Penanaman mangrove telah menjadi fokus utama dalam upaya konservasi lingkungan di seluruh dunia. Penanaman mangrove adalah kegiatan yang bertujuan untuk menanam atau mengembangkan pohon mangrove di wilayah pantai atau perairan payau. Dengan keberbagaiannya dalam menyediakan manfaat ekologi, ekonomi, dan sosial, praktik ini menjadi tonggak penting dalam menjaga keseimbangan ekosistem pantai dan perlindungan garis pantai dari dampak erosi. Salah satu manfaat utama dari penanaman mangrove adalah perlindungan pantai, sebab akar yang kuat dari pohon mangrove membantu mengurangi erosi pantai dengan menahan tanah dan sedimen.
Mangrove, dengan sistem perakarannya yang kuat dan kokoh, juga mampu bertahan dalam situasi terjangan gelombang yang besar. Sebagai contoh, desa-desa di sekitar Aceh seperti Desa Moawo, Desa Pasar Laweha, Desa Lhok Pawoh, dan Desa Ladang Tuha yang selamat dari tsunami Aceh pada tahun 2004 berkat kehadiran mangrove di sekitar pulau mereka yang mampu meredam kekuatan gelombang tsunami tersebut. Selain itu, mangrove juga dapat menjadi solusi dalam menangani abrasi pantai dengan kemampuannya menstabilkan substrat lumpur dan mengurangi kekuatan gelombang, sehingga dapat mengurangi proses abrasi secara signifikan. Keberadaan mangrove memberikan perlindungan alami bagi ekosistem pesisir dan membantu mempertahankan integritas lingkungan pantai untuk keberlangsungan masyarakat sekitar. Penanaman mangrove juga bertujuan untuk memperbaiki kondisi pantai dan mengembalikan keseimbangan ekosistem pantai yang utuh. Dengan memulihkan ekosistem pantai, wilayah tersebut dapat dimanfaatkan oleh masyarakat sebagai tempat pariwisata edukasi, kawasan konservasi, dan lain sebagainya.
Oleh karena itu, berbagai macam manfaat yang dihasilkan dari pohon mangrove dapat mendukung pemerintah Indonesia dalam praktik pelaksanaan perdagangan karbon yang memiliki tujuan utama guna merealisasikan target pemenuhan Nationally Determined Contribution (NDC) sebesar 29% dengan usaha sendiri serta 41% dengan bantuan pihak internasional. NDC sendiri merupakan komitmen nasional setiap negara, termasuk Indonesia, yang telah meratifikasi Paris Agreement. Adapun tujuan Paris Agreement adalah untuk membatasi kenaikan suhu bumi 1.5-2℃ agar terhindar dari dampak destruktif perubahan iklim. Dengan demikian, salah satu upaya yang digunakan untuk memitigasi perubahan iklim adalah melalui perdagangan karbon, yang dimana penanaman mangrove dapat mendukung pelaksanaannya.
Penanaman mangrove, yang masuk dalam potensi blue carbon Indonesia, nyatanya dapat mendukung pelaksanaan perdagangan karbon yang ditujukan untuk memitigasi perubahan iklim. Adapun definisi dari blue carbon merupakan istilah yang dipakai untuk menggambarkan cadangan emisi karbon yang diserap, disimpan, serta dilepaskan oleh ekosistem pesisir dan laut. Blue carbon memanfaatkan ekosistem pesisir yang terdiri dari hutan bakau, hutan mangrove, padang lamun, dan lahan gambut untuk menyerap karbon.
Maka dari itu, Indonesia sebagai salah satu negara pesisir di dunia, dapat memanfaatkan potensi perdagangan karbon berbasis blue carbon. Proyeksi pelaksanaan perdagangan karbon yang berbasis blue carbon cukup besar, yakni 3.4 Giga Ton atau setara dengan 17% dari cadangan blue carbon seluruh dunia. Tentunya, untuk dapat memanfaatkan potensi tersebut, masyarakat serta pemerintah juga perlu melakukan perawatan dan konservasi terhadap kawasan hutan mangrove. Adapun untuk menjaga keberlangsungan hutan mangrove, maka baik pemerintah dan masyarakat harus senantiasa menjaganya agar tidak rusak. Kerusakan lingkungan hidup sendiri didefinisikan oleh Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup sebagai perubahan langsung dan/atau tidak langsung terhadap sifat fisik, kimia, dan/atau hayati lingkungan hidup yang melampaui kriteria baku kerusakan lingkungan hidup. Maka dari itu, kita harus menjaga hutan mangrove dari kerusakan yang terjadi agar manfaatnya masih dapat kita rasakan.
