Bupati Langkat nonaktif, Terbit Rencana Perangin Angin yang sebelumnya telah ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK dalam kasus penyuapan proyek pekerjaan infrastruktur tepatnya di Kabupaten Langkat, sekarang kembali menjadi buah bibir di masyarakat karena adanya dugaan bahwa Bupati Langkat tersebut ternyata melakukan eksploitasi kepada sejumlah orang setelah ditemukan adanya kerangkeng manusia yang ada di kediamannya, tepatnya di halaman belakang rumahnya yang di dalamnya berisi setidaknya 40 orang sempat dikurung. Penjara di rumah Terbit Rencana ini telah beroperasi selama 10 tahun. Dijelaskan bahwa kerangkeng manusia yang ada sangat mirip dengan penjara pada umumnya yang terbuat dari besi dan juga dilengkapi dengan gembok sehingga orang di dalam kerangkeng tidak dapat melarikan diri.
Penjelasan yang dikatakan oleh pemilik kerangkeng manusia tersebut, Terbit Rencana Perangin Angin adalah bahwa sebenarnya bukan dirinya yang memasukan orang-orang ke kerangkeng itu tetapi anggota keluarga dari manusia yang ada di kerangkeng lah yang meminta Terbit untuk dikerangkeng, namun setelah ditelusuri oleh polisi, ternyata tempat kerangkeng manusia di rumah Bupati Langkat tidak memiliki izin untuk menjadi tempat rehabilitasi narkotika. Tetapi kemudian, Terbit Rencana kemudian menyatakan kembali bahwa kerangkeng manusia tersebut dibuat sebagai tempat untuk membina kelompok masyarakat, tepatnya organisasi Pemuda Pancasila.
Orang-orang yang dikurung di dalam kerangkeng manusia tersebut diduga mereka adalah para pekerja sawit yang dieksploitasi dan disiksa dengan cara dipukul sampai lebam dan luka. Para pekerja sawit tersebut dipaksa bekerja 10 jam setiap harinya dari mulai pukul 8 pagi sampai 6 sore dan setelah selesai bekerja, mereka akan langsung dikembalikan ke kerangkeng lagi. Selain itu, para pekerja juga ternyata tidak mendapatkan upah dan makanan yang layak, dimana menurut Migrant Care, hal ini sangatlah bertentangan dengan hak asasi manusia (HAM). Setelah diselidiki lebih lanjut oleh Polda Sumatera Utara diduga ada dua orang tahanan yang tewas dan cacat akibat penganiayaan yang terjadi selama berada di kerangkeng manusia tersebut, dugaan ini semakin kuat ketika ternyata ada kuburan yang sudah ditemukan di beberapa titik di dalam kediaman Bupati Langkat tersebut. Hal diatas diperkuat oleh penemuan Komnas HAM yang lain yaitu ditemukannya alat yang digunakan untuk melakukan kekerasan.
Apabila semua dugaan terhadap aktivitas yang dilakukan dalam kerangkeng ini benar, Terbit selaku kepala dari semua operasi yang berlangsung ini terancam berbagai sanksi pidana, mengesampingkan statusnya sebagai tersangka KPK pada awalnya. Di antaranya adalah UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, terutama Pasal 79 ayat (2) mengenai hak istirahat pekerja. UU tersebut juga diperlengkap dengan Pasal 81 angka (25) UU No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja yang menjelaskan adanya penambahan pasal 88A, 88B, 88C, 88D, dan 88E pada UU Ketenagakerjaan; Pasal 88A ayat (2) hingga (4) mengatur hak pekerja untuk memperoleh upah sesuai dengan pekerjaannya dan bahwa pengusaha wajib memberikan upah tersebut sesuai dengan sebuah kesepakatan pengupahan yang tidak lebih rendah dari pengaturan perundang-undangan mengenai upah minimum. Ada pula Pasal 333 KUHP tentang perampasan kemerdekaan seseorang dengan sengaja dan melawan hukum, UU No. 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang, serta Pasal 28I UUD 1945 tentang hak untuk hidup, untuk tidak disiksa, dan untuk tidak diperbudak. Komnas HAM juga sempat menyebut bahwa Terbit kemungkinan besar telah melanggar Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Menentang Penyiksaan apabila kondisi dan segala kegiatan brutal yang diduga terjadi terbukti benar.
