top of page

Dari Intimidasi ke Tindakan Nyata: Urgensi Perlindungan bagi Jurnalis

  • Writer: Panah Kirana
    Panah Kirana
  • May 5
  • 4 min read

Kebebasan pers adalah salah satu pilar utama dalam sistem demokrasi yang sehat. Pers memiliki peran penting dalam mengawasi kekuasaan, menyuarakan kebenaran, dan memberikan informasi yang akurat kepada publik. Namun dalam upaya tersebut, nyatanya kebebasan pers di Indonesia menghadapi berbagai tantangan, termasuk ancaman dan intimidasi terhadap jurnalis serta institusi media yang berani mengungkap fakta-fakta yang kontroversial. Salah satu insiden terkini yang mencerminkan ancaman terhadap kebebasan pers terjadi pada 19 Maret 2025, ketika kantor redaksi Tempo di Jakarta Selatan menerima sebuah paket misterius berisi kepala babi tanpa telinga. Hanya tiga hari berselang, pada 22 Maret 2025 Tempo kembali mendapat kiriman berupa bangkai tikus yang telah dipenggal. Spekulasi berkembang bahwa pelaku berasal dari kelompok yang merasa dirugikan oleh liputan investigatif yang dilakukan oleh Tempo.

Ancaman terhadap kebebasan pers seperti ini bukanlah fenomena baru di Indonesia. Intimidasi dan teror terhadap media sering terjadi sebagai bentuk pembungkaman terhadap jurnalis yang ingin menyuarakan kebenaran. Tindakan teror seperti pengiriman benda-benda bernuansa ancaman kepada jurnalis mencerminkan iklim kerja yang tidak aman bagi insan pers, serta menunjukkan lemahnya perlindungan terhadap kebebasan berekspresi. Perlakuan semacam ini seharusnya menjadi perhatian utama negara, karena tanpa jaminan perlindungan yang tegas bagi jurnalis, fungsi media sebagai pilar demokrasi dan pengawas kekuasaan menjadi terancam. Negara wajib hadir untuk menegakkan hukum, menjamin rasa aman bagi jurnalis, serta menindak tegas setiap bentuk intimidasi yang mengarah pada pembungkaman suara kritis di ruang publik.

Dalam rangka kasus kiriman ancaman kepada Tempo, peristiwa ini telah menjadi sorotan publik dan sedang dijalankan proses investigasi. Dengan insiden ini menuai kecaman dari berbagai pihak, termasuk organisasi jurnalis, aktivis hak asasi manusia, dan masyarakat sipil, mereka mendesak aparat penegak hukum untuk segera mengusut tuntas kasus ini dan menangkap para pelaku. Respon dari pihak Tempo sendiri dilakukan dengan pemimpin redaksi Tempo Setri Yasra dengan dampingan Koalisi Keselamatan Jurnalis (KKJ) melaporkan kejadian ke Bareskrim Polri dan juga mendatangi Markas Besar Polri dengan didampingi Komite Keselamatan Jurnalis. Paket tersebut sudah diserahkan kepada polisi sebagai barang bukti, Mabes Polri telah membentuk tim mengusut peneror dan motifnya. Sekitar 20 polisi mendatangi kantor Tempo dan mendokumentasikan bangkai tikus yang dikirim pada hari Sabtu. Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) juga telah melakukan olah tempat kejadian perkara (TKP) di kantor redaksi Tempo, hal ini merupakan bentuk keseriusan dalam mengawal kasus ini. Jika kasus ancaman terhadap Tempo tidak ditindak tegas, dampaknya bisa sangat luas bagi kebebasan pers di Indonesia. Salah satu dampak terbesar adalah munculnya budaya ketakutan di kalangan jurnalis. Jika jurnalis merasa tidak aman dalam menjalankan tugas mereka, maka mereka mungkin akan semakin berhati-hati atau bahkan enggan dan paranoid untuk meliput isu-isu sensitif yang berpotensi mengungkap kebenaran. Hal ini bisa menyebabkan menurunnya kualitas jurnalisme investigatif di Indonesia, yang pada akhirnya merugikan publik karena informasi yang diterima menjadi kurang transparan dan kritis.