Selain daripada manfaat bagi lingkungan yang dihasilkan dari cadangan karbon tersebut, pemerintah Indonesia juga dapat memaksimalkan potensi tersebut dalam konteks bisnis. Menurut Prof. Daniel Murdiyarso, nilai ekonomi yang didapatkan oleh Indonesia dari ekosistem blue carbon dapat berkisaran lebih dari US$90.000 per-hektar.
Adapun nilai tersebut terdiri dari kemampuan menyerap dan menyimpan karbon oleh tanaman mangrove, serta jasa lingkungan yang dapat diciptakan, seperti upaya pencegahan abrasi, peningkatan industri perikanan, dan ekowisata. Indonesia sendiri memiliki 25% hutan mangrove di dunia dengan luas 3,5 juta hektar. Dengan adanya potensi tersebut, maka Indonesia dapat memanfaatkan ekosistem mangrove dalam mitigasi perubahan iklim dan di saat yang bersamaan meningkatkan perekonomian masyarakat sekitar.
Tentunya untuk mencapai semua manfaat tersebut, setiap pihak harus terlibat dalam upaya penanaman dan pelestarian tanaman mangrove, tidak terkecuali para mahasiswa. Sebagai kaum pemuda yang masih menjadi bagian dari lingkungan hidup ini untuk berpuluh-puluh tahun ke depan, maka penting bagi mereka untuk dapat bisa menjaga kelestarian alam agar apa yang dimiliki saat ini tidak hilang atau rusak di masa depan. Kerusakan lingkungan pada hakikatnya akan menciptakan suatu kemunduran dalam aktivitas hidup manusia karena manusia akan sulit memenuhi kebutuhan hidupnya di lingkungan yang telah rusak. Maka dari itu, sebagai pemuda yang berupaya dalam menjaga kelestarian lingkungan, mahasiswa fakultas hukum UPH bekerja sama dengan masyarakat setempat untuk menanam mangrove.
Pada 2 Maret 2024, 50 mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Pelita Harapan (UPH) mengadakan kunjungan ke Pantai Keramat Sukawali Surya Bahari (Pantai KSS) untuk melakukan penanaman bibit mangrove. Program penanaman bibit pohon mangrove ini diselenggarakan oleh Departemen Pengabdian Masyarakat Himpunan Mahasiswa Fakultas Hukum UPH 2023/2024. Adapun program tersebut memiliki nama “Peduli Ekonogi Asri (PEKA): Pelihara Ekosistem Demi Upaya Lestari Indonesia (PEDULI).” Tujuan dari diadakannya PEKA adalah untuk menumbuhkan kesadaran mahasiswa hukum UPH dalam merawat lingkungan dengan dilakukannya aksi nyata berupa penanaman bibit pohon mangrove.
Penyanmpaian Materi Mengenai Hukum Lingkungan oleh Departemen Pengabdian Masyarakat (HMFH).
Acara ini dibuka dengan kata sambutan dari Pak Ahmad Marbawi, yang biasa dipanggil Pak Bawi, selaku perwakilan dari masyarakat setempat, yang selama ini membantu tahap persiapan dan pelaksanaan program penanaman bibit pohon mangrove. Pak Bawi menekankan pentingnya menanam pohon mangrove baik untuk masyarakat di pesisir pantai, maupun masyarakat di perkotaan. Tidak hanya itu, Ibu Ellora Sukardi, selaku dosen pembimbing dalam program kerja ini, juga mengapresiasi inisiatif mahasiswa hukum UPH dalam mengadakan program kerja ini. Tidak hanya itu, acara ini juga diisi dengan pemaparan materi mengenai hukum lingkungan oleh Valerine dan Alexandrea selaku anggota Departemen Pengabdian Masyarakat.
Adapun pemaparan materi mengupas mengenai masalah hukum akibat kerusakan hutan mangrove yang diakibatkan karena ulah manusia. Tidak hanya itu, Pak Bawi juga memberikan pemaparan materi manfaat dari menanam mangrove yang salah satunya adalah sebagai penyumbang oksigen. Pada masa-masa dimana keadaan udara perkotaan semakin memburuk karena polusi, memang urgensi untuk menanam dan melestarikan banyak pohon, termasuk mangrove, kian dibutuhkan sebagai penyumbang oksigen sekaligus penyerap CO2. Sebagaimana yang kita ketahui, pohon akan menyerap CO2 untuk proses fotosintesis, yang mana hal tersebut akan membantu pengurangan emisi karbon.
