Kecantikan yang Mematikan: Sindikat Produk Skincare Ilegal di Indonesia
- Panah Kirana
- Feb 6
- 4 min read

Pada tahun 2024, Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) Indonesia menemukan 235 item kosmetik ilegal dan/atau berbahaya dengan nilai ekonomi mencapai lebih dari Rp8,91 miliar di empat wilayah utama Indonesia. Wilayah Jawa Barat mencatatkan nilai temuan terbesar, yaitu Rp4,59 miliar, disusul oleh Jawa Timur sebesar Rp1,88 miliar, Jawa Tengah Rp1,43 miliar, dan Banten Rp1,01 miliar. Selain itu, selama periode Juni hingga September 2024, BPOM mengamankan 415.035 unit (970 item) kosmetik impor ilegal tanpa izin edar dan mengandung bahan dilarang, dengan nilai ekonomi lebih dari Rp11,4 miliar. Produk-produk tersebut sebagian besar didistribusikan melalui platform daring dan banyak ditemukan di berbagai wilayah Indonesia, seperti Sumatra, Jawa, Kalimantan, Nusa Tenggara Timur, Sulawesi, dan Papua. Temuan ini menunjukkan bahwa sindikat produk skincare ilegal masih menjadi masalah serius yang membutuhkan perhatian dan tindakan tegas.
Sindikat produk skincare ilegal di Indonesia beroperasi dengan memproduksi dan mendistribusikan produk yang tidak memenuhi standar kesehatan. Mereka sering menggunakan bahan berbahaya seperti merkuri, hidrokuinon dalam dosis tinggi, dan steroid yang tidak terdaftar di BPOM. Produk-produk ini dipasarkan melalui berbagai saluran, termasuk platform e-commerce dan media sosial, dengan menawarkan hasil instan yang menarik bagi konsumen. Dampak penggunaan produk skincare ilegal sangat serius bagi kesehatan masyarakat. Bahan berbahaya seperti merkuri dapat menyebabkan kerusakan permanen pada sistem saraf, ginjal, dan kulit. Hidrokuinon dalam dosis tinggi dapat menyebabkan hiperpigmentasi dan iritasi kulit yang parah. Penggunaan jangka panjang bahan-bahan ini bahkan berpotensi menyebabkan kanker. Selain risiko kesehatan, peredaran produk skincare ilegal juga merugikan perekonomian negara. Investigasi BPOM menemukan bahwa jaringan distribusi skincare ilegal memiliki potensi omset hingga ratusan triliun rupiah per tahun, yang seharusnya menjadi bagian dari ekonomi formal.
Peningkatan kasus ini mengindikasikan kelemahan dalam pengawasan regulasi. Padahal, ada beberapa aturan yang telah diterapkan, seperti beberapa pasal dalam Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen dan Undang-Undang No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan relevan dalam menindak sindikat produk skincare ilegal. Pasal 8 UU Perlindungan Konsumen mengatur hak konsumen untuk mendapatkan produk yang aman, sementara Pasal 62 mengancam sanksi bagi pelaku yang menjual produk dengan informasi menyesatkan. Pasal 58 dan 59 UU Kesehatan mewajibkan produk kosmetik memenuhi standar keamanan dan memiliki izin edar dari BPOM. BPOM memiliki peraturan terkait standar keamanan produk kecantikan, seperti Peraturan BPOM Nomor 17 Tahun 2023 Tentang Pedoman Dokumen Informasi Produk Kosmetik. Selain itu, Pasal 378 KUHP menjerat pelaku pemalsuan izin edar dan penipuan produk. Pasal-pasal ini bertujuan untuk melindungi konsumen dan menindak praktik ilegal dalam industri kosmetik.
Namun, penerapan regulasi tersebut seringkali menemui berbagai kendala. Penjualan produk ilegal melalui platform e-commerce dan media sosial menjadi tantangan besar karena sulitnya pengawasan terhadap aktivitas digital. Banyak pelaku sindikat yang memanfaatkan anonimitas dalam dunia maya untuk menyembunyikan identitas mereka. BPOM secara berkala melakukan operasi penertiban, contohnya operasi penertiban yang dilakukan BPOM pada akhir 2024, dimana BPOM mengungkap peredaran kosmetik ilegal senilai lebih dari Rp8,91 miliar di empat wilayah Indonesia, dimana produk-produk ilegal tersebut sebagian besar didistribusikan melalui e-commerce dan media sosial, namun sindikat produk ilegal kerap berpindah platform atau menciptakan akun baru setelah penutupan. Hal ini menunjukkan bahwa pengawasan tradisional kurang efektif menghadapi tantangan era digital. Selain itu, rendahnya kesadaran masyarakat terkait risiko penggunaan produk ilegal turut memperburuk situasi. Konsumen sering kali tergiur dengan harga murah atau klaim hasil instan yang ditawarkan tanpa memeriksa legalitas dan keamanan produk. Edukasi tentang pentingnya membeli produk bersertifikat belum sepenuhnya menjangkau masyarakat luas.
Dalam aspek penegakan hukum, sanksi tegas terhadap pelaku sindikat produk skincare ilegal perlu lebih ditingkatkan. Saat ini, salah satu sanksi hukum terkait hal ini diatur dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Misalnya, Pasal 62 ayat (1) menyebutkan bahwa pelaku usaha yang melanggar ketentuan mengenai informasi yang tidak benar atau menyesatkan tentang produk dapat dipidana penjara paling lama lima tahun atau denda maksimal Rp2 miliar. Meskipun sanksi ini cukup jelas, implementasinya sering kali tidak maksimal. Banyak pelaku hanya dikenai hukuman ringan atau denda yang jauh lebih kecil dari keuntungan yang mereka peroleh, sehingga tidak memberikan efek jera. Efektivitas sanksi ini juga terhambat oleh lemahnya pengawasan dan minimnya pelaporan dari masyarakat. Pelaku sering kali kembali beroperasi dengan cara yang lebih terselubung, memanfaatkan celah hukum dan platform daring untuk memperluas jaringan mereka. Selain itu, lemahnya koordinasi antar lembaga yang memiliki wewenang, seperti BPOM, kepolisian, dan kejaksaan juga mempengaruhi efektivitas sanksi. Meskipun BPOM memiliki kewenangan untuk menindak produk kosmetik ilegal, namun tindakan penegakan hukum terhadap pelaku sering kali terhambat oleh prosedur yang rumit atau kurangnya dukungan dari aparat penegak hukum lain. Selain itu, banyak pelaku yang menggunakan platform e-commerce dan media sosial untuk mendistribusikan produk ilegal, yang membuat deteksi dan penindakan semakin sulit dilakukan.
Untuk mengatasi kekurangan - kekurangan tersebut, diperlukan perubahan dalam sistem penegakan hukum dengan memperkuat mekanisme pengawasan dan penindakan. Sanksi yang lebih tegas perlu diterapkan, seperti memperpanjang masa hukuman penjara dan meningkatkan jumlah denda, agar setara dengan kerugian yang ditimbulkan. Selain itu, perlu adanya revisi pada peraturan terkait koordinasi antar lembaga agar penindakan dapat dilakukan secara lebih efektif dan cepat. Pemerintah juga harus lebih aktif dalam melakukan edukasi kepada masyarakat untuk mengenali produk kosmetik yang tidak terdaftar di BPOM dan menghindari produk yang tidak jelas asal-usulnya.
Comments