sumber gambar: google.com
Dalam debat Capres (calon presiden) kedua, topik Energi dan Pangan secara umum mencakup tiga subtopik: revolusi industri 4.0 dan hubungannya terhadap sektor pangan, pengelolaan kelapa sawit sebagai sumber energi, dan impor komoditas pangan, yakni gula, jagung, serta beras.
Debat Capres “Bersiap dalam Revolusi Industri 4.0!”
Memasuki perdebatan dengan topik Energi dan Pangan, moderator memulai dengan pertanyaan tentang bagaimana strategi Capres nomor 1 dalam menghadapi revolusi industri 4.0 di bidang sektor pertanian, perikanan, dan peternakan yang sebagian besar pelakunya merupakan dalam skala kecil dan tradisional. Calon nomor 1, Jokowi, pun menanggapi dengan santai dan yakin bahwa dengan membangun Sumber Daya Manusia maka Indonesia dapat mengikuti arus dari revolusi industri 4.0. Jokowi juga memberi contoh yakni perlunya pengenalan marketplace bagi petani agar bisa jualan online dan membuat koneksi langsung dengan konsumennya. Jokowi juga mengatakan hal yang sama terkait usaha kecil dan mikro agar mengetahui online system sehingga dapat membangun ekosistem offline dan online dengan baik. Pernyataan Jokowi dalam hal ini sepikiran dengan Menteri Perindustriannya (Menperin) Airlangga Hartarto dalam pernyataannya, “Di dalam roadmap ‘Making Indonesia 4.0’, salah satu program prioritasnya adalah peningkatan kualitas SDM. Sebab, talent menjadi kunci atau faktor penting untuk kesuksesan implementasi industri 4.0.”
Bahkan, guna mendorong percepatan implementasi industri 4.0 di Indonesia, Kemenperin menggandeng lembaga riset terkemuka dari Jerman, Fraunhofer IPK. “Kami akan melakukan kerja sama dalam upaya peningkatan kegiatan penelitian dan pengembangan (litbang) di Indonesia,” tutur Menteri Perindustrian. Dalam debat, Jokowi pun menambahkan bahwa ia telah membangun ‘Palapa Ring’ di seluruh Indonesia dengan kisaran hampir 100% terlaksana, juga pembangunan sistem 4G yang mendekati 74% kabupaten atau kota di seluruh Indonesia. Melalui upaya-upaya tersebut, maka pembangunan Sumber Daya Manusia dan Energi di Indonesia dinilai kedepannya masyarakat dapat mengikuti perkembangan revolusi industri 4.0 dengan baik.
Menanggapi pernyataan Capres nomor 1, Prabowo selaku Capres nomor 2 melontarkan argumentasinya dalam penilaiannya bahwa Indonesia belum bisa membela para petani dan menjamin harga pangan dapat terjangkau bagi konsumen. Ia memiliki gagasan bahwa lebih baik Indonesia mempunyai produksi pangan sendiri tanpa impor dari negara lain. Menurut detik.news 20 Februari 2019, Indonesia sebenarnya sudah surplus dalam memproduksi beras, namun kegiatan mengimpor beras tetap harus dilakukan demi menjaga fluktuasi harga beras, dan menjaga apabila terjadi hal-hal yang diluar dugaan yakni gagal panen. Dalam hal ini, Prabowo sepertinya kurang mendalami fungsi-fungsi dari kegiatan mengimpor beras.
Dilanjutkan dengan tanggapan dari calon nomor 1, Jokowi menanggapi bahwa Prabowo yang “kurang optimis”, dan memberikan contoh terhadap perkembangan pertanian di Indonesia yang telah mengenal marketplace dengan berjualan melalui situs tanihub.com sehingga dapat menaikkan harga. Ia juga menyebutkan sistem kredit dibuat oleh fintech melalui peer to peer yang dapat digunakan oleh para petani, yang ia anggap dapat membangun bagi para petani di Indonesia menjadi lebih baik.
Indonesia dan Energi Nabati
Menjawab pertanyaan kedua dari panelis mengenai pentingnya kelapa sawit sebagai komoditas penghasil devisa, calon nomor urut 2 mengatakan, “Kita dapat menggunakan kelapa sawit untuk biodiesel atau biofuel, saya sudah bicarakan dengan para ahli, para pelaku, para pengusaha. Kita sudah ke arah B20. Tapi Brazil bisa sampai B90.”