Selain itu, intimidasi terhadap pers juga berdampak pada demokrasi dalam jangka panjang. Dalam sistem demokrasi yang sehat, media berfungsi sebagai pengawas terhadap kebijakan pemerintah dan tindakan pihak-pihak berpengaruh lainnya, jika pers terus menerus diintimidasi dan dihambat dalam menjalankan tugasnya, maka masyarakat akan kehilangan salah satu sumber informasi yang objektif dan dapat dipercaya. Hal ini berpotensi melemahkan demokrasi dan meningkatkan potensi penyalahgunaan kekuasaan, seperti kasus ancaman terhadap Tempo yang merupakan bentuk nyata intimidasi terhadap kebebasan pers di Indonesia. Insiden ini tidak bisa dianggap sebagai ancaman biasa, tetapi harus dilihat sebagai serangan terhadap demokrasi dan kebebasan berekspresi. 

Dalam menanggulangi permasalahan seperti ini, Indonesia telah memiliki regulasi dengan tujuan untuk melindungi kebebasan pers. Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers (“UU Pers”) secara jelas menyatakan bahwa pers memiliki kebebasan dalam menjalankan tugas jurnalistiknya tanpa tekanan atau intimidasi dari pihak mana pun. Tertulis di dalam Pasal 4 ayat (3) UU Pers yang berbunyi “untuk menjamin  kemerdekaan pers, pers nasional mempunyai hak mencari, memperoleh, dan menyebarluaskan gagasan dan informasi”. Terlebih lagi, di undang-undang ini juga mengatur mengenai hukuman atas tindakan yang mengancam media jurnalistik yang tertera dalam Pasal 18 Ayat (1) yang berbunyi “Setiap orang yang secara melawan hukum dengan sengaja melakukan tindakan yang berakibat menghambat atau menghalangi pelaksanaan ketentuan Pasal 4 ayat (2) dan ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau denda paling banyak Rp.500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah)”. Dengan demikian, UU Pers merupakan salah satu upaya untuk memberikan perlindungan hukum bagi kegiatan jurnalistik dan memberikan sanksi bagi pihak-pihak yang mencoba menghalangi atau menghambatnya. 

Selain itu, KUHP Pasal 335 tentang Perbuatan Tidak Menyenangkan juga dapat digunakan untuk menjerat pelaku ancaman terhadap jurnalis. Pasal ini mengatur tentang tindakan yang dilakukan dengan maksud menakut-nakuti atau mengintimidasi pihak lain. Dalam konteks kasus Tempo, mengirimkan kepala babi dan bangkai tikus bisa dikategorikan sebagai tindakan intimidatif yang bertujuan untuk menekan kebebasan pers. Apakah perlindungan pers dan berbagai penanggulangannya sudah sempurna? Dapat dikatakan belum, dengan masih terdapat beberapa kasus ancaman terhadap pers seperti ini yang belum terselesaikan, seperti belum ditemukannya pelaku di berbagai kasus, konsekuensi hukum yang tidak jelas, dsb. Idealnya pemerintah responsif mengambil sikap tegas dalam menangani kasus-kasus penyerangan terhadap pers dan realitasnya tidak selalu begitu, dan jika ideal tersebut tidak terealisasikan, ancaman terhadap media akan semakin meningkat, dan jurnalis akan semakin takut untuk mengungkap fakta yang seharusnya diketahui oleh publik. Perlindungan terhadap kebebasan pers tidak hanya menjadi tanggung jawab media itu sendiri, tetapi juga merupakan bagian dari kewajiban negara dalam menjaga demokrasi dan transparansi. 

Regulasi yang telah dijabarkan tersebut, sebenarnya sudah cukup baik untuk melindungi jurnalis dari tindakan intimidatif, tetapi implementasinya masih belum sempurna dan bisa lebih baik. Pemerintah dan aparat penegak hukum harus bertindak lebih tegas dalam mengusut kasus ini agar tidak menjadi preseden buruk bagi kebebasan pers di masa depan. Jika dibiarkan, ancaman semacam ini akan terus terjadi, yang pada akhirnya akan menghambat kebebasan media dalam mengungkap fakta dan menyampaikan informasi kepada publik. Media dan masyarakat sipil harus terus mengawal kebebasan pers sebagai pilar utama demokrasi, tidak boleh ada toleransi terhadap segala bentuk intimidasi terhadap jurnalis. Jika kebebasan pers terus dipersempit, maka demokrasi Indonesia akan semakin terancam, dan hak masyarakat untuk mendapatkan informasi yang transparan dan akurat akan semakin terbatas. Oleh karena itu, sebetulnya masih terdapat ruang untuk peningkatan peran pemerintah dalam aspek perlindungan pers, tidak hanya aparat negara tetapi kita sebagai masyarakat juga perlu menekankan pentingnya perlindungan pers di Indonesia.


 
 
 

تعليقات


Post: Blog2 Post
bottom of page