top of page
Tania Elysia, Jovan Rafael, Shannon Christian

Cuti Melahirkan Jadi 6 Bulan, Apa Tanggapan Mengenai RUU KIA?


Pada Juni 2022, Rancangan Undang-Undang Kesejahteraan Ibu dan Anak (RUU KIA) saat ini sedang menjadi pembicaraan yang hangat di tengah masyarakat. RUU KIA telah disepakati oleh DPR untuk dibahas lebih lanjut menjadi undang-undang tetap. Namun, apakah isi dari RUU KIA itu? Salah satu hal yang baru dan menarik perhatian masyarakat dalam RUU KIA adalah pada aturan cuti melahirkan paling sedikit enam bulan, serta pekerja yang sedang cuti hamil itu tidak boleh diberhentikan dari pekerjaan. Tak hanya itu, ibu yang cuti hamil harus tetap memperoleh gaji dari jaminan sosial perusahaan maupun dana tanggung jawab sosial perusahaan. Aturan masa cuti melahirkan sejatinya sudah diatur dalam Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dengan waktu selama 3 bulan saja. Melalui RUU KIA, masa cuti tersebut diperpanjang menjadi cuti melahirkan 6 bulan. Ibu hamil dan melahirkan yang sedang menjalani cuti akan memperoleh upah penuh hingga bulan ketiga. Selanjutnya, mereka berhak menerima upah sebesar 70 persen di bulan keempat hingga selesai cuti.


Berdampingan dengan itu, tercantum dalam Pasal 6 ayat 2 huruf A RUU KIA, DPR turut menginisiasi untuk memberikan cuti selama 40 hari bagi suami yang istrinya melahirkan atau mengalami keguguran. DPR sendiri menyoroti bahwa saat ini kesadaran para ayah semakin tinggi untuk turut serta dalam tugas pengasuhan anak. Selain itu, RUU KIA juga turut menguatkan hak para suami untuk dapat mendampingi istrinya yang melahirkan ataupun mengalami keguguran. Maksud dari cuti melahirkan bagi suami dalam RUU KIA ini bukan diartikan sebagai hak istirahat, melainkan sebagai izin tidak bekerja karena suatu hal dan tetap mendapatkan upah. Sebelumnya, menurut Pasal 93 ayat 4(E) UU Ketenagakerjaan, suami hanya mendapatkan 2 hari cuti hamil berbayar.


Hingga saat ini, RUU KIA sudah masuk dalam daftar Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas 2022 dan diharapkan dapat segera disahkan. Selain menitikberatkan pada cuti melahirkan selama 6 bulan, RUU KIA juga menggarisbawahi masa pertumbuhan emas anak atau golden age. Tahap tersebut adalah periode krusial tumbuh kembang anak yang kerap berhubungan dengan 1.000 Hari Pertama Kehidupan (HPK) sebagai penentu masa depan anak. Ketua DPR RI, Puan Maharani, mengatakan bahwa RUU KIA ini harus menjadi upaya bersama yang dilakukan pemerintah pusat, pemerintah daerah, dan masyarakat guna memenuhi kebutuhan dasar ibu dan anak. Puan juga menerangkan bahwa ada sejumlah hak dasar yang harus diperoleh seorang ibu, diantaranya: Hak mendapatkan pelayanan kesehatan, Hak jaminan kesehatan saat kehamilan, dan Hak mendapat perlakuan dan fasilitas khusus pada fasilitas, sarana, dan prasarana umum.


Adapun pandangan-pandangan lain yang menganggap aturan dalam RUU KIA akan merugikan pihak pemberi kerja dan/atau pengusaha karena adanya kekosongan posisi di perusahaan atau tempat kerja. Ketua Bidang Ketenagakerjaan, Apindo Anton Supit, berpendapat bahwa para pemberi kerja juga meminta agar kebijakan cuti melahirkan 6 bulan ini juga berlaku secara merata, baik untuk swasta, TNI, Polri, ASN, sampai UMKM. Oleh karena itu, para pengusaha berharap agar kebijakan tersebut dikaji dengan komprehensif dan memikirkan bagaimana dampak pada bidang lainnya. Wakil Ketua Dewan Pimpinan Provinsi Apindo DKI Jakarta, Nurjaman, beranggapan bahwa dengan adanya kebijakan RUU KIA ini akan berdampak besar bagi dunia usaha, yaitu turunnya produktivitas pekerja. Nurjaman merasa akan ada potensi perusahaan bongkar muat karyawan baru demi menambal kekosongan yang ada. Namun, baginya proses “menambal kekosongan” itu pun belum tentu berjalan baik karena pegawai baru perlu beradaptasi dengan cara kerja serta lingkungannya.


Disisi lain, RUU KIA disambut baik oleh Komnas Perempuan, dimana RUU KIA dinilai sebagai langkah yang tepat untuk memenuhi hak maternitas bagi perempuan Pekerja. Anggota Komnas Perempuan, Alimatul Qibtiyah, berpendapat bahwa ketentuan tersebut perlu didukung upaya melindungi tugas-tugas reproduksi perempuan, karena dapat dilihat bahwa tugas reproduksi perempuan cukup berat dan melelahkan sehingga perlu diperhatikan. Hal tersebut baginya bukan hanya untuk kepentingannya sendiri melainkan juga merupakan kepentingan bangsa untuk menyiapkan generasi bangsa yang lebih baik. Alimatul mengharapkan segala proses pembahasan RUU KIA ini didukung oleh seluruh pihak, termasuk pemberi kerja. Lebih lanjut, Alimatul mengatakan, pemberi kerja harus memiliki kesadaran dan pemahaman terhadap perlindungan hak-hak reproduksi perempuan, sebab jika tidak ada kesadaran pemberi kerja, maka akan menimbulkan isu-isu krusial dari pemberi kerja akan pemenuhan hak-hak reproduksi perempuan dan hanya mementingkan profit sehingga akan berdampak pada susahnya perempuan dapat kerja.


Sejauh ini perumusan RUU KIA mengenai aturan yang memberikan hari cuti lebih bagi suami dan istri saat dan pasca melahirkan ini sudah sangat baik untuk dilaksanakan karena banyak sekali faktor yang berpusat pada kesejahteraan keluarga terlebih kesejahteraan ibu dan anak. RUU KIA ini juga membahas jauh lebih kolektif mengenai hak cuti suami pada beberapa ranah dan kondisi tertentu. Tentunya perumusan RUU KIA ini juga memberikan banyak manfaat terutama bagi istri yang perlu pemulihan kesehatan secara sempurna pasca melahirkan dan juga risiko keamanan.


74 views0 comments

Recent Posts

See All

Comments


Post: Blog2 Post
bottom of page