Awal Perpecahan
Partai Demokrat adalah partai oposisi terbesar di pemerintahan Indonesia. Saat ini, Partai Demokrat mengalami konflik internal yang bermula dari perasaan curiga yang muncul dari Agus Harimurti Yudhoyono (AHY), yang kemudian disampaikan secara langsung pada saat melakukan konferensi pers pada tanggal 1 Februari 2021 silam. Perasaan curiga tersebut mengarah kepada perihal adanya tindakan atau gerakan yang sedang dilakukan untuk mengambil alih kedudukan pemimpin Partai Demokrat.
AHY memberikan penjelasan bahwa gerakan yang dimaksud melibatkan lima orang elit yang salah satunya ialah pejabat penting dalam istana dan empat lainnya mantan kader. Ia juga menjelaskan bahwa para pihak tersebut akan melakukan Kongres Luar Biasa (KLB) pada waktu mendatang untuk mengganti pemimpin Partai Demokrat. Walaupun begitu, AHY tetap mengedepankan asas praduga tak bersalah terhadap perihal ini.
Dalam konferensi pers tersebut ia juga sempat menyampaikan beberapa hal lainnya, yaitu mengirimkan surat kepada Presiden Joko Widodo untuk meminta klarifikasi dan Menkopolhukam yaitu Mahfud MD untuk meminta perlindungan hukum akan penyelenggaraan KLB di waktu mendatang.
Pada 5 Maret 2021, KLB benar adanya dilaksanakan di The Hill Hotel and Resort Sibolangit, Deli Serdang Sumatera Utara. Dalam pelaksanaan KLB tersebut diputuskan Moeldoko sebagai ketua umum Partai Demokrat kubu KLB.
Berbagai respon bermunculan, terutama dari Susilo Bambang Yudhoyono selaku Ketua Majelis Tinggi Partai Demokrat. Ia merasa sangat berkabung akan tindakan yang diduga menjadi suatu penyerangan terhadap kedaulatan Partai Demokrat. Ia beranggapan bahwa pihak yang ada dibalik semua hal ini sangatlah tega juga berdarah dingin.
Disamping itu, AHY tidak hanya tinggal diam. Ia bersama jajaran petinggi Partai Demokrat, serta 34 anggota DPD Partai Demokrat seluruh Indonesia menghampiri kantor Kemenkumham pada Senin 8 Maret 2021. Ia sangat yakin bahwa Kemenkumham dapat melaksanakan tugasnya yaitu memeriksa dan memproses konflik yang terjadi ini dengan integritas tinggi, yaitu dengan objektif berdasarkan data-data bukti yang dimiliki.
Melihat tindakan AHY tersebut ternyata juga tidak membuat kubu Moeldoko tinggal diam. Sebaliknya, mereka malah melakukan hal yang sama dengan menyerahkan hasil KLB yang telah berlangsung beberapa waktu silam, namun dilakukan dengan diam tanpa diketahui media.
Moeldoko vs. AHY
Berita kudeta Partai Demokrat dan munculnya dualisme kepemimpinan, menarik perhatian masyarakat Indonesia dan perhatian tersebut tertuju kepada reaksi yang diberikan oleh pihak-pihak yang terlibat. Selain klarifikasi, masyarakat juga menanti tanggapan yang diberikan antar pihak. Beberapa jam setelah terpilihnya Moeldoko sebagai Ketua Umum (Ketum) KLB Demokrat di Deli Serdang, Moeldoko memberikan tanggapan. Moeldoko yang saat itu tidak berada di tempat penyelenggaraan KLB menyatakan bahwa ia menerima terpilihnya dirinya sebagai Ketum KLB Demokrat Deli Serdang.
“Saya ingin memastikan keseriusan teman-teman semuanya atas amanah ini. Dengan demikian saya menghargai dan menghormati permintaan sodara untuk kita terima menjadi ketua umum.” Itulah pernyataan yang diberikan Moeldoko.
Dalam liputan langsung yang diberikan oleh KompasTV. Moeldoko, saat memberikan pidato kepada para kader setelah terpilih menjadi Ketum KLB Demokrat Deli Serdang, juga menambahkan bahwa KLB yang diselenggarakan serta keputusan yang diambil bersifat sah. Ia mengklaim bahwa kedua hal tersebut sesuai dengan konstitusional yang tertuang dalam Anggaran Dasar/Anggaran Rumah Tangga Partai Demokrat. Dengan terpilihnya Moeldoko sebagai Ketum secara tiba-tiba dalam KLB Demokrat, Moeldoko menyatakan bahwa tidak ada paksaan terhadap pemilihannya tersebut.
Selang beberapa jam setelah terpilihnya Moeldoko sebagai Ketum dalam KLB Deli Serdang, Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) sebagai Ketua Umum Partai Demokrat angkat bicara. Hal pertama yang disampaikan oleh AHY adalah rencana AHY dan Partai Demokrat untuk membawa KLB Demokrat ke ranah hukum. Rencana tersebut diwujudkan saat pihak Partai Demokrat dengan pimpinan AHY meluncurkan gugatan kepada KLB Deli Serdang pada 12 Maret 2021.
Selain jalur hukum, AHY juga menanggapi bahwa KLB Deli Serdang merupakan KLB yang tidak sah dan inkonstitusional dalam Partai Demokrat karena tidak disahkan oleh Kementrian Hukum dan HAM. Terhadap dukungan kader kepada Moeldoko, AHY menyatakan bahwa sebagian besar kader yang berpartisipasi merupakan kader yang sudah dipecat dari Partai Demokrat dan beberapa sudah bergabung dengan partai lain. Terkait kader yang memiliki suara sah untuk pemilihan ketum, AHY memaparkan bahwa 93% kader dengan suara sah sudah menolak keputusan KLB.
“Nah yang saya sayangkan banyak dari mereka yang tadi kita saksikan melalui sejumlah media hadir atas dasar paksaan, ancaman, dan juga imbalan berupa uang posisi dan kedudukan. Ini yang saya nilai sangat merusak demokrasi di negeri kita. Bukan hanya kedaulatan dan kehormatan eksistensi demokrat di sini, tapi juga nasib masa depan demokrasi negeri kita,” kata AHY dengan menambahkan juga bahwa penolakan terhadap KLB tersebut bukan hanya perjuangan demokrat namun juga penegakan demokrasi Indonesia.
Menanggapi konferensi pers yang diberikan AHY, KLB Demokrat tidak tinggal diam, pada 11 Maret 2021, KLB Demokrat melaksanakan jumpa pers di Kantor DPP Partai Demokrat KLB Sibolangit. Dalam jumpa pers tersebut Moeldoko tidak hadir dan diwakili oleh Darmizal sebagai Inisiator KLB Demokrat. Ia enggan menanggapi pertanyaan seputar kepemimpinan AHY dan memilih untuk membahasa posisi KLB Demokrat dalam koalisi politik Indonesia.
Darmiza menyatakan bahwa isu mengenai KLB Demokrat agar bergabung dengan koalisi Jokowi dalam pemilu 2024 adalah tidak benar. Selain jumpa pers, KLB Demokrat juga menjawab pernyataan AHY tentang status KLB Demokrat dengan mendaftarkan KLB Demokrat ke Kementerian Hukum dan HAM pada 17 Maret 2021.
Partai Politik Buka Suara
Keberlangsungan politik dalam suatu negara tidak dapat terlepas dari partisipasi partai politik, ditambah lagi dengan jumlah partai politik yang cukup banyak, politik Indonesia akan selalu diwarnai dengan pendapat, pemikiran, dan opini para politikus dari masing-masing partai. Maka sudah pasti kudeta dan perpecahan yang terjadi kepada Partai Demokrat akan mengundang banyak perhatian dan respon dari partai politik lainnya.
Disamping respon, terdapat juga beberapa partai yang khawatir dengan perpecahan dalam partainya apalagi Demokrat bukan hanya satu-satunya parpol yang mengalami perpecahan, pada Pemilu 2019, partai Golkar juga mengalami perpecahan dimana satu sisi mendukung pasangan calon (paslon) Jokowi-Amin dan sisi lainnya mendukung paslon Prabowo-Sandi.
Politikus Partai PDI Perjuangan, Andreas Hugo Pareira, menanggapi bahwa kudeta dalam Partai Demokrat merupakan suatu konflik internal partai dan tidak memerlukan intervensi ataupun reaksi dari Presiden Jokowi. Pareira juga beranggapan bahwa terjadinya kudeta partai politik merupakan suatu wujud dari kerapuhan struktur internal partai tersebut.
Berbanding terbalik dengan pernyataan Pareira dari Partai PDIP, Mardani Ali Sera selaku Ketua Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Partai Keadilan Sejahtera menyatakan bahwa kelanjutan gejolak dalam Partai Demokrat ditentukan oleh reaksi Jokowi. Sera menganggap bahwa jika Jokowi diam saja maka KLB Demokrat akan menganggap hal tersebut sebagai suatu persetujuan.
Jokowi Memilih Diam
Pilihan Jokowi untuk diam dalam konflik ini bukan tanpa alasan, menurut pernyataan dari Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan, Mahfud MD, sikap yang diambil Jokowi adalah karena Jokowi sama sekali tidak mengetahui rencana Moeldoko untuk menjadi Ketum di KLB Demokrat Deli Serdang.
Mahfud mengatakan bahwa saat bertemu Jokowi sehari sebelum KLB diselenggarakan, Moeldoko tidak menyinggung hal tersebut. Sebaliknya Mahfud menyatakan bahwa dirinya sudah menanyakan kepada Moeldoko terkait KLB Demokrat. Jokowi sendiri baru mengetahui tindakan KLB Demokrat melalui surat yang ditulis oleh AHY pada sore 5 Maret 2021.
Namun, menurut Direktur Eksekutif Parameter Politik, Adi Prayitno, reaksi dan tanggapan resmi dari Jokowi dibutuhkan. Hal tersebut guna meluruskan posisi pemerintah dalam perpecahan Partai Demokrat ini. Prayitno berpendapat bahwa dengan tuduhan yang dilayangkan publik terhadap dukungan istana terhadap KLB Demokrat, Jokowi harus memberi pernyataan resmi untuk meluruskan tuduhan tersebut seba jika tidak, sikap diam dari Jokowi akan dianggap masyarakat sebagai persetujuan akan tindakan KLB Deli Serdang dan juga merupakan suatu bentuk dukungan.
Pilihan Jokowi untuk diam juga didukung oleh beberapa ahli politik seperti Karyono Wibowo, seorang Pengamat Politik Indonesia Public Institute. Wibowo menyatakan bahwa pemerintah sudah sepantasnya diam dan fokus dengan penanganan masalah pandemi dibandingkan ikut campur dengan konflik Partai Demokrat. Ia juga menyatakan bahwa pernyataan dari Menko Polhukam sudah cukup dalam menunjukkan tanggapan Jokowi dalam konflik Demokrat dan KLB Demokrat ini.
Dampak Pada Politik Indonesia
Atas setiap tindakan yang dilakukan pasti akan selalu ada akibat atau dampak yang ditimbulkan. Begitupun dengan konflik yang tengah terjadi pada internal Partai Demokrat saat ini. Konflik yang terjadi dikhawatirkan dapat memberikan dampak atau pengaruh yang tidak baik kepada berbagai pihak, misalnya partai politik lainnya dan masyarakat.
Walau nyatanya konflik yang terjadi pada partai politik di Indonesia tidak hanya baru terjadi sekali, jika terus dibiarkan dan berkelanjutan dapat membawa dampak atau pengaruh tidak baik tersebut. Adapun dampak atau pengaruh tidak baik yang dimaksud yaitu pertama menumbuhkan pandangan pada kacamata masyarakat bahwa partai politik Indonesia masih belum mampu memberikan contoh bagaimana caranya menyelesaikan konflik internal dengan baik dan benar.
Kedua, pada masalah kecil lainnya yang mungkin juga hadir pada internal partai politik yang lain, dapat memberikan pandangan bahwa musyawarah bukanlah langkah awal yang patut untuk diambil. Ketiga, sebagaimana disampaikan oleh Pengamat Politik Universitas Diponegoro yaitu Wijayanto, dampak yang sangat nyatanya ialah menjadi bukti pada semuanya bahwa Indonesia belum dapat menjadi negara demokrasi yang baik dan benar dalam pelaksanaannya.
Terakhir, menumbuhkan sebuah pandangan bahwa partai politik Indonesia masih belum dapat mengendalikan tindakan tertentu dalam mengatasi konflik politik terutama yaitu etika politik. Sudah seharusnya konflik yang telah terjadi pada masa sebelