Sumber gambar: Bakumsu.or.id
Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) kerap menjadi buah bibir di tengah masyarakat Indonesia, baik karena RKUHP mengandung pasal-pasal yang dinilai kontroversial atau sekadar fakta bahwa Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) selaku induk dari segala pengaturan pidana di Indonesia yang sudah berlaku sejak 1918 akhirnya mengalami rekodifikasi. KUHP sendiri dinilai sudah tidak memiliki kepastian hukum sebab sejak Indonesia merdeka, pemerintah belum pernah menetapkan terjemahan resmi KUHP, sedangkan KUHP adalah produk hukum Belanda yang diambil secara langsung dari pengaturan hukum pidana yang berlaku di negara tersebut. Tanpa terjemahan resmi, KUHP menimbulkan potensi multitafsir dan keambiguan di tengah pasal-pasal yang ada. Selain itu, KUHP disusun oleh Belanda berdasarkan nilai-nilai Belanda, sehingga sudah saatnya induk hukum pidana Indonesia disusun ulang oleh Indonesia dan untuk Indonesia berdasarkan asas Pancasila. KUHP juga sudah berlaku selama lebih dari 100 tahun yang berarti pasal-pasal dalam KUHP harus segera disesuaikan dengan perkembangan masyarakat Indonesia.
RKUHP sudah mulai dibahas sejak 1970 dan diserahkan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono kepada Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) selaku lembaga legislatif Indonesia pada tahun 2012. Draf RKUHP pun baru pertama kali disepakati dalam pengambilan keputusan tingkat pertama oleh DPR Periode 2014-2019. Dari draf ini saja, sudah timbul berbagai macam kritik dari masyarakat yang menolak beberapa pasal di dalamnya. Ketika Presiden Joko Widodo mulai menjabat pada tahun 2019, pengesahan RKUHP segera ditunda agar pasal-pasal problematik tersebut dapat ditinjau kembali. Pembahasan ini dilanjutkan kembali pada April 2020 dan berlangsung hingga saat ini. Dilansir dari Kompas.com, substansi dalam draf RKUHP belum mengalami perubahan sejak draf pertama kali disetujui pada tahun 2019, sehingga sampai sekarang pun, kritik maupun penolakan dari masyarakat terhadap sejumlah pasal RKUHP masih marak timbul.
KRITIK DARI MASYARAKAT
Terdapat beberapa pasal dalam draf RKUHP yang dinilai masyarakat berpotensi menimbulkan masalah di kemudian hari apabila diberlakukan. Contohnya adalah pasal tentang penyerangan terhadap harkat dan martabat presiden atau wakil presiden, di mana pasal ini dianggap sebagai pasal karet. Peneliti Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), Maidina Rahmawati, mempertanyakan mengapa pasal ini dimasukkan, sebab di dalam KUHP saja, pasal ini sudah dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi (MK) sejak tahun 2006. Menurutnya, lebih dikhawatirkan lagi bahwa tidak ada standar untuk membedakan hinaan dengan kritikan, sehingga pasal ini dapat digunakan secara sewenang-wenang. Hal yang sama juga berlaku terhadap pasal tentang penghinaan terhadap pemerintah yang sah serta penghinaan terhadap kekuasaan umum dan lembaga negara.
Ada pula Pasal 273 RKUHP yang menyatakan bahwa setiap orang yang mengadakan pawai, unjuk rasa, atau demonstrasi di tempat umum tanpa pemberitahuan pada pihak berwenang dan menimbulkan keonaran diancam sanksi pidana penjara atau denda. Ketua BEM UI, Bayu Satria Utomo, mempertanyakan mengapa pelanggaran tersebut menjadi diancam sanksi pidana, sedangkan sebelumnya di UU Nomor 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum, pelanggaran tersebut hanya diancam pembubaran. Hal ini dinilai mengkriminalisasi usaha masyarakat dalam mengemukakan aspirasi mereka melalui unjuk rasa.
Selain pasal-pasal kontroversial, proses penyusunan RKUHP juga disebut kurang transparan dan tidak melibatkan partisipasi publik. Hal ini pun sempat memicu gelombang unjuk rasa pada tahun 2019 oleh para mahasiswa dan sejumlah organisasi masyarakat sipil yang tergabung dalam Aliansi Nasional Reformasi KUHP.
