya kontroversi. Pada akhirnya, niat dari Daniel untuk menyoroti kerusakan lingkungan tersebut menjadi tertutupi oleh isu-isu yang mengandung SARA yang muncul akibat komentar dari Daniel. Perhatian publik lebih terfokus pada kontroversi bahasa yang digunakan oleh Daniel tersebut daripada dampak lingkungan dari tambak udang ilegal tersebut.


Atas tindakannya, Daniel Frits Maurits, dijatuhi hukuman penjara selama 7 bulan dan sanksi sebesar Rp5 juta. Dari kejadian ini muncul berbagai pertanyaan mengenai bagaimana tindakan yang dimaksudkan untuk melindungi alam dan lingkungan dapat dianggap sebagai pelanggaran hukum. Daniel selaku aktivis lingkungan tersebut dituduh melakukan tindakan merugikan pihak lain, yang dimana menurut hukum yang berlaku di Indonesia dapat dijatuhi sanksi. Pengadilan menuntut dengan berbagai pelanggaran yang Daniel lakukan dengan bukti-bukti dengan akurat dan sah dalam persidangan, mencangkup tindakan yang dilakukan, hasil dari tindakan tersebut, serta niat atau dalam bahasa hukum disebut dengan mens rea. Dari bukti-bukti yang ditemukan, pengadilan akhirnya menetapkan bahwa perbuatan aktivis tersebut terbukti secara sah melanggar pasal yang dituduhkan dan dinyatakan bersalah karena melakukan penyebaran informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian terhadap kelompok masyarakat tertentu.


Dalam kasus tersebut, hukum yang dijatuhkan ialah Pasal 28 ayat (2) Undang-Undang tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) yang terbaru. UU ITE dibuat untuk menjerat pihak dengan tuduhan menyebarkan informasi-informasi yang dapat merugikan atau dapat memprovokasi pihak lain melalui media digital. Pasal-pasal lain yang terdapat dalam UU ITE juga dapat dijatuhkan terhadap kasus pencemaran nama baik atau penyebaran informasi hoax. Hal ini menjadi bertentangan dengan hak kebebasan berpendapat yang telah disebutkan di dalam Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UU PPLH), yang seharusnya dimiliki oleh para aktivis pembela lingkungan. UU PPLH adalah peraturan yang bertujuan untuk melindungi, mengatur, dan memulihkan kondisi lingkungan hidup yang merupakan hak dasar setiap warga negara. UU ini mendorong aktivitas yang berfokus pada pelestarian lingkungan serta mendukung inisiatif oleh individu atau kelompok dalam menjaga kesehatan dan keberlanjutan alam. 


Situasi permasalahan hukum ini menunjukkan adanya bentrokan antara kewajiban dan keinginan negara untuk melindungi lingkungan dengan potensi tuntutan hukum yang dapat menjerat aktivis dalam cara mereka menyampaikan pesan kepada masyarakat. Kasus ini berdampak besar bagi para aktivis lingkungan, di mana hal ini membuat mereka mempertimbangkan ulang sebelum melakukan tindakan serupa, sehingga pada akhirnya dapat mengurangi efektivitas dalam upaya pelestarian lingkungan. Kondisi ini menunjukkan pentingnya penyesuaian hukum untuk memastikan bahwa para aktivis lingkungan dapat melaksanakan pekerjaannya tanpa adanya kewaspadaan akan ancaman hukum yang dapat menghambat suara mereka dalam melindungi dan melestarikan lingkungan. Aktivis lingkungan memainkan peran penting dalam mendorong kesadaran publik terhadap kebijakan lingkungan, di mana seringkali melibatkan pengumpulan dan penyebaran informasi tentang praktik berbahaya yang dapat merusak lingkungan, serta memberi solusi dan upaya dalam menjaga kesehatan dan kelestarian lingkungan. Melihat hal tersebut, penggunaan yang semakin intensif dari UU ITE terhadap aktivis lingkungan telah memunculkan kecemasan yang mendalam mengenai pembatasan kebebasan atas pekerjaan mereka tersebut. 


