PANAH KIRANA – Beberapa waktu yang lalu, internet diguncangkan oleh berita kontroversial mengenai net neutrality di Amerika Serikat yang diyakini menghambat kebebasan dalam mengakses internet dengan mengapitalisasi internet itu sendiri. Rupanya, komunitas pengguna internet kembali diguncangkan oleh kabar tidak sedap yang bertiup dari belahan dunia sebelah Barat. Tidak lagi berlatar di Amerika Serikat namun sekarang giliran Uni Eropa yang disebut sebagai penghambat budaya yang telah mengakar dalam masyarakat selama beberapa tahun terakhir. Mosi terhadap apa yang dinamai oleh masyarakat internet sebagai “meme ban” sebenarnya bukanlah hal baru. Pada 5 Juli 2018, mosi ini telah naik kepada European Union’s Legal Affairs Committee. Naiknya mosi ini malah berbalik menyerang para pemohonnya. Hal ini disebabkan oleh begitu banyaknya dukungan pro-meme dari berbagai kalangan yang merasakan ketidakadilan dan pengekangan terhadap kreativitas masyarakat luas. Akan tetapi, satu langkah ke belakang bukan merupakan hambatan bagi Uni Eropa karena setelah hasil voting 318 melawan 278 suara memundurkan mosi tersebut, ia mengamandemenkan peraturan ini agar dapat diterima oleh European Union’s Legal Affairs Committee. Para pemberi mosi diberikan waktu sampai dengan 5 September untuk melakukan perubahan terhadap Directive ini. Perubahan setelah 5 September 2018 dapat terlihat jelas dengan hilangnya frasa seperti “prevent the availability” or “content recognition technologies”. Kini, pada Directive on Copyrights yang baru ditemukan kata-kata seperti “content sharing service providers will have full liability for every piece of content hosted at their servers.” Apa yang menjadi perbedaan 2 poin di atas? Perbedaan di sini terlihat dari definisi “content recognition technology” dan bagaimana cara membedakan plagiarisme serta komedi yang menjadi pusat permasalahan Directive ini.
Untuk memahami masalah ini, kita perlu memahami tiga hal. Pertama, meme adalah sebuah tradisi masyarakat yang berbentuk digital dan dapat dinikmati, diikuti, dan diterjuni oleh masyarakat dari setiap penghujung dunia. Meme merupakan dampak dari globalisasi yang membuat masyarakat internasional tidak hanya memiliki kepentingan kooperatif dalam bidang ekonomi dan pertahanan saja. Selama beberapa tahun belakangan dengan perkembangan pesat terhadap kemajuan komunikasi, internet, dan globalisasi di seluruh dunia membuat meme menjadi fenomena sosial dunia internasional. Belum ada aturan yang secara langsung mengatur mengenai meme dan pengaruhnya terhadap hak cipta, hal ini disebabkan oleh sifat dan karakteristik dari meme itu sendiri. Sulit untuk mengukuhkan hukum yang terdapat budaya masyarakat internasional yang asal usulnya tidak terlacak serta melibatkan berbagai pihak mulai dari negara sebagai entitas internasional hingga individu sebagai subyek hukum nasional. Kedua, European Union Directive merupakan legislasi yang menargetkan diri untuk dibuat bersama dan dipatuhi bersama oleh negara-negara anggota Uni Eropa sehingga bila adanya EU Directive yang telah disetujui maka negara-negara anggota diharap segera menerbitkan hukum domestiknya sendiri yang berkaitan dengan directive tersebut. Ketiga, kita harus mengerti European Union Directive on Copyright in the Digital Single Market atau EU Directive on Copyright dan apa yang membuat directive ini menjadi musuh bersama bagi komunitas meme dunia. EU Directive on Copyright merupakan peraturan yang berusaha mengurangi “kecurangan” terhadap hak cipta di internet. Banyak argumen yang mengatakan bahwa directive ini hanya menginginkan komunitas internet untuk memiliki kewajiban yang sama dengan komunitas konvensional. Hal tersebut dikatakan dapat dilaksanakan dengan mengalihkan beban dan tanggung jawab kepada service provider sehingga para platform yang menjadi service provider harus melaksanakan langkah preventif terhadap pelanggaran hak cipta.
Ancaman bagi para netizen terbaring pada 2 pasal yaitu pasal 11 dan pasal 13 pada Directive on Copyrights. Pasal 11 disebut sebagai ‘the link tax’ merupakan pasal yang mengharuskan para situs-situs berita seperti Google News untuk membayarkan sejumlah royalti terhadap para penerbit karena telah menggunakan potongan artikel mereka di platformnya. Directive ini memberikan publikasi pers untuk dapat memperoleh remunerasi yang adil dan proporsional untuk penggunaan publikasi pers digital mereka yang dilakukan oleh penyedia layanan informasi masyarakat. Namun, kebencian sebenarnya berada di Pasal 13 atau yang disebut “meme ban”. Pasal ini menyatakan bahwa “online content sharing service providers and right holders shall cooperate in good faith in order to ensure that unauthorised protected works or other subject matter are not available on their services,” yang berarti bahwa content sharing provider seperti Facebook memiliki tanggung jawab untuk melakukan take down terhadap unggahan yang dianggap melanggar hak cipta. Ditargetkan untuk memberi pembebanan terhadap content service provider raksasa seperti Facebook, Youtube, dan Twitter namun pasal ini dianggap tidak praktis, meningkatkan sensor, dan menghalangi kebebasan menggunakan internet oleh para pengguna konten.