Penyampaian Materi Mengenai Penanaman Mangrove oleh Pak Bawi (Pihak KKBN).
Pak Bawi telah menjadi pengurus dari KKBN sejak 2022 yang fokus dalam beberapa bidang kegiatan dari angkatan laut. Salah satunya adalah rehabilitasi hutan mangrove yang menangani kawasan yang kritis akibat ulah dari manusia serta alam, seperti abrasi dan lain sebagainya. Pak Bawi menyatakan bahwa kegiatan rehabilitasi ini juga diikuti oleh pelajar dari tingkat SMP, SMA, hingga Mahasiswa. Selain itu, terdapat bantuan pula dari non-governmental organization (NGO), instansi pemerintah dari tingkat kabupaten, provinsi sampai pusat, serta beberapa perusahaan yang ingin ikut serta dalam kegiatan tersebut.
Menurut Pak Bawi, terdapat berbagai manfaat yang bisa didapatkan dari penanaman mangrove. Dalam konteks sosial, kekhawatiran masyarakat terhadap abrasi di wilayah pesisir dapat dikurangi karena upaya penanganan abrasi secara konsisten dilakukan melalui pembangunan tanggul dan penanaman mangrove. Harapannya, dengan adanya tindakan ini, tingkat abrasi dapat ditekan sehingga memberikan dampak positif bagi keberlangsungan hidup dan kesejahteraan masyarakat pesisir secara keseluruhan. Selanjutnya adalah pengembalian ekosistem mangrove, baik di daratan maupun di perairan, yang berpotensi memberikan manfaat signifikan bagi masyarakat pesisir. Dengan adanya hutan mangrove yang pulih, masyarakat lokal akan memiliki akses yang lebih mudah dan dekat untuk mencari ikan dan sumber daya laut lainnya, tanpa perlu melakukan perjalanan jauh.
Meskipun pengembalian ekosistem tersebut belum terasa secara signifikan pada saat ini, diharapkan bahwa dalam jangka waktu 5-10 tahun ke depan, mangrove yang telah tumbuh besar akan memperkaya ekosistem yang ada. Hal ini berpotensi untuk meningkatkan kesejahteraan ekonomi masyarakat pesisir secara keseluruhan. Setelah mencapai pertumbuhan penuh, kawasan mangrove memiliki potensi untuk dijadikan destinasi wisata, di mana masyarakat lokal dapat berperan aktif dalam pengelolaan unit-unit usaha seperti warung kopi dan fasilitas serupa yang berlokasi di sekitar KKBN.
Berdasarkan pengalaman Pak Bawi, perawatan hutan mangrove melibatkan proses pemantauan rutin yang dilakukan setiap tiga bulan sekali selama satu tahun. Proses pemantauan ini mencakup pengecekan kondisi tanaman, termasuk identifikasi apakah terdapat tanaman yang mati, mengalami penyakit, atau tumbuh dengan subur dengan menetapkan persentase keberhasilan pertumbuhan. Apabila terdapat tanaman yang mati, tindakan segera dilakukan dengan mencabutnya dan menggantinya dengan tanaman bibit yang baru, sementara tanaman yang terinfeksi penyakit akan diisolasi dan dikeluarkan dari lingkungan hutan mangrove. Namun, kendala yang seringkali dihadapi oleh pihak KKBN adalah minimnya kesadaran dan pengetahuan masyarakat yang belum sepenuhnya memahami manfaat serta fungsi dari penanaman mangrove. “Jadi sampai seringkali dianggap sebagai orang gila karena melakukan kegiatan yang menurut mereka tidak ada nilai ekonomisnya,” ucap Pak Bawi.
Kemudian Valerine Anastasya, ketua acara PEKA, menyatakan bahwa penanaman mangrove dan pembersihan pantai bertujuan untuk memberikan aksi nyata yang dapat dirasakan langsung oleh masyarakat di sekitar lokasi. Diharapkan bahwa program ini akan memberikan manfaat yang signifikan bagi masyarakat setempat dan akan berlanjut hingga tahun-tahun mendatang, Dengan adanya program kerja ini, Valerine juga berharap bahwa PEKA akan dilanjutkan oleh penerus Departemen Pengabdian Masyarakat dengan penanaman di berbagai wilayah pesisir di sekitar Jakarta. Penanaman mangrove bukan hanya tentang menanam pohon, tetapi juga tentang menanam harapan untuk masa depan yang lebih hijau, berkelanjutan, dan harmonis antara manusia dan alam.
Penanaman Mangrove, Pembersihan Sampah, dan Foto Bersama.
Comments