top of page

Jejak Radioaktif di Cikande: Peringatan atas Lemahnya Pengawasan Lingkungan di Indonesia

  • Writer: Panah Kirana
    Panah Kirana
  • 7 hours ago
  • 4 min read

Oleh Vellicia Tania

ree

Sumber Gambar : news.detik.com

Insiden paparan radioaktif di kawasan Industri Modern Cikande Industrial Estate (MCIE), Kabupaten Serang, Banten, pada tahun 2025 menjadi perhatian besar dalam konteks hukum lingkungan dan ketenaganukliran di Indonesia. Berdasarkan hasil temuan Badan Pengawas Tenaga Nuklir (BAPETEN), terdapat bahan radioaktif berupa isotop Cesium-137 (Cs-137) di beberapa fasilitas industri, seperti pabrik peleburan logam PT Peter Metal Technology, lapak besi bekas, hingga tempat pengolahan udang beku. Kontaminasi tersebut diduga berasal dari logam bekas impor yang masuk tanpa pengawasan radiasi sesuai prosedur. Pemerintah kemudian menetapkan kawasan tersebut sebagai “kejadian khusus cemaran radiasi” dan segera melakukan tindakan dekontaminasi serta pengawasan ketat.

BAPETEN bersama Kementerian Kesehatan melaksanakan pemeriksaan menyeluruh terhadap warga yang tinggal di sekitar kawasan industri. Hasil uji Whole Body Counting (WBC) terhadap 1.562 orang menunjukkan bahwa sembilan diantaranya mengalami paparan radionuklida Cs-137, meskipun dalam tingkat ringan dan tanpa korban jiwa. Beberapa warga dilaporkan mengalami gejala seperti pusing, mual, dan kelelahan ringan akibat paparan dosis rendah. Untuk mencegah penyebaran radiasi lebih luas, pemerintah menerapkan sistem pengawasan satu pintu (one-gate policy), yang artinya semua aktivitas keluar-masuk dari kawasan industri termasuk orang, kendaraan, dan barang hanya boleh melalui satu jalur resmi yang diawasi secara ketat oleh pihak berwenang dan melakukan dekontaminasi pada kendaraan serta logistik dari area pabrik.

Dari hasil temuan tersebut, muncul sejumlah persoalan hukum yang harus ditinjau secara mendalam. Salah satu isu utama berkaitan dengan sejauh mana tanggung jawab pemerintah dalam mencegah dan mengendalikan pencemaran bahan radioaktif sebagaimana diamanatkan oleh Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1997 tentang Ketenaganukliran dan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH). Selain itu, terdapat pertanyaan mengenai peran pemerintah daerah Kabupaten Serang dalam pengawasan perizinan industri yang berpotensi menghasilkan limbah radioaktif yang berbahaya ini. Hal ini mengarah pada evaluasi efektivitas sistem pengawasan lintas lembaga yang berjalan selama ini.

Permasalahan lain yang muncul adalah lemahnya koordinasi antar lembaga pemerintah dalam mengawasi impor logam bekas yang mengandung unsur radioaktif. Kondisi ini memperlihatkan belum adanya sistem terpadu antara BAPETEN, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), serta pemerintah daerah dalam mengawasi peredaran logam bekas berpotensi radioaktif. Padahal, BAPETEN memiliki kewenangan utama dalam pengawasan bahan radioaktif, sedangkan KLHK dan pemerintah daerah berperan dalam pengendalian limbah B3 serta perizinan industri di wilayahnya. Di samping itu, terdapat isu mengenai pemenuhan hak masyarakat untuk memperoleh lingkungan yang bersih dan aman sebagaimana dijamin oleh Pasal 28H Undang-Undang Dasar 1945. Transparansi informasi publik dan tanggung jawab pemerintah dalam menangani krisis lingkungan juga menjadi aspek penting yang perlu dikaji dari perspektif hukum administrasi.

Landasan hukum penyelesaian kasus ini berakar pada UUD 1945, khususnya Pasal 28H ayat (1) yang menjamin hak setiap warga negara untuk memperoleh lingkungan hidup yang baik dan sehat, serta Pasal 28I ayat (4) yang menegaskan bahwa perlindungan dan penegakan hak asasi manusia (HAM) merupakan tanggung jawab pemerintah. Ketentuan ini menegaskan bahwa negara memiliki kewajiban hukum untuk melindungi masyarakat dari ancaman paparan radioaktif dan menjamin hak atas lingkungan yang aman, bersih, dan layak huni. Kegagalan dalam mencegah atau mengendalikan pencemaran radioaktif tidak hanya mencerminkan lemahnya pengawasan lingkungan, tetapi juga merupakan bentuk pelanggaran terhadap hak asasi manusia, karena mengancam hak hidup, kesehatan, dan rasa aman warga negara.

Selain UUD 1945, terdapat pula sejumlah regulasi yang secara khusus mengatur pemanfaatan dan pengawasan bahan radioaktif. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1997 menetapkan bahwa setiap kegiatan yang menggunakan atau menyimpan zat radioaktif wajib memperoleh izin dari BAPETEN serta mematuhi ketentuan keselamatan radiasi. Selanjutnya, UU Nomor 32 Tahun 2009 mengatur larangan pembuangan limbah berbahaya dan menerapkan prinsip tanggung jawab mutlak (strict liability), yaitu prinsip hukum yang mewajibkan pelaku pencemar untuk bertanggung jawab atas kerugian lingkungan tanpa harus dibuktikan adanya unsur kesalahan. Prinsip ini penting karena menegaskan bahwa siapa pun yang menyebabkan pencemaran, termasuk dari bahan radioaktif, wajib menanggung konsekuensi hukum dan pemulihan lingkungan. Di sisi lain, UU Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan memberikan dasar hukum bagi pemerintah untuk melakukan tindakan darurat kesehatan dan perlindungan lingkungan secara langsung.

Berdasarkan fakta dan regulasi yang ada, dapat disimpulkan bahwa kasus Cikande menunjukkan pelanggaran terhadap asas kehati-hatian (precautionary principle) serta prinsip keselamatan radiasi, asas ini menegaskan bahwa ketidakpastian ilmiah bukan alasan untuk menunda langkah pencegahan terhadap potensi kerusakan lingkungan. Artinya, jika ada risiko bahaya dari bahan radioaktif, pemerintah wajib bertindak sebelum terjadi pencemaran, bukan sesudahnya. Ditemukannya bahan radioaktif di fasilitas yang tidak memiliki izin memperlihatkan lemahnya pengawasan terhadap distribusi dan penyimpanan zat berbahaya. Seharusnya, seluruh bahan radioaktif yang beredar di Indonesia terdaftar secara resmi dalam sistem inventarisasi nasional dan berada di bawah kendali penuh BAPETEN. Kegagalan ini menggambarkan masih rendahnya kesiapsiagaan pemerintah dalam mengantisipasi risiko radiasi bagi masyarakat dan lingkungan. Selain faktor kelemahan pada tingkat industri, ketidaksinkronan antar lembaga pemerintah turut memperburuk penanganan kasus. Pengawasan yang bersifat sektoral antara BAPETEN, KLHK, dan pemerintah daerah menyebabkan keterlambatan dalam deteksi awal dan respons penanganan. Akibatnya, langkah pemerintah bersifat reaktif dan tidak mengedepankan pencegahan sejak dini. Situasi ini menunjukkan perlunya pembentukan sistem koordinasi nasional yang bersifat digital, terintegrasi, dan dapat memantau peredaran bahan radioaktif secara real-time.

Dari perspektif sosial, masyarakat sekitar kawasan industri mengalami kecemasan dan ketidakpastian atas dampak radiasi jangka panjang. Aktivitas ekonomi dan produktivitas warga menurun akibat kekhawatiran terhadap keamanan lingkungan. Berdasarkan Pasal 65 Undang-Undang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH), masyarakat memiliki hak untuk menuntut pertanggungjawaban pemerintah dan pelaku usaha melalui mekanisme “citizen lawsuit” apabila hak atas lingkungan sehat diabaikan. Oleh karena itu, pemulihan pasca kejadian tidak hanya berfokus pada aspek teknis, tetapi juga harus memperhatikan pemulihan sosial, psikologis, dan ekonomi warga terdampak.

Kasus paparan radioaktif Cs-137 di Cikande memperlihatkan adanya kelemahan mendasar dalam sistem pengawasan bahan berbahaya di Indonesia. Industri yang terbukti menyimpan atau membuang zat radioaktif tanpa izin perlu dikenai sanksi pidana dan administratif sesuai ketentuan UU Ketenaganukliran dan UU PPLH, disertai kewajiban melakukan pemulihan lingkungan (environmental restoration). Pemerintah harus memperkuat koordinasi lintas lembaga melalui sistem inventarisasi nasional berbasis digital serta melakukan audit lingkungan berkala terhadap industri berisiko tinggi. Dengan memperkuat mekanisme pencegahan, transparansi, dan akuntabilitas, negara dapat mewujudkan perlindungan hukum yang efektif bagi masyarakat dan menjaga keberlanjutan lingkungan hidup.


 
 
 

Comments


Post: Blog2 Post
bottom of page