top of page
Alexandrea Prabarini & Ida Ayu May

“Childfree” Dalam Kacamata Hukum Indonesia


Sumber: metrohealthmnc.com


Sudah menjadi kebiasaan masyarakat Indonesia untuk menaruh ekspektasi kepada pasutri baru agar mereka segera memiliki keturunan. Dipercayai bahwa membangun keluarga sama halnya dengan membangun generasi. Bahkan, ada sepatah kata yang menyatakan ‘banyak anak banyak rezeki’. Indonesia sebagai negara yang beragama dan kaya budaya menjanjikan adanya timbal balik yang positif dengan hadirnya seorang anak serta keinginan primitif untuk memperluas kekerabatan dengan suku atau budaya lain atau untuk meningkatkan jumlah keluarga secara kuantitatif.


Saat ini kata “childfree” menjadi marak didengar di kalangan masyarakat. Childfree sendiri diartikan ketika seorang pasangan suami istri memutuskan untuk tidak memiliki anak. Pasangan yang telah memutuskan untuk tidak memiliki anak memiliki alasan sendiri yang personal. Baik itu dalam alasan finansial, kesehatan, atau bahkan takut tidak bisa menjaga dan merawat anak tersebut kelak. Mereka juga beranggapan bahwa lebih mudah hidup tanpa memiliki anak dibandingkan dengan memiliki anak. Di Indonesia, childfree dianggap sebagai penyimpangan dari norma budaya, khususnya wacana pronatalis yang dominan; ini terutama berlaku untuk wanita.


Dengan adanya standar tersebut, sebagian besar wanita yang memilih untuk tidak memiliki anak seringkali merasa tertekan atas keputusan mereka. Tekanan itu umumnya berkisar dari ekspektasi internal mereka sendiri atas perilaku yang dapat diterima, persepsi tentang apa yang dipikirkan orang lain, hingga pernyataan dari keluarga, teman, dan masyarakat luas. Keputusan tersebut dianggap sebagai perbuatan yang egois dan dikatakan bahwa mereka yang childfree bukanlah wanita sesungguhnya. Tidak hanya itu, sering ditemukan bahwa teman, kenalan, dan keluarga tidak percaya atau memandang pilihan mereka sebagai hal yang bersifat sementara.


Dengan demikian, penting untuk dimengerti keputusan childfree dari dua dimensi, yaitu dimensi personal dengan kepentingan subjektif dan dimensi publik yakni dengan kontrol populasi. Di Indonesia pertumbuhan penduduk sangat drastis. Pada tahun 1971 jumlah penduduk hanya 119,20 juta, pada tahun 1990 menjadi 179,38 juta dan pada tahun 2020 menjadi 270,20 juta. Itu menjadikan pulau Jawa dengan 141 juta penduduk sebagai pulau terpadat di dunia. Jumlah tersebut tentu sangat berbahaya jika kepadatan penduduk tidak dapat dikelola dengan baik. Hal-hal buruk seperti inflasi, polusi, kelaparan dan sebagainya adalah akibat dari ledakan jumlah penduduk.


Dari sudut pandang hukum, keputusan pasangan untuk tidak memiliki anak adalah hak pribadi yang tidak bisa sembarang disentuh oleh orang lain. Hal tersebut mempunyai kaitan yang erat dengan Hak Asasi Manusia. Menurut Undang-Undang Indonesia No. 39 Tahun 1999, Hak Asasi Manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai mahkluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum, pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia.


Dalam UUD 1945 juga telah menjamin kebebasan seseorang untuk menyatakan pikiran dan sikap sesuai dengan hati nuraninya sebagaimana tercantum dalam Pasal 28 E ayat 2 yang berbunyi “Setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran, dan sikap sesuai dengan hati nuraninya.” Hal tersebut juga berlaku kepada orang yang memutuskan untuk childfree. Pasangan suami istri yang memutuskan untuk childfree seharusnya memiliki kebebasan untuk meyakini apa yang terbaik bagi sesama lain dan menyatakan pikirannya. Sebab, keputusan childfree tidak akan merugikan orang lain.


