Majunya teknologi kini tidak terbantahkan di segala sisi, termasuk pada bidang finansial. Pada tahun 2008, seseorang dengan nama samaran “Satoshi Nakamoto” menemukan mata uang kripto yang disebut bitcoin. Mata uang tersebut menggunakan teknologi blockchain, yaitu sistem penyimpanan transaksi digital. Satu dekade kemudian, ratusan mata uang kripto serupa muncul ke permukaan. Berdasarkan data TripleA, kepemilikan mata uang kripto di Indonesia telah meningkat dari 2,7% pada tahun 2020 menjadi 4,5% pada tahun 2021, mewakili peningkatan sekitar 5 juta pengguna mata uang kripto. Kebanyakan pemilik mata uang kripto di Indonesia berada dalam kelompok usia 18-44, yakni sebesar 78%.
Di Indonesia, mata uang kripto memang merupakan salah satu kategori komoditi yang diperdagangkan di bursa berjangka dan terjamin dalam otoritas Badan Pengawasan Perdagangan Berjangka Komoditi (Bappebti). Namun perlu diketahui bahwa menjadi komoditas investasi dan menjadi alat pembayaran merupakan dua ]yang berbeda. Komoditi Digital atau Komoditi Kripto dapat dikategorikan sebagai hak atau kepentingan yang diatur dalam kategori komoditi sebagaimana diatur dalam Undang-Undang No. 10 Tahun 2011 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang No. 32 Tahun 1997 Tentang Perdagangan Berjangka Komoditi. Hasil kajian Bappebti menemukan bahwa perkembangan mata uang kripto yang semakin luas layak dijadikan subjek Kontrak Berjangka di Bursa Berjangka untuk memenuhi kepastian hukum.
Namun, terdapat beberapa pertimbangan terkait legalitas penggunaan mata uang kripto sebagai alat pembayaran. Hal ini semakin dipertimbangkan terutama pada masa rentannya ekonomi global dan pengetatan kebijakan moneter Bank Sentral Amerika Serikat yang juga menjadi penyebab anjloknya mata uang kripto pada saat ini. Sebagaimana telah diakui oleh direktur pelaksana International Monetary Fund (IMF), Kristalina Georgiev, dan gubernur Bank Sentral Prancis, François Villeroy de Galhau, nilai mata uang kripto bersifat tidak stabil sehingga belum memenuhi syarat standar penyimpanan nilai sebagai alat tukar. Nilai mata uang kripto juga dianggap sulit untuk diprediksi di masa yang akan datang.
Bank for International Settlements (BIS) menyatakan bahwa aspek terpenting dari alat pembayaran adalah sifatnya stabil dan tidak fluktuatif dalam waktu yang singkat. Berdasarkan hal tersebut dapat dilihat bahwa mata uang kripto belum memenuhi aspek ini. Bila mata uang kripto disahkan, bank sentral tidak dapat bertindak banyak ketika nilai fluktuatif mata uang tersebut bergejolak karena nilai mata uang kripto sepenuhnya diatur oleh pasar dan bukan bank sentral. Tumpulnya bank sentral dalam hal ini akan berdampak negatif pada situasi moneter suatu negara secara keseluruhan. Sebagai studi banding, adopsi mata uang kripto Bitcoin sebagai alat pembayaran resmi telah dilakukan oleh El Salvador. Akibat dari ketidakstabilan nilai mata uang tersebut, El Salvador kini merugi sekitar 60 juta dolar AS sejak anjloknya mata uang kripto beberapa waktu yang lalu. El Salvador akhirnya menghadapi pertumbuhan ekonomi yang anjlok dan defisit yang tinggi.
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2011 tentang Mata Uang telah menyatakan bahwa satu-satunya alat pembayaran sah di Indonesia adalah rupiah. Undang-undang tersebut juga menyatakan bahwa uang bukan hanya merupakan alat yang digunakan untuk bertransaksi, namun juga salah satu simbol kedaulatan negara yang harus dihormati dan dibanggakan oleh seluruh warga Negara Indonesia. Uang juga merupakan suatu sarana untuk menunjukkan presensi atau ada tidaknya suatu negara. Mata uang kripto tidak dapat dijadikan alat pembayaran di Indonesia karena bukan merupakan simbol kedaulatan eksistensi Indonesia bahkan di kawasan negara Indonesia sendiri bukan merupakan simbol kedaulatan eksistensi Indonesia bahkan di kawasan negara Indonesia sendiri.
