Pengawasan dan Akuntabilitas Hukum dalam Program Makan Bergizi Gratis
- Panah Kirana

- Oct 19
- 6 min read
Oleh Thaliana Pundarika Kantono

Sumber Gambar : prfmnews.pikiran-rakyat.com
Program Makan Bergizi Gratis (MBG) diluncurkan pemerintah pada 6 Januari 2025 sebagai salah satu program nasional yang bertujuan untuk meningkatkan kualitas gizi anak sekolah dan menurunkan angka stunting. Pelaksana utama program ini adalah Badan Gizi Nasional (BGN) yang berkoordinasi dengan Kementerian Kesehatan, Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM), dan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) melalui Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah (Kemendikdasmen). Pelaksanaan di lapangan dilakukan oleh Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG), yaitu penyedia yang bertanggung jawab atas pengadaan bahan, pengolahan, dan distribusi makanan ke sekolah-sekolah penerima. Program ini diharapkan menjadi intervensi gizi nasional yang menyeluruh bagi anak-anak Indonesia.
Program ini semula mendapat sambutan positif, tetapi sejak awal pelaksanaannya muncul banyak laporan keracunan makanan di sejumlah daerah. Berdasarkan data lembaga pemantau Center for Indonesia’s Strategic Development Initiatives (CISDI), tercatat 5.626 kasus keracunan di 17 provinsi hingga September 2025. Salah satu kasus paling menonjol terjadi di Sekolah Dasar Negeri 12 Benua Kayong, Kabupaten Ketapang, Kalimantan Barat, pada 24–25 September 2025. Sebanyak 24 siswa dan satu guru mengalami mual, pusing, dan muntah setelah mengonsumsi makanan MBG yang disiapkan oleh SPPG Dapur Mitra Mandiri.
Menu hari itu terdiri dari nugget ikan hiu, sayur tumis, tahu goreng, dan buah melon. Beberapa saksi menyebutkan bahwa makanan berbau menyengat dan sayur berlendir, tetapi tetap dibagikan kepada siswa. Setelah kejadian, korban langsung dibawa ke Pusat Kesehatan Masyarakat (Puskesmas) Benua Kayong dan sebagian dirujuk ke Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) dr. Agoesdjam Ketapang. Pemerintah daerah menanggung seluruh biaya pengobatan, sedangkan dapur penyedia dihentikan sementara untuk penyelidikan.
Kepala Regional MBG Kalimantan Barat, Agus Kurniawi, mengakui adanya kelalaian dalam pemilihan bahan makanan. Ia menyatakan bahwa penggunaan ikan hiu tidak melalui verifikasi laboratorium dan pengawasan dapur kurang ketat. Kasus ini kemudian memicu evaluasi nasional terhadap sistem keamanan pangan MBG. Pemerintah pusat diminta memperjelas pembagian tanggung jawab antar lembaga agar insiden serupa tidak terulang.
Kasus Ketapang menimbulkan pertanyaan serius tentang tanggung jawab hukum dan pengawasan dalam pelaksanaan MBG. Apakah pemilihan ikan hiu sebagai bahan makanan telah sesuai standar keamanan pangan? Siapa yang harus bertanggung jawab atas kelalaian yang menyebabkan puluhan siswa keracunan? Selain itu, mengapa makanan yang sudah menimbulkan kecurigaan tetap disajikan kepada anak-anak?
Pertanyaan-pertanyaan tersebut tidak sekadar menyangkut prosedur teknis pengolahan, melainkan juga berkaitan dengan hak anak atas pangan yang aman dan bergizi. Dalam hukum, tanggung jawab tidak hanya ada pada penyedia makanan. Sekolah juga wajib memastikan bahwa makanan yang diterima aman dan layak dikonsumsi. Kasus ini memperlihatkan bahwa pelaksanaan MBG belum memiliki sistem pengawasan terpadu dan berlapis sebagaimana mestinya.
Tanggung jawab penyelenggaraan pangan diatur dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan. Pasal 7 menegaskan bahwa penyedia pangan wajib menjamin keamanan, mutu, dan gizi setiap produk. Pasal 71 menyebutkan bahwa setiap pihak yang memproduksi, menyimpan, atau mendistribusikan pangan harus memenuhi persyaratan sanitasi dan kebersihan. Ketentuan ini menjadi dasar utama dalam menilai kelayakan dan tanggung jawab penyedia MBG.
Peraturan Pemerintah Nomor 86 Tahun 2019 tentang Keamanan Pangan menambahkan kewajiban pengawasan berbasis risiko untuk mencegah cemaran biologis, kimia, dan fisik pada makanan. Pemerintah pusat dan daerah wajib melakukan pengendalian menyeluruh terhadap setiap rantai pasok makanan publik, mulai dari produksi hingga distribusi. Pengawasan ini juga mencakup penyimpanan, pengolahan, dan ketepatan waktu konsumsi makanan oleh penerima. Apabila pengawasan dilakukan secara lemah atau lalai, maka hal tersebut dapat menimbulkan pelanggaran hukum administratif yang merugikan masyarakat.
Selain itu, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen menjamin hak masyarakat atas keamanan dalam mengonsumsi produk pangan. Pasal 19 mengatur kewajiban pelaku usaha untuk mengganti kerugian yang timbul akibat produk yang tidak aman. Ketentuan ini diperkuat oleh Pasal 1365 KUHPerdata yang menetapkan bahwa setiap perbuatan melawan hukum menimbulkan kewajiban untuk mengganti kerugian. Dengan demikian, pelaku usaha atau penyedia MBG dapat dimintai tanggung jawab hukum jika terbukti lalai.
Pedoman MBG di Satuan Pendidikan (Kemendikdasmen, 2025) secara tegas menyatakan bahwa sekolah wajib memeriksa kondisi makanan sebelum dibagikan kepada siswa. Sekolah berhak menolak makanan yang menunjukkan tanda-tanda tidak layak seperti bau menyengat, warna berubah, atau tekstur berlendir. Pedoman ini menegaskan prinsip shared responsibility antara penyedia dan satuan pendidikan. Dengan kata lain, tanggung jawab keamanan pangan bersifat kolektif.
Dari fakta yang ada, kelalaian penyedia makanan menjadi faktor utama penyebab keracunan di Ketapang. Penggunaan ikan hiu sebagai bahan pangan tanpa uji laboratorium adalah kesalahan mendasar. Hiu merupakan predator laut dengan risiko kandungan merkuri tinggi sehingga penggunaannya harus melalui pemeriksaan keamanan pangan terlebih dahulu. Tidak adanya bukti uji kandungan logam berat dan bakteriologi, jelas bertentangan dengan prinsip kehati-hatian yang diatur dalam Undang-Undang Pangan dan Peraturan Pemerintah 86/2019. Tindakan ini menunjukkan bahwa penyedia lalai dalam menjalankan tanggung jawab hukum dan moral terhadap konsumen, mengingat sasaran program ini adalah anak-anak sekolah dasar.
Selain penyedia, pihak sekolah juga tidak menjalankan kewajibannya sesuai pedoman. Makanan yang secara fisik sudah mencurigakan tetap dibagikan kepada siswa tanpa pemeriksaan menyeluruh. Padahal sekolah berperan sebagai lapisan pengawasan terakhir dalam rantai distribusi MBG. Tindakan ini memperlihatkan kelalaian administratif yang berdampak langsung pada keselamatan siswa. Dalam konteks hukum administrasi, sekolah bisa dianggap gagal melaksanakan prinsip kehati-hatian (prudential duty) sebagaimana diamanatkan dalam pedoman pelaksanaan MBG.
Kelemahan pengawasan juga tampak di tingkat pemerintah daerah dan lembaga pusat. BGN dan Dinas Kesehatan seharusnya melakukan inspeksi rutin terhadap dapur penyedia MBG. Tidak adanya audit berkala menunjukkan lemahnya fungsi kontrol. BPOM sebagai lembaga teknis pengawas keamanan pangan juga belum melakukan pengujian acak (pemeriksaan atau tes yang dilakukan tanpa jadwal dan tanpa pemberitahuan sebelumnya) terhadap menu MBG di lapangan. Ketidakjelasan pembagian tanggung jawab antar lembaga inilah yang memperbesar potensi pelanggaran berulang.
Rantai kelalaian di setiap tahap pengawasan menimbulkan hubungan sebab-akibat yang membentuk pertanggungjawaban kolektif (collective liability) antara penyedia, sekolah, dan pemerintah. Kelalaian SPPG sebagai penyedia menyebabkan makanan tidak aman dikonsumsi, kelalaian sekolah membuat makanan tetap dibagikan, dan kelalaian lembaga pemerintah menunjukkan lemahnya fungsi kontrol. Karena setiap tahap saling berkaitan, maka kelalaian di satu titik otomatis berdampak pada keseluruhan sistem pengawasan. Dalam hukum administrasi, kondisi ini menciptakan tanggung jawab bersama yang tidak dapat dilepaskan satu sama lain, karena seluruh pihak memiliki kewajiban hukum terhadap keamanan makanan publik. Dengan demikian, pertanggungjawaban kolektif terbentuk sebagai akibat logis dari kelalaian berantai tersebut. SPPG bertanggung jawab langsung atas keamanan bahan pangan dan proses pengolahan, sementara sekolah bertanggung jawab atas pemeriksaan dan penerimaan makanan sebelum dibagikan. Di sisi lain, BGN, BPOM, dan Dinas Kesehatan memegang tanggung jawab administratif atas fungsi pengawasan dan evaluasi mutu. Kegagalan di salah satu titik rantai ini akan menimbulkan kerugian publik yang nyata, sebagaimana terlihat dalam kasus Ketapang.
Lebih jauh, penggunaan ikan hiu tanpa izin tangkap dari Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) juga berpotensi melanggar regulasi konservasi laut. Jika bahan tersebut berasal dari hasil tangkapan yang tidak berizin, penyedia dapat dikenakan sanksi tambahan berdasarkan peraturan perikanan. Kondisi ini menunjukkan bahwa masalah MBG tidak hanya berkaitan dengan keamanan pangan semata, tetapi juga dengan kepatuhan terhadap aturan pengelolaan sumber daya alam. Karena itu, pengawasan lintas sektor antara KKP, BPOM, dan pemerintah daerah menjadi penting untuk mencegah pelanggaran serupa di masa depan.
Kasus keracunan menu nugget ikan hiu dalam program MBG di Ketapang menggambarkan lemahnya sistem pengawasan pangan publik di Indonesia. Rantai tanggung jawab antara penyedia, sekolah, dan lembaga pemerintah belum dijalankan secara efektif. Kelalaian penyedia dalam memilih bahan pangan, kelalaian sekolah dalam pemeriksaan, serta lemahnya pengawasan lembaga terkait memperlihatkan kegagalan struktural dalam menjamin keamanan pangan anak-anak sekolah. Akibatnya, hak anak atas makanan yang aman dan bergizi tidak terpenuhi sebagaimana dijamin oleh undang-undang.
Pemerintah perlu melakukan pembenahan menyeluruh terhadap program MBG. Pembentukan Peraturan Presiden tentang Penyelenggaraan MBG dapat menjadi langkah penting untuk memperjelas pembagian peran antar lembaga dan memperkuat dasar hukum pelaksanaan program. Setiap bahan pangan berisiko tinggi, terutama produk laut seperti ikan hiu, harus melalui uji laboratorium wajib sebelum didistribusikan. Selain itu, sekolah harus dilatih dan diberi kewenangan tegas untuk menolak makanan yang tidak memenuhi standar.
Sistem pengawasan juga harus diperkuat melalui audit berkala, pelaporan publik, dan mekanisme food recall dengan cepat bila ditemukan dugaan keracunan. Pemerintah daerah perlu aktif berkoordinasi dengan BGN dan BPOM agar inspeksi lapangan dilakukan secara rutin. Pemerintah pusat juga perlu menetapkan standar evaluasi yang sama di semua daerah agar pelaksanaan program berjalan seragam dan terukur. Dengan langkah-langkah tersebut, program MBG dapat berjalan sesuai dengan tujuan awalnya, bukan sekadar memberi makan, tetapi juga menjamin hak anak Indonesia atas pangan yang aman, bergizi, dan melindungi kehidupan mereka dari kelalaian yang seharusnya tidak terjadi.
Referensi :
Sekretariat Kabinet Republik Indonesia, “Presiden Luncurkan Program Makan Bergizi Gratis untuk Anak Sekolah”, 6 Januari 2025, setkab.go.id
Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi, Pedoman Pelaksanaan Program Makan Bergizi Gratis di Satuan Pendidikan, Ditjen Pendidikan Dasar dan Menengah, 2025.
Kompas, “Kasus Keracunan Program MBG Terjadi di Sejumlah Daerah”, 27 September 2025.
CISDI (Center for Indonesia’s Strategic Development Initiatives), Laporan Pemantauan Program Makan Bergizi Gratis 2025, September 2025.
Tempo.co, “24 Siswa SD di Ketapang Keracunan Makanan Program MBG, Dinas Kesehatan Turun Tangan”, 25 September 2025.
CNN Indonesia, “Saksi Sebut Makanan MBG di Ketapang Sudah Berbau”, 26 September 2025.
Kompas, “Kepala Regional MBG Kalbar Akui Ada Kelalaian Penyedia Makanan”, 27 September 2025.
Kemendikbudristek, Pedoman MBG di Satuan Pendidikan, 2025, hlm. 8–9.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan.
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 86 Tahun 2019 tentang Keamanan Pangan.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.
Kemendikbudristek, Pedoman MBG di Satuan Pendidikan, 2025, hlm. 10.
BPOM, Panduan Pengawasan Pangan Siap Saji, 2022.
Kemendikbudristek, Pedoman MBG di Satuan Pendidikan, 2025, hlm. 12.
Dinas Kesehatan Provinsi Kalimantan Barat, Laporan Investigasi Kasus MBG Ketapang, 2025.
Dinas Kesehatan Provinsi Kalimantan Barat, Laporan Investigasi Kasus MBG Ketapang, 2025.
Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), Peraturan Menteri KKP No. 5 Tahun 2023 tentang Pengelolaan Hiu dan Pari di Indonesia.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak.
Usulan akademik Bappenas, Naskah Rekomendasi Kebijakan Program MBG Nasional, 2025.






Comments