Alasan pasal ini dinamai “meme ban” adalah bagaimana pasal ini menghadapi budaya meme yang telah mengakar di masyarakat. EU Directive memang tidak menargetkan meme secara langsung tetapi meme seperti yang kita ketahui biasa mengandung gambar-gambar hak cipta. Tidak ada yang tahu secara pasti apakah meme akan jatuh dalam Pasal 13 ini atau tidak. Pendukung directive ini mengusungkan ide bahwa meme akan diproteksi sebagai “parodi” namun hal tersebut jauh dari kata mungkin saat ini. Dengan besarnya data yang di upload para provider tersebut maka tenaga manusia tentu tidak akan cukup untuk menyaring semua data yang diunggah. Walau telah dihapuskan klausul “content recognition technologies” dan diganti dengan “automated blocking of content is avoided,” tetap saja para lawmaker tidak memikirkan sisi praktis dari klausul ini.
Setelah perubahan dilakukan, berbagai reaksi masyarakat terekam dalam bentuk meme itu sendiri. Lebih ironisnya lagi, untuk memerangi EU Directive Pasal 13 ini para memers melangsungkan aksi protes melalui meme yang mereka buat. Dengan meningkatkan kesadaran masyarakat dunia terhadap bahaya penjegalan meme ini, komunitas telah berhasil mencekal “meme ban” sekali namun apakah mereka memang dapat mencekal meme ban sekali lagi? Para pembuat hukum telah berkumpul di Strasbourg, Paris dan melakukan voting pada Rabu 12 September yang menghasilkan dukungan terhadap EU Directives sebanyak 438 suara, 226 menolak dan 39 tidak hadir.
Melihat dari kriteria regulasi Pasal 13 yang disebut “meme ban” ini, maka tidak mungkin sebuah platform menyaring meme satu per satu dengan sumber daya manusia untuk memberikan filter terhadap gambar mana yang melanggar hak cipta. Meski kata ‘content recognition technologies’ sudah diganti namun satu-satunya hal yang memungkinkan untuk penerapan pasal ini adalah dengan teknologi penyaring itu sendiri. Menggunakan sumber daya manusia sangatlah tidak praktis dan tidak masuk akal karena besarnya platform-platform yang ditujukan oleh directive ini. Lebih jauh lagi, sumber daya manusia tidak luput dari human error yang bisa membahayakan platform terhadap pelanggaran pasal 13. Hal yang paling masuk akal adalah dibutuhkannya bantuan mesin yang dapat menyaring konten bersifat hak cipta. Para pembela directive ini memang mengatakan bahwa meme tidak mungkin di-ban karena termasuk kategori parodi namun mesin yang bekerja oleh perputaran algoritma dikhawatirkan tidak dapat membedakan parodi dan plagiarisme. Pada dasarnya, mesin memang dapat membedakan plagiarisme terhadap musik atau pun film, namun bagaimana mesin atau bahkan artificial intelligence dapat membedakan jutaan gambar yang di-upload per detik di tiap-tiap platform.
Apa yang dapat membedakan pembajakan hak cipta terhadap gambar tersebut dan parodi yang dilindungi oleh directive ini, yang lebih penting lagi adalah bagaimana cara mengimplementasikan definisi dan garis pembeda antara pelanggaran hak cipta dan parodi kepada mesin yang menyaring konten-konten yang ‘menghujani’ platform.
Kemungkinan yang paling dekat untuk memastikan directive ini dapat dilaksanakan adalah dengan melaksanakan hal yang telah lumrah sekarang ini. Cara yang dapat ditempuh adalah dengan fitur report content yang sebenarnya sudah lama diterapkan. Namun, apakah report content saja sudah cukup untuk mengatasi pelanggaran yang ingin dihentikan oleh directive ini? Tentu saja tidak. Tujuan utama dari directive ini adalah untuk melakukan tindakan preventif terhadap pelanggaran hak cipta. Bila penyaringan hanya dilakukan sesudah terjadinya pelanggaran, bukankah hal tersebut merupakan langkah represif dan bukan preventif? Berkaca dari penjabaran di atas maka fitur report content sendiri bukanlah pencegahan yang diharapkan oleh Directive on Copyright.
Tidak ada pilihan yang 100% masuk akal atau pun 100% benar dalam masalah meme ban. Para lawmaker pun masih berperang lobi untuk mempertahankan argumennya masing-masing. Pihak pro meme ban mengatakan bahwa meme tidak akan dikenai ban karena diselimuti payung parodi dan terminologi meme ban telah menyebabkan kekeliruan terhadap Directive ini, sedangkan para pihak kontra menyebutkan bahwa payung parodi tidak akan cukup untuk melindungi meme dari hujan badai yang disebabkan Directive tersebut. Dengan alasan efektivitas, maka praktis dari Directive ini disebutkan akan membunuh kreativitas dan tradisi bersama masyarakat internasional. Walau bertentangan bagai utara dan selatan, namun kedua belah pihak bersama-sama mengharapkan dunia yang lebih baik. Perbedaan argumen-argumen tersebut memiliki poin bagi masing-masing pihak untuk mempercayai bahwa pihaknya akan membuat dunia, khususnya hukum terhadap hak atas kekayaan intelektual, menjadi lebih baik.
Kommentare