Kebijakan adanya rupiah sebagai satu-satunya alat pembayaran yang sah di Indonesia juga ditegaskan kembali dalam Peraturan Bank Indonesia Nomor 17/3/PBI/2015 tentang Kewajiban Penggunaan Rupiah di Wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan Pasal 35 Peraturan Bank Indonesia Nomor 18/40/PBI/2016 yang melarang adanya mata uang virtual selain dalam bentuk mata uang rupiah. Mata uang kripto tidak memiliki penjamin yang dapat memastikan nilai dan kestabilan akan mata uang tersebut. Dapat dikatakan sangat berisiko untuk menjadikan mata uang kripto sebagai mata uang yang resmi di Indonesia. Perlu juga untuk dipahami bahwa uang elektronik tidak dapat disamakan dengan mata uang kripto meskipun sama-sama berbentuk digital. Peraturan Bank Indonesia Nomor 11/12/PBI/2009 tentang Uang Elektronik telah gamblang menyatakan bahwa uang elektronik dapat digunakan sebagai alat pembayaran jika memenuhi syarat yaitu diedarkan dalam bentuk rupiah, sedangkan mata uang kripto diproduksi melalui sistem mining sehingga tidak dapat memenuhi syarat sebagai alat pembayaran.
Penggunaan teknologi dan digitalisasi dalam transaksi elektronik merupakan hal yang baik. Namun pemanfaatan teknologi dalam transaksi elektronik perlulah dilandaskan pada asas kepastian hukum yang memberikan suatu landasan yang pasti kepada masyarakat untuk tetap senantiasa memberikan rasa aman kepada masyarakat. Perlu diperhatikan bahwa beberapa mata uang kripto seperti Monero, DASH, Horizen, dan sebagainya menjamin bahwa transaksi pada mata uang mereka dapat dilakukan secara anonim sehingga sulit untuk dilacak jejaknya. Dengan demikian, pengesahan mata uang kripto sebagai alat pembayaran hanya akan membuat mata uang tersebut semakin mudah untuk diakses masyarakat sehingga tentu dikhawatirkan dapat memfasilitasi upaya pencucian uang, menghindari pajak, dan menjadi cara mudah untuk menjadi sumber transaksi dana bagi organisasi-organisasi teroris. Hal ini pula yang menjadi kekhawatiran berbagai bank sentral negara-negara di seluruh dunia, seperti Rusia dan Tiongkok.
Penelitian Ridwan (2019) menyimpulkan bahwa organisasi teroris memanfaatkan mata uang kripto sebagai cara alternatif untuk penggalangan dana (crowdfunding). Fenomena ini terjadi pada ISIS, al-Qaeda, Hamas, dll. Organisasi teroris dapat mendiversifikasi portofolio keuangan mereka untuk mempertahankan operasi mereka dan mendistribusikan uang. Riset Elliptic (2022) juga menemukan kasus pencucian uang sebesar $540 juta yang dilakukan melalui mata uang kripto. Hal ini memperbesar peluang terjadinya kriminalitas yang sulit ditelusuri pada dunia keuangan digital.
Bappebti menyatakan bahwa penjelasan pengaturan terkait perdagangan fisik mata uang kripto diperlukan untuk memberikan perlindungan hukum. Hal ini bertujuan untuk mencegah kerugian dan kemungkinan terburuk yang terjadi akibat kekosongan hukum. Begitu juga dengan inovasi dan perkembangan kegiatan usaha sejenis. Selain itu, pencegahan penggunaan aset kripto untuk tujuan ilegal juga diperlukan dalam memenuhi amanat UU Tindak Pidana Pencucian Uang dan UU Tindak Pidana Pendanaan Terorisme. Perkembangan teknologi keuangan digital merupakan hal yang perlu disambut dengan perlindungan hukum.
Legalitas mata uang kripto di Indonesia belum dapat diwujudkan. Hal ini dikarenakan mengingat berbagai alasan yang menjadi pertimbangan pemerintah. Sebagai instrumen investasi, tentu mata uang kripto dapat menjadi pilihan. Namun untuk menjadi lebih jauh sebagai alat pembayaran, hal tersebut belum menjadi pertimbangan yang baik. Berbagai peraturan perundang-undangan menyebutkan bahwa penggunaan alat pembayaran lain selain rupiah adalah ilegal. Rupiah masih menjadi satu-satunya primadona alat pembayaran di Indonesia.
Comments