Dengan viralnya penemuan kerangkeng ini beserta dengan segala tindakan keji yang telah dinilai melanggar hak asasi manusia, nyatanya opini publik tidak sejalan dengan opini masyarakat setempat. Para warga Kabupaten Langkat justru setuju dengan pendirian dan pengoperasian kerangkeng ini, serta menilainya baik untuk mengatasi penyalahgunaan narkoba dan kenakalan remaja yang marak terjadi di kawasan setempat. Dikutip dari sebuah wawancara oleh KompasTV adalah testimoni dari Bu Hana, seorang ibu rumah tangga yang suaminya sempat ditempatkan dalam kerangkeng. Menurutnya, tidak ada praktik perbudakan yang terjadi dan semua pasien diperlakukan layak dengan makanan yang cukup. Bu Hana pun menilai kerangkeng efektif dalam mengurangi fenomena penyalahgunaan narkoba yang marak di daerah setempat.
Bukan hanya itu, menurut Bu Hana, para remaja yang biasa ditempatkan dalam kerangkeng diserahkan oleh orang tua mereka sendiri. Sejalan dengan ini, ada pula figur otoritas lain yang juga merekomendasikan kerangkeng bagi masyarakat setempat. Dikutip dari situs detik.com, Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) telah memperoleh informasi bahwa polsek setempat juga merekomendasikan fasilitas yang didirikan oleh Bupati nonaktif ini. LPSK juga menyebut bahwa ini adalah “pembiaran terstruktur”, di mana para warga, aparat penegak hukum, dan anggota dinas lainnya sudah mengetahui keberadaan fasilitas ini sejak pendiriannya 10 tahun yang lalu, namun tidak ada intervensi yang dilakukan dan justru para orang tua direkomendasikan oleh polsek untuk menempatkan anak-anak mereka dalam kerangkeng.
Menanggapi reaksi masyarakat yang positif terhadap fasilitas ini dan para korban dan saksi yang enggan meminta perlindungan hukum, ketua LPSK Hasto Atmojo menyebut adanya korelasi reaksi tersebut dengan kekuasaan yang dimiliki oleh Terbit sendiri. Dilansir dari DetikNews, Atmojo menyebut bahwa Terbit adalah seseorang yang berkuasa sebagai seorang pejabat beserta dengan perekonomiannya yang kuat sebagai seorang pengusaha. Hal ini menyebabkan para korban dan saksi enggan untuk bekerja sama, sehingga pihak LPSK belum bisa memberikan layanan kepada mereka.
Mengesampingkan segala prasangka dan opini publik, satu hal yang sudah dikonfirmasi oleh penemuan Komnas HAM adalah adanya pelanggaran hak asasi manusia yang telah terjadi di dalam fasilitas ini. Dengan begitu, saat ini kedua kerangkeng sudah dikosongkan dan diberikan garis polisi. Para penghuni yang ada di dalam kerangkeng juga sudah dipulangkan ke keluarga mereka atau dialokasikan ke pusat rehabilitasi yang sah. Investigasi pun terus dilakukan oleh Komnas HAM untuk menggali kebenaran dari peristiwa yang memiliki dua sisi ini. Baik pihak Terbit maupun dugaan publik yang dibuktikan benar, dapat diargumentasikan bahwa kerangkeng ini relatif tidak layak sebagai pusat rehabilitasi, mengingat bahwa kesejahteraan para penghuni tampaknya kurang menjadi fokus jalannya fasilitas ini. Apabila niat sang bupati nonaktif adalah untuk membina para anggota masyarakat yang terjebak dalam penyalahgunaan narkoba, seharusnya kondisi fisik dan mental para pasien menjadi prioritasnya. Oleh sebab itu, selagi Komnas HAM masih terus melakukan investigasi, diharapkan agar para penghuni kerangkeng dapat akhirnya mendapatkan perlindungan dan penanganan yang tepat.
Comments