Berdasarkan Laporan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), konflik agraria di Indonesia menembus angka 2.275 kasus dalam kurun waktu empat tahun terakhir. Ketidakadilan dalam penguasaan tanah telah merenggut hak beberapa pihak dan menghambat pembangunan berkelanjutan. Komnas HAM menyimpulkan adanya eskalasi masif konflik agraria di berbagai lokasi di Indonesia. Jika dikalkulasikan, konflik lahan mencapai 692 kasus, setara dengan empat kasus per hari yang dilaporkan ke Komnas HAM.
Urgensi edukasi dan peningkatan kesadaran masyarakat mengenai isu ini tercermin dalam webinar publik ‘Romansa 2024’ yang diselenggarakan oleh Fakultas Hukum UPH pada tanggal 18 April 2024 dengan topik sinergi antara bisnis dan hak asasi manusia dalam mencegah konflik lahan di masyarakat, dengan Komisioner Komnas HAM Dr. Uli Parulian Sihombing, S.H., M.H. sebagai narasumber.
Sinergi antara bisnis dan HAM mengacu pada kolaborasi yang harmonis antara operasi bisnis dan penghormatan terhadap hak asasi manusia. Ini berarti bahwa perusahaan tidak hanya mengejar keuntungan, tetapi juga memastikan bahwa kegiatan mereka tidak melanggar hak asasi manusia dan bahkan berkontribusi positif terhadap pemenuhan hak-hak tersebut. Webinar tersebut menyampaikan bahwa pelanggaran HAM terkait agraria masih mendominasi pengaduan masyarakat. Terdapat lebih dari 50% pengaduan pada tahun 2022 terkait dengan sengketa lahan, tumpang tindih lahan, pengurusan sertifikat, dan mafia tanah. Salah satu contohnya adalah konflik antara warga Nagari Aia Gadang, Pasaman Barat, Sumatera Barat dengan perusahaan sawit, PT Anam Koto. Konflik ini berlarut-larut karena pemerintah dianggap lambat dalam memproses tanah objek reforma agraria. Akibatnya, beberapa petani telah terjerat hukum karena melakukan reclaiming lahan yang mereka anggap sebagai hak mereka Konflik ini mencerminkan masalah yang lebih luas di Indonesia, dimana tumpang tindih kepemilikan tanah dan ketidakjelasan status tanah seringkali menjadi sumber konflik.
Situasi ini dapat menghambat investasi dan pengembangan ekonomi, serta menciptakan ketidakpastian bagi masyarakat setempat. Hal tersebut menunjukkan bahwa masalah pertanahan masih menjadi urgensi yang harus dicari solusinya di Indonesia. Konflik lahan yang sering terjadi tidak hanya merugikan masyarakat, tetapi juga dapat mengganggu stabilitas sosial dan ekonomi seperti terhentinya aktivitas produksi dan bisnis, baik bagi perusahaan maupun masyarakat setempat. Hal ini dapat menurunkan pendapatan dan kesejahteraan masyarakat secara keseluruhan, serta dapat memicu ketegangan dan pertikaian antar komunitas.
Langkah preventif untuk menghindari konflik ini adalah dengan membangun sinergi antara bisnis dan HAM. Sinergi antara bisnis dan HAM dalam menghindari konflik lahan memerlukan peran aktif dari berbagai subjek untuk memastikan bahwa hak kepemilikan tanah jelas, masyarakat setempat harus terlibat secara aktif dalam proses pengambilan keputusan dan menyampaikan pendapat serta kekhawatiran mereka. Perusahaan juga harus melibatkan masyarakat dalam pengambilan keputusan terkait penggunaan lahan dan memperhatikan dampak sosial dari proyek bisnis mereka, termasuk memberikan kompensasi pada masyarakat yang merasa dirugikan. Pemerintah juga harus memastikan bahwa undang-undang dan kebijakan mendukung hak kepemilikan tanah yang jelas dan adil, mereka juga harus memfasilitasi dialog antara perusahaan dan masyarakat.
Komnas HAM mencatat konflik agraria yang terjadi di Indonesia mengarah pada penyelesaian tanah antara masyarakat dengan perusahaan dan pemerintah. Maka dari itu, Komnas HAM sebagai lembaga negara menjadi penengah antara korporasi dan masyarakat adat dalam konflik lahan. Dalam Romansa 2024, dijelaskan bahwa dapat dilakukan beberapa pencegahan dalam konflik tersebut, seperti legal due diligence, edukasi dan sosialisasi tentang HAM kepada pengusaha dan masyarakat oleh Komnas HAM, memfasilitasi dialog antara pengusaha dan masyarakat oleh Komnas HAM, dan membantu menyelesaikan konflik lahan secara damai oleh Komnas HAM. Demikian pula Komnas HAM aktif dalam upaya pencegahan konflik lahan melalui upaya memberikan edukasi kepada masyarakat adat tentang hak-hak atas tanah mereka. Dr. Uli Parulian Sihombing, S.H., M.H. menjelaskan bahwa penting bagi masyarakat adat untuk memahami kerangka hukum pertanahan. Beliau menekankan pentingnya pemahaman terhadap UUD 1945 dan Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) agar masyarakat adat dapat lebih proaktif dalam melindungi tanah mereka dari perampasan dengan mengetahui hak-hak mereka.
Dengan demikian, konflik agraria yang kompleks ini membutuhkan pendekatan holistik dan multidimensi untuk penyelesaiannya. Sinergi antara bisnis dan HAM, edukasi hukum yang komprehensif untuk masyarakat adat, dan peran aktif Komnas HAM dalam mediasi konflik merupakan langkah-langkah penting yang dapat membantu mengurangi konflik. Langkah-langkah ini juga penting untuk mempromosikan pembangunan berkelanjutan yang inklusif dan adil bagi seluruh lapisan masyarakat. Dengan demikian, pendekatan yang komprehensif dan kolaboratif antara semua pihak terkait menjadi kunci untuk mencapai solusi yang berkelanjutan dan menghormati hak asasi manusia. Kesadaran kolektif dan komitmen bersama untuk menyelesaikan masalah ini akan menjadi fondasi yang kuat untuk Indonesia yang lebih adil dan sejahtera.
Comentarios