top of page

Perlindungan Hukum dalam Review Makanan: Bolehkah Mengulas Negatif di Media Sosial?

  • Writer: Panah Kirana
    Panah Kirana
  • Mar 10
  • 3 min read


Dalam era digital yang semakin berkembang, media sosial telah menjadi platform utama bagi konsumen dalam menyampaikan pengalaman mereka terhadap berbagai produk dan jasa. Tren review pada platform media sosial seperti TikTok dan YouTube menjadi fenomena yang tidak terhindarkan, di mana ulasan dari konsumen atau food vlogger dapat berdampak signifikan terhadap reputasi suatu usaha. Fenomena yang tengah di ramai adalah review berbagai produk makanan, seperti Lapis Legit dan Bika Ambon milik seorang penjual yang dikenal dengan inisial ‘CM’, beliau menarik perhatian warganet dengan gaya jualan yang berbeda dari penjual lainnya. Berbagai netizen hingga food vlogger me-review makanan yang dijual, namun tidak semua review yang diberikan positif. Atas peristiwa tersebut, banyak yang berpendapat bahwa; ulasan yang disampaikan dapat membantu konsumen lain dalam membuat keputusan untuk membeli suatu produk, namun di sisi lain menimbulkan kontroversi apabila dianggap merugikan pemilik usaha.

Pasal 4 huruf d Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, menyatakan, hak konsumen adalah: hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau jasa yang digunakan. Artinya, konsumen yang secara langsung menggunakan barang dan jasa dari produsen berhak memberikan ulasan atas barang yang digunakan selama berlandaskan pengalaman pribadi dan tidak mengandung unsur fitnah. Selain itu, dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE), tepatnya pada Pasal 27 ayat (3) UU ITE terdapat ketentuan yang membatasi penyampaian pendapat di ruang digital dan merupakan perbuatan yang dilarang: Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik. Apabila suatu review di media sosial mengandung unsur penghinaan dan kebohongan maka orang tersebut dapat berisiko terjerat pasal tersebut. 

 Interpretasi terhadap unsur penghinaan dan pencemaran nama baik dalam UU ITE telah diperjelas melalui Keputusan Bersama Menteri Komunikasi dan Informatika, Jaksa Agung, dan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 229 Tahun 2021, Nomor 154 Tahun 2021, Nomor KB/2/VI/2021 tentang Pedoman Implementasi Pasal Tertentu dalam UU ITE (SKB UU ITE). Pedoman ini menyatakan bahwa suatu pernyataan tidak dapat dikategorikan sebagai penghinaan atau pencemaran nama baik apabila merupakan bentuk penilaian, pendapat, hasil evaluasi, atau penyampaian fakta yang dapat dipertanggungjawabkan. Dengan demikian, selama review makanan yang diberikan bersifat jujur, objektif, dan berbasis fakta, maka review tersebut tidak dapat dikriminalisasi. Contohnya, terjadi pada sebuah kasus yang bermula ketika seorang pria mengunjungi sebuah restoran ternama dan mengkritik karyawannya. Kemudian, pria tersebut memposting ulasan negatif di Google, memberikan peringkat satu bintang dan membuat komentar menghina tentang makanan di restoran tersebut. Pemilik restoran akhirnya melaporkan tersangka atas pencemaran nama baik. Dari hal ini, reviewer perlu memahami batas antara kritik dan penghinaan agar tidak akan merugikan diri sendiri di kemudian hari. 

Dalam kasus “CM”, pemilik usaha merasa dirugikan oleh ulasan negatif yang viral di media sosial dan menuduh reviewer telah menjatuhkan usahanya. Pemilik usaha yang merasa dirugikan oleh ulasan negatif dapat menempuh jalur hukum dengan dalih pencemaran nama baik. Perdebatan hukum kerap terjadi ketika batas antara kritik dan penghinaan menjadi kabur. Kritik yang bersifat subjektif, seperti menyatakan bahwa makanan tidak sesuai dengan selera pribadi, tidak dapat dianggap sebagai pencemaran nama baik. Namun, jika seorang reviewer menuduh bahwa produk makanan tersebut mengandung bahan berbahaya atau tidak higienis tanpa bukti yang kuat, hal ini dapat berpotensi menimbulkan gugatan hukum.

Penting untuk memahami bahwa review makanan bukan sekadar opini, tetapi juga dapat menimbulkan konsekuensi hukum apabila disampaikan dengan cara yang merugikan pihak lain secara tidak adil. Oleh karena itu, konsumen yang ingin memberikan ulasan harus memastikan bahwa pernyataan mereka bersifat objektif, tidak memiliki unsur fitnah dan harus didukung oleh bukti yang cukup. Dengan demikian, hak konsumen dalam menyampaikan pendapat tetap terlindungi tanpa menimbulkan implikasi hukum yang merugikan. Selain itu, etika dalam memberikan review makanan juga harus diperhatikan. Reviewer memiliki tanggung jawab untuk menyampaikan kritik secara profesional, tidak menyerang secara personal, dan menggunakan bahasa yang tidak provokatif. 

Tren review makanan yang viral di media sosial juga menuntut adanya pemahaman yang lebih baik mengenai peran hukum dalam mengatur kebebasan berekspresi, dengan perkembangan teknologi yang semakin pesat, regulasi yang mengatur ulasan di media sosial perlu terus disesuaikan agar dapat memberikan perlindungan yang seimbang bagi semua pihak. Konsumen yang memberikan review harus memahami hak dan batasannya, sementara pemilik usaha harus memahami bahwa kritik merupakan hal yang wajar dalam dunia bisnis. Regulasi yang jelas dan penerapan hukum yang proporsional akan menciptakan ekosistem digital yang sehat dan adil bagi semua pihak. Dengan adanya pemahaman yang lebih baik mengenai aspek hukum dalam review makanan, diharapkan tidak ada pihak yang dirugikan akibat kesalahpahaman atau penyalahgunaan kebebasan berekspresi.

 
 
 

Comentários


Post: Blog2 Post
bottom of page