Ungkapan yang dilontarkan capres nomor urut 2 ternyata tidak senada artikel yang dipublikasikan oleh The Chamber of Commerce of Brazil yang menjelaskan bahwa Menteri Pertambangan dan Energi/Ministry of Mines and Energy (MME) Brazil menentukan ratio antara diesel dan biodiesel. Pada bulan Maret 2018, telah ditentukan bahwa nilai persentase biodiesel terhadap diesel di Brazil menjadi 10%. Walau baru mencapai B10 namun pemerintah Brazil optimis dapat mencapai B15 atau ratio 15% minyak nabati (sawit) dalam beberapa tahun kedepan.
Lalu, dalam meningkatkan taraf kehidupan buruh kebun dan petani mandiri, maka capres nomor urut 2 mengusulkan harus terlaksananya “PIR” (Perkebunan Inti Rakyat). “Kita bisa menggunakan kelapa sawit untuk biodiesel biofuel dan ini bisa membantu meningkatkan pendapatan petani kita yang sekarang sedang jatuh. Kita bisa tingkatkan harga, dan juga kita harus konsekuen untuk meningkatkan kesejahteraan mereka. PIR itu harus terwujud. PIR itu Perkebunan Inti Rakyat dan harus kita ubah, tidak 20% inti. Kita harus seperti Malaysia, kita harus tingkatkan plasmanya lebih banyak sehingga rakyat lebih memiliki hak-hak atas kerja keras mereka dan produk mereka,” ujar Capres nomor urut 2.
sumber gambar: google.com
Sepanjang 2018, pertanian Indonesia telah menghadapi persoalan lahan pertanian yang semakin berkurang. Selama empat tahun terakhir diketahui luas lahan pertanian di Indonesia telah berkurang dari semula 7,7 hektar menjadi hanya 7,1 hektar. Oleh karena adanya alih fungsi lahan inilah yang menjadi penyebab berkurangnya produksi beras sebanyak 3.000.000 ton per tahun. Hal ini mengakibatkan meningginya kecenderungan impor bersama dengan meningginya jumlah penduduk. Peningkatan kecenderungan impor ini mengakibatkan penurunan penghasilan petani yang sebagai akibatnya menurunkan pemuda pedesaan untuk berprofesi menjadi petani. Reaksi berantai ini disebabkan oleh anggapan terhadap rendahnya taraf hidup lebih meningkatkan taraf hidup keluarga petani. Pendapatan bulanan keluarga petani juga telah menyusut menjadi hanya sekitar Rp1,2 juta per bulan.
Capres nomor 2 juga mengutarakan bahwa kita harus mencontoh Malaysia yang memiliki inti minyak nabati dalam campuran solarnya lebih banyak. Namun, bila memang apa yang Capres nomor 2 memang merujuk pada Malaysia yang diklaim memiliki energi nabati lebih tinggi, maka kita perlu membandingkan campuran biodiesel-diesel Malaysia dan Indonesia. Menurut biofuels-news.com, Malaysia lah yang ingin mencontoh Indonesia dengan meningkatkan campuran minyak kelapa sawit dalam campuran solarnya. Penggunaan B20 di Malaysia pun baru akan dilaksanakan pada 2020.
Menjawab pernyataan yang dilontarkan oleh Capres nomor urut 2, maka Capres nomor urut 1 mengutarakan bahwa produksi kelapa sawit Indonesia telah mencapai angka yang cukup tinggi. Kemudian, taraf hidup petani rendah seperti apa yang dikatakan oleh Capres nomor 2 tidak benar oleh karena tinggi produksi pertanian dan pangan Indonesia. “Sekarang produksi sawit Indonesia 46.000.000 ton per tahun dan melibatkan petani kurang lebih 16.000.000 petani.”
Kemudian, petahana yakni Capres nomor urut 1 juga menangkis pernyataan dari Capres nomor urut 2 yang mengatakan bahwa Indonesia masih mengarah kepada B20. “Kita telah memulai B20 dan kita telah berproduksi 98% dari yang kita harapkan. Arti B20 sudah rampung,” ucap Capres nomor urut 1.