Rapin Mudiarjo, pengacara Daniel Frits Maurits, mengungkapkan keterkejutannya atas putusan tersebut. Dia menyatakan bahwa hakim tampaknya tidak mempertimbangkan secara adil fakta-fakta yang disajikan dalam persidangan, termasuk kesaksian, keterangan ahli, dan bukti yang telah diberikan sebagai bagian dari pembelaan. Rapin menekankan pentingnya penekanan pada prinsip Anti-SLAPP dan perubahan Undang-Undang yang telah diajukan kepada majelis. SLAPP (Strategic Lawsuit Against Public Participation) adalah cara yang dilakukan oleh sekelompok orang untuk menghambat atau membungkam kebebasan berekspresi, berpendapat, dan partisipasi masyarakat. Oleh karena itu, diperlukan tindakan Anti SLAPP. Di Indonesia, sudah ada peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang Anti SLAPP itu sendiri, yang dapat ditemukan dalam Pasal 66 UU PPLH. Pasal tersebut mengatur bahwa setiap orang yang memperjuangkan hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat tidak dapat dituntut secara pidana maupun digugat secara perdata. Seharusnya, tindakan Daniel yang menyebarkan video berupa komentarnya akan kekhawatiran terhadap lingkungan yang disebabkan oleh limbah tambak udang tidak dapat membuatnya dituntut karena pada dasarnya tindakan Daniel tersebut termasuk salah satu cara untuk memperjuangkan hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat. Akan tetapi pada prakteknya banyak kasus seperti Daniel yang, oleh majelis hakim, tidak dianggap sebagai bentuk tindakan yang dilindungi oleh Pasal 66 UU PPLH, sehingga bentuk protes yang dilakukan oleh para aktivis lingkungan tetap dianggap sebagai tindak pidana. Oleh karena itu, terhadap kasus seperti ini, perlu adanya ahli yang menjelaskan kepada aparat penegak hukum bahwa tindakan yang dilakukan oleh Daniel bukanlah sebuah tindak pidana karena dalam memperjuangkan hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat, Daniel seharusnya memiliki hak kebebasan berpendapat, sehingga Daniel dilindungi oleh Undang-Undang dan tidak dapat dituntut secara pidana maupun perdata.


Respon masyarakat terhadap kasus aktivis lingkungan, Daniel Frits Maurits, menunjukkan keberagaman pendapat yang signifikan. Reynaldo G. S. Sembiring selaku Direktur Eksekutif Indonesian Center for Environmental Law (ICEL) berpendapat bahwa putusan tersebut membuktikan lemahnya pemahaman aparat penegak hukum terkait perlindungan Hak Asasi Manusia (HAM) dan lingkungan. Amnesty International Indonesia juga menyatakan bahwa putusan terhadap Daniel menunjukkan bahwa upaya kriminalisasi terhadap aktivis lingkungan masih berlanjut dan perlindungan terhadap mereka masih kurang memadai. Hal ini menimbulkan keprihatinan terhadap kebebasan berpendapat dan kegiatan advokasi lingkungan di Indonesia. Semakin pentingnya peran masyarakat dalam memperjuangkan keadilan lingkungan pun menjadi sorotan, menyoroti perlunya kolaborasi yang erat antara pemerintah, organisasi masyarakat sipil, dan semua lapisan masyarakat untuk memastikan perlindungan yang memadai terhadap lingkungan hidup dan para pembelanya.


Beberapa kelompok masyarakat merasa prihatin dan marah atas anggapan kriminalisasi terhadap aktivis lingkungan tersebut. Ramai terjadi aksi solidaritas dan demonstrasi masyarakat yang peduli terhadap kasus ini di beberapa kota, di mana mereka berkumpul untuk menuntut keadilan terhadap Daniel dan mengharapkan adanya perubahan atau perbaikan hukum yang lebih mendukung para aktivis pelestarian lingkungan. Namun, ada juga kelompok yang mendukung putusan pengadilan yang mengatakan bahwa Daniel bersalah atas perbuatannya dan pantas dijeratkan pasal dengan sanksi yang telah ditetapkan. Mereka menganggap bahwa tindakan hukum adalah sah jika aktivis tersebut memang benar melakukan pelanggaran terhadap undang-undang yang telah berlaku dan, meskipun tujuan pelestarian lingkungan adalah hal yang baik dan bijak, cara yang dilakukan harus tetap mengikuti atau mematuhi peraturan hukum yang ada. 


Perdebatan dalam masyarakat terhadap kasus ini menunjukkan adanya perbedaan pemahaman akan implementasi hukum di Indonesia. Di satu sisi, hukuman atau vonis yang diberikan kepada Daniel menunjukkan bahwa dalam setiap perbuatan atau tindakan, walaupun atas dasar niat yang baik, harus tetap mengikuti aturan dan batasan hukum yang berlaku. Namun, di lain sisi, reaksi dari masyarakat dan aktivis menunjukkan kekhawatiran terhadap adanya kemungkinan penyalahgunaan hukum yang dapat menekan suara yang berjuang untuk perlindungan dan pelestarian lingkungan. Sangat penting bagi pemerintah dan para komunitas untuk menciptakan keseimbangan antara menjaga ketertiban hukum dan memberikan ruang terhadap demonstrasi, serta advokasi. Pembaruan hukum diperlukan agar mereka yang menyuarakan kepentingan publik dan lingkungan mendapatkan perlindungan yang kuat, memastikan bahwa kegiatan yang mendukung isu-isu tersebut aman dan diakui sebagai bagian penting dari sebuah demokrasi yang baik dan sehat.

13 views0 comments

Recent Posts

See All

Commenti


Post: Blog2 Post
bottom of page