Direktorat Jenderal Bea dan Cukai telah menetapkan aturan baru terkait impor barang kiriman yang diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 199/PMK.010/2019 yang akan mulai berlaku per tanggal 30 Januari 2020.
Dalam peraturan tersebut disebutkan bahwa bea masuk barang impor (termasuk barang yang dibeli dari e-commerce) diturunkan dari US$75 menjadi US$3. Hal ini berarti barang seharga US$3 akan dikenakan bea masuk, PPN, dan lainnya.
Mengenai perhitungan kurs pajak dapat dilihat melalui situs http://www.beacukai.go.id/kurs. Selain bea masuk, ada juga pembaharuan rasionalisasi tarif yang semula totalnya ± 27,5% – 37,5% (Bea Masuk 7,5%, PPN 10%, PPH 10% dengan NPWP atau PPh 20% tanpa NPWP) menjadi ± 17,5% (Bea Masuk 7,5%, PPN 10%, dan PPH 0%).
Penurunan bea masuk barang impor merupakan upaya pemerintah untuk membantu melindungi industri dalam negeri yang diketahui banyak pengrajin tas dan sepatu yang usahanya kandas sehingga pada akhirnya hanya menjual produk-produk Republik Rakyat Tiongkok (RRT).
Selain itu, aturan ini juga merupakan hasil dari masukan beberapa asosiasi seperti IKM, Kementerian Perindustrian, Asosiasi Forwarder (ALFI), dan pengusaha retail atau distributor offline. Usaha pemerintah ini tentunya berbanding lurus dengan Pasal 33 Ayat 4 UUD 1945 yang berbunyi: “Perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional.”
Selanjutnya, Direktur Kepabeanan Internasional dan Antar Lembaga, Syarif Hidayat, menyatakan bahwa hal tersebut juga dilakukan agar terdapat perlakuan yang adil dalam perpajakan baik antara produk dalam negeri yang berasal dari Industri Kecil Menengah, pajak dalam produk impor melalui barang kiriman, serta impor distributor melalui kargo umum.
Dengan diberlakukannya peraturan ini, maka Direktur Kepabeanan Internasional dan Antar Lembaga juga mengimbau kepada masyarakat, terutama perusahaan jasa titipan (PJT) untuk menaati peraturan yang ada dan tidak melakukan modus pelanggaran.
Modus pelanggaran yang sering terjadi biasanya adalah memecah barang kiriman (splitting) dan memberitahukan harga di bawah nilai transaksi (under invoicing). Seperti yang diketahui, untuk mengatasi persoalan splitting, Direktorat Jenderal Bea dan Cukai telah menerapkan “smart system” yaitu sistem validasi dan verifikasi anti-splitting dalam aplikasi impor barang kiriman.
Sedangkan untuk modus under invoicing, Direktorat Jenderal Bea dan Cukai dapat mencocokkan invoice yang tertera dengan bukti bayar melalui database. Direktorat Jenderal Bea dan Cukai juga akan bekerja sama dengan platform marketplace untuk mengalirkan data transaksi e-commerce ke sistem Bea Cukai secara online sehingga mampu menghilangkan praktik under invoicing.
Comments