Seperti apa yang diutarakan oleh Capres nomor urut 1, penggunaan B20 memang sudah terlaksana terhitung tanggal 1 September 2018. Penerapan B20 ini merupakan terusan dari berhasilnya penerapan B15 sejak tahun 2015. Mengenai rasio campuran antara minyak nabati (dalam hal ini sawit) dan solar di indonesia sendiri diatur dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 66 Tahun 2018 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Presiden Nomor 61 Tahun 2015 tentang Penghimpunan dan Penggunaan Dana Perkebunan Kelapa Sawit. Mengenai harapan Capres nomor urut 1 untuk mencapai B100 sedikit demi sedikit telah dirintis oleh kabinet kerjanya, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mengatakan pelaksanaan Program Mandatori Campuran Biodiesel sampai 30 persen untuk bahan bakar (B30) akan diumumkan pada Oktober 2019.
Mansues Darto, Sekjen Serikat Petani Kelapa Sawit (SPKS) sempat menanggapi statement kedua paslon dalam debat ini. Berlainan dengan opini Prabowo, Mansues berpendapat bahwa perluasan plasma tidak akan memberikan solusi kepada rakyat. “Karena secara benefit dengan sistem ekonomi dan politiknya tidak menguntungkan,” ungkap Mansues dalam rilis kepada Kompas.com. Ia juga memaparkan ke pihak Kompas.com bahwa pertanian plasma yang ada saat ini beserta sawit swadaya sudah cukup tanpa harus diperluas. Justru, ia memberikan poin-poin yang menurutnya harus disoroti, yakni peningkatan produktivitas petani sawit, dan akses petani untuk masuk ke revolusi 4.0 agar dapat terhubung dengan pembeli dan pabrik.
Mansues pun menanggapi statement Jokowi tentang B20 menuju ke B100. Dalam pernyataannya ke Kompas.com, Mansues mengatakan, “Harus ada rencana yang matang dalam B20 ini. Petani perlu terlibat sebelum melangkah ke B100. Keterlibatan petani bagaimana untuk supply sehingga kerakyatannya jelas,” ujarnya. “Ini tugas penting bagi Jokowi, yaitu bagaimana mencegah penguasaan industri sawit perusahaan besar sebagai supply utama saja dan bukan petani. Sekarang petani harus jelas keterlibatannya.”
Impor Komoditas Pangan
Di sesi Inspiratif debat, Capres nomor 2 menggunakan kesempatan ini untuk bertanya kepada Jokowi tentang janji Jokowi untuk “tidak akan impor” komoditas-komoditas pangan, yang menurut Prabowo bertolak belakang dengan hasil kerja Jokowi empat tahun ini. “Ini, terus terang saja, yang kami dengar, sangat memukul kehidupan petani-petani kita. Petani tebu, panen tapi gula dari luar masuk dalam jumlah besar pak, jutaan ton… kemudian juga komoditas lain. Padahal bapak sendiri membanggakan bahwa produksi naik, jadi mohon jawaban.”
Jika statement Prabowo ditelusuri secara faktual, spesifiknya untuk impor gula, data dari comtrade memaparkan bahwa angka impor gula di tahun 2017 yakni 94,47 ribu ton mengalami penurunan dari tahun 2016, yang angka impornya semula 152,14 ribu ton. Meskipun demikian, angka di tahun 2017 memang lebih tinggi dibandingkan impor yang dilakukan pada 2014 dan 2015, yakni 65,88 ribu ton dan 70,95 ribu ton. Di masa pemerintahan Jokowi, tidak ada impor gula yang mencapai angka jutaan dalam satu tahun.
Dalam menjawab pertanyaan Prabowo, Jokowi mengakui bahwa impor komoditas pangan memang masih dilakukan, namun angkanya sudah berkurang. Jokowi tidak membicarakan impor gula yang diangkat Prabowo, dan memilih untuk memaparkan angka-angka dari impor jagung dan beras. “Tadi di depan sudah saya sampaikan bahwa di tahun 2014, kita mengimpor jagung itu 3,5 juta ton. 2018 kemarin, kita hanya mengimpor 180 ribu ton. Artinya petani kita, petani jagung kita, telah memproduksi 3,3 juta ton, sehingga impor itu menjadi, sekarang ini, dapat dikatakan sangat jauh berkurang.” Ia pun juga mengatakan produksi beras naik dan impor komoditas tersebut turun—bahkan, menurut Jokowi ada surplus sekitar 2.8 juta ton dalam supply beras.