Berdasarkan pasal 49 UU No 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia juga telah dijelaskan sebagaimana wanita pun berhak mendapatkan perlindungan khusus di dalam pelaksanaan pekerjaan atau profesinya terhadap hal-hal yang dapat mengancam keselamatan atau kesehatan yang berkaitan dengan fungsi reproduksi wanita. Hak khusus yang melekat di dalam diri wanita dikarenakan fungsi reproduksinya juga dijamin dan dilindungi oleh hukum. Namun hingga saat ini, keputusan seorang pasangan dalam memilih childfree masih memiliki dampak positif dan juga negatif. Stigma negatif yang berkembang adalah adanya tekanan dari dunia luar dan sekitar. Karena pasti pada dasarnya setiap pasangan dianggap menikah karena ingin memiliki keturunan. Namun, untuk sisi positifnya adalah menunjukkan adanya kepuasan di dalam finansial, hingga memiliki hubungan yang lebih dekat dengan pasangan. Hal lainnya juga adalah finansial dari pasangan suami istri akan lebih terjaga dikarenakan pengeluaran yang cenderung berkurang. Sehingga hal ini juga menjadi perbincangan di kalangan suami istri.


Hukum perkawinan di Indonesia diatur dalam Undang - Undang No 1 Tahun 1974 (yang telah diubah dengan UU No.16 Tahun 2019) tentang Perkawinan yang menyatakan bahwa perkawinan merupakan ikatan lahir batin antara seorang laki - laki dengan seorang perempuan menjadi pasangan suami istri yang bertujuan membentuk keluarga yang bahagia dan kekal yang berlandaskan Ketuhanan Yang Maha Esa. Dengan demikian, definisi ini menjelaskan mengenai tugas pasangan suami istri yang memiliki peran untuk menciptakan keluarga yang bahagia dan langgeng, bukan sebagai kewajiban untuk memiliki seorang anak. Sebaliknya, ketika sepasang suami istri memiliki anak, mereka memiliki kewajiban baru dalam hubungan keluarga untuk mendidik anak mereka sebaik mungkin, sebagaimana diatur dalam Pasal 45 UU No.1 Tahun 1974 (yang telah diubah dengan UU No.16 Tahun 2019). Hal ini merupakan rasionalisasi dari permasalahan hukum seputar keputusan pasangan suami istri untuk tidak memiliki anak.


Wakil Presiden Indonesia, Ma’aruf Amin menyatakan bahwa memiliki anak merupakan tujuan dari sebuah pernikahan. Ma’aruf Amin juga mengatakan bahwa manusia itu harus berkembang biak agar dapat mengelola bumi. Namun, ia menambahkan bahwa jika ada pasangan yang ingin menunda mempunyai anak, itu tidak jadi persoalan. Melihat “childfree” dari sudut pandang hukum sendiri pastinya banyak aspek dan juga pertanyaan-pertanyaan yang ada. Pasalnya setiap manusia memiliki pendapatnya masing-masing, namun terdapat juga hukum yang mengatur kehidupan manusia. Guru Besar Sosiologi di Universitas Airlangga, Bagong Suryanto, juga telah memberikan penjelasan sebagaimana jika dewasa ini, eksistensi dan juga kesuksesan seorang perempuan tidak lagi diukur dari ranah domestik yang terjadi di masa lampau mengenai kemampuan melahirkan banyak anak. Namun eksistensi dan juga kesuksesan seorang perempuan dilihat dari karir, prestasi, serta indikator lain pada perkembangan zaman saat ini.


Dengan demikian, “childfree” bukanlah menjadi soal permasalah dalam kacamata hukum Indonesia. Sejatinya setiap orang berhak untuk mempunyai keputusannya untuk memiliki anak ataupun tidak di dalam kehidupannya. Pilihan mereka tidak akan merugikan orang lain. Sebagai sesama manusia juga tidak boleh menjatuhkan satu sama lain hanya karena mereka memiliki perspektif yang berbeda. Semoga kedepannya orang orang dapat lebih terbuka dan menghormati dengan keputusan yang diambil apabila sebuah pasangan berputusan untuk childfree.





16 views0 comments

Recent Posts

See All

Comments


Post: Blog2 Post
bottom of page