SOSIALISASI & RESPONS PEMERINTAH LAINNYA
Menghadapi berbagai macam kritik maupun penolakan tersebut, Presiden Joko Widodo dalam Sidang Kabinet Paripurna 24 Agustus 2022 memerintahkan agar dilaksanakannya sosialisasi terhadap RKUHP kepada masyarakat melalui dialog publik. Sosialisasi diselenggarakan secara berkelanjutan dan para peserta dapat hadir, baik onsite maupun online menggunakan Zoom. Melalui dialog publik ini, Badan Intelijen Negara (BIN) berharap dapat meningkatkan kesadaran masyarakat terhadap RKUHP sebagai hasil pembahasan panjang pemerintah dan agar RKUHP dapat diterima oleh masyarakat. Koordinator Pembudayaan Hukum BPHN, Gunawan, mengatakan bahwa dialog publik diselenggarakan dengan harapan terciptanya kesepahaman antara pemerintah dengan masyarakat, serta agar proses pembahasan RKUHP menjadi lebih terbuka dan obyektif. Di dalam dialog publik ini, para peserta bukan hanya mendengarkan para narasumber yang terlibat dalam penyusunan RKUHP, tetapi juga diberikan kesempatan untuk bertanya secara langsung apabila ada saran maupun kekhawatiran yang ingin disampaikan. Dialog publik juga dibuka untuk berbagai daerah di Indonesia guna mendapatkan perspektif seluas mungkin dari masyarakat.
Pemerintah juga sempat memberikan respons terhadap pasal-pasal yang dinilai problematik. Dilansir dari Kompas.com, mengenai pasal tentang penghinaan presiden atau wakil presiden, pemerintah memastikan bahwa kebebasan masyarakat untuk berpendapat atau mengkritik kebijakan pemerintah tidak akan dicekal. Diklarifikasi bahwa pasal ini hanya dicantumkan untuk memberikan batasan dan memastikan kritik tidak menyerang harkat dan martabat presiden maupun wakilnya. Walaupun begitu, respons tersebut belum memberikan solusi terhadap alasan MK membatalkan pasal ini di KUHP sejak 2006, yaitu bahwa pasal ini dapat menimbulkan ketidakpastian hukum dan multitafsir. Sebagaimana Maidina sebutkan, pemerintah juga tidak memiliki standar untuk menentukan batas sebuah kritikan menjadi hinaan dan hal ini belum disinggung pemerintah perihal pasal ini.
Anggota tim sosialisasi RKUHP, Albert Aries, juga sempat memberikan respons terhadap kekhawatiran mahasiswa mengenai Pasal 273 RKUHP yang dianggap berpotensi mengkriminalisasi aksi unjuk rasa tak berencana. Menurutnya, apabila rencana unjuk rasa diberitahukan kepada pihak yang berwenang, maka mereka tidak akan dijerat pasal ini. Walaupun begitu, respons ini tidak menjawab argumentasi Bayu yang mengatakan bahwa dalam UU No. 9 Tahun 1998, pelanggaran ini hanya diancam pembubaran. Tidak terjawab mengapa sekarang pelanggaran tersebut diancam sanksi pidana. Dengan topik unjuk rasa dimasukkan ke dalam kategori hukum pidana, dikhawatirkan akan semakin timbul persepsi buruk mengenai aksi unjuk rasa, sekalipun tidak berencana.
Masih banyak pertanyaan dan keraguan masyarakat terhadap pengaturan yang tercantum dalam rancangan induk hukum pidana Indonesia ini. Respons pemerintah juga sejauh ini masih dinilai kurang memuaskan dan kurang menjawab argumentasi yang dimiliki oleh pihak kontra, sehingga masih ada beberapa pihak yang sulit menerima RKUHP saat ini. Diharapkan bahwa dengan dilaksanakannya dialog publik dan pembukaan sesi tanya jawab di dalamnya, masyarakat bukan hanya mendapatkan edukasi mengenai RKUHP, melainkan juga agar proses penyusunan RKUHP benar-benar melibatkan rakyat dan agar pemerintah terbuka untuk menerima saran dan aspirasi rakyat yang disampaikan, baik di dalam proses sosialisasi ini maupun melalui sarana lain.
Comments