Data BPS dan Kementerian Pertanian (Kementan) memang mengindikasi bahwa produktivitas jagung naik dari tahun 2017 ke 2018, yakni dari 52.27 Ku/Ha menjadi 52.41 Ku/Ha. Namun, sumber BPS dan Kementan juga memaparkan angka impor jagung yang berbeda jauh dengan pernyataan Jokowi. Menurut data BPN dan Kementan, impor jagung di tahun 2018 mencapai 737,22 ribu ton, yang mengalami kenaikan dari impor 2017 sebesar 714,504 ribu ton.
sumber gambar: google.com
Di sisi lain, statement Jokowi mengenai produksi beras dan angka surplus stok beras memang sesuai dengan data 2018 yang dipaparkan BPS. Namun, data BPS dan statement Jokowi tentang berkurangnya impor beras tidak sejalan. BPS mencatat bahwa pemerintah telah melakukan impor sebanyak 2,25 juta ton dengan nilai US$ 1,03 miliar di 2018—angka impor beras terbesar kedua sejak tahun 2000 setelah impor beras 2,75 juta ton yang dilakukan pada 2011. Di saat Jokowi mengatakan impor beras terus menurun dari 2014, data BPS membuktikan bahwa angka impor beras di periode 2014-2018 fluktuatif.
Selain melihat kebenaran dari angka-angka yang dipaparkan Capres nomor 1, bagaimana dengan statement Jokowi tentang menjaga keseimbangan harga dengan melakukan impor? Secara umum, pernyataan tersebut dapat benar dalam skenario-skenario tertentu, contohnya bila ada inflasi—terutama yang secara signifikan dipengaruhi oleh permintaan (demand). Ini karena ketika impor bertambah, stok dari Rupiah di pasar modal asing akan meningkat, dan semakin meningkatnya stok tersebut maka nilai Rupiah akan mengalami depresiasi. Ketika nilai Rupiah mengalami depresiasi, permintaan dapat berkurang—terutama untuk komoditas luar negeri yang biasa di impor—dan ini dapat membantu mengurangi inflasi dalam negeri. Selain itu, depresiasi dalam nilai Rupiah dapat membuat barang-barang ekspor secara relatif menjadi lebih murah, sehingga ekspor dapat meningkat. Terlepas dari inflasi, ketika mengikuti rumusan umum di ekonomi, ketika penawaran (supply) dari sesuatu meningkat, maka harga akan menurun. Dan karena beras adalah komoditas yang dikonsumsi sehari-hari oleh masyarakat, maka dengan pengimporan beras dan banyaknya supply beras di masyarakat, maka lebih banyak orang di Indonesia akan memiliki akses ke beras.
Di sisi lain, pengimporan beras dalam angka jutaan ton memiliki opportunity cost. Dalam kata-kata lain, uang yang digunakan untuk impor tersebut dapat digunakan untuk hal-hal lain—contohnya seperti apa yang nanti dikatakan Prabowo, yaitu membantu para petani dalam penyediaan pupuk. Selain itu, menyimpan surplus beras—apalagi dalam angka jutaan ton—memerlukan biaya yang tidak sedikit. Dari melihat tiga skenario ini, dapat disimpulkan bahwa benar-salahnya argumen Jokowi tergantung pada keadaan ekonomi. Terlebih lagi, penilaian ini hanya dirumuskan secara general—untuk mengetahui dampak asli dari impor beras ini, harus dilakukan analisa mendalam kepada banyak faktor-faktor lainnya.
Lalu, menanggapi statement Jokowi, Prabowo pun membalas, “Kalau kita sudah benar kelebihan, 3 juta, kenapa harus kita impor? Apakah tidak lebih baik devisa itu dihemat, kemudian digulirkan, dan buka lahan baru? Kita bantu benih, kita bantu pupuk, pupuk itu sampai ke petani. Jadi, mungkin falsafat beda pak. Kami berpegang kepada, ya, bahwa ekonomi itu harus untuk rakyat, bukan rakyat untuk ekonomi. Jadi pasal 33 bagi kami ini adalah suatu pengaman. Dan ini yang kita lihat dari mana-mana, ini yang diminta oleh para petani. Mereka minta harga yang baik, tapi ia juga minta jangan impor pada saat panen.”
Prabowo juga menyinggung Jokowi soal adanya perubahan peraturan menteri perihal impor beras. “Mungkin Menteri Perdagangan bapak tidak melaporkan ke bapak, bahwa baru-baru saja beliau mengubah Putusan Menteri, pak. Kalau dulu, tidak boleh impor satu bulan sebelum panen, dan tidak boleh impor dua bulan setelah panen. Sekarang, boleh impor pak.”
Seusai debat, pernyataan Prabowo ditanggapi oleh Menteri Perdagangan, Enggartiasto Lukita. Enggartiasto mengatakan bahwa keputusan tersebut merupakan hasil pembahasan dari rapat koordinasi (rakor) yang diadakan bersama sejumlah menteri lainnya dan juga dihadiri oleh Perum BULOG (Badan Usaha Logistik), yakni lembaga negara yang mengurus tata niaga beras. Jadi, menurut Enggartiasto, tidak ada Peraturan Menteri yang diubah, dan di rakor tersebut, memang kuota impor beras yang diberikan kepada BULOG yakni 2 juta ton. Ia juga memaparkan bahwa itu merupakan kewajiban dari BULOG, meskipun BULOG memang dapat memperpanjang izin impor beras.
Untuk menanggapi pertanyaan follow-up Prabowo, terutama tentang kenaikan harga jual yang diusulkan, Jokowi mengatakan bahwa “Memang yang paling sulit adalah menjaga keseimbangan harga. Petaninya senang, masyarakat juga senang. Kalau kita hanya ingin menaikkan harga, produk gabah, ya dinaikkan saja HPP kita. Tetapi harga di pasar akan juga ikut naik. Masyarakat akan merasakan beban disitu. Keseimbangan inilah yang kita terus jaga. Artinya apa? Petani juta bisa mendapatkan untung, tetapi masyarakat juga bisa menjangkau harga yang di pasar.” Dalam segmen ini, Jokowi juga membagikan salah satu strategi yang berkaitan dengan pangan, yakni membangun bendungan. Sesuai dengan statement Jokowi, pembangunan bendungan di NTT dan NTB memang sudah dilakukan pemerintah.
Meskipun impor gula yang awalnya disinggung oleh Prabowo memang tidak ditanggapi oleh Jokowi dalam debat ini, ia memberi statement kepada Katadata.co.id sehari sesudah debat bahwa usulan menaikkan harga gula petani masih sedang dibahas di rapat terbatas. Sebelumnya, pada tanggal 6 Februari, beliau bertemu dengan petani tebu dan berjanji menaikkan harga. Secara pro, menurut Ketua Umum Andalan Petani Tebu Rakyat Indonesia (APTRI) Soemitro Samadikoen, janji pemerintah dapat menambahkan semangat petani tebu untuk menanam, karena janji ini memberikan harapan untuk harga pembelian yang lebih baik. Namun, Ketua Umum Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman Indonesia (Gapmmi) Adhi Lukman, meminta pemerintah untuk berhati-hati dalam menentukan kebijakan harga gula produksi lokal, karena kenaikan harga akan mempengaruhi perusahaan-perusahaan kecil yang tidak menggunakan gula rifinasi impor dan justru menggunakan gula produksi lokal. Selain itu, dalam artikel Katadata.co.id, dapat ditemukan statement dari salah satu peneliti Center for Indonesian Policy Studies (CIPS), Assyifa Szami Ilman. Dalam artikel ini, Assyifa mengungkapkan bahwa “selain mempengaruhi kinerja industri kecil, gula milik petani merupakan komoditas yang dikonsumsi langsung oleh konsumen secara umum.” Oleh karena itu, kenaikan harga juga akan berpengaruh kepada daya beli masyarakat. Pelaku-pelaku industri makanan minuman yang menggunakan gula juga berpotensi untuk melimpahkan biaya produksi lebih ini kepada konsumen melalui penyesuaian harga makanan dan minuman.
Author: Andrieta R.A, Selvina S.S, dan Yohanes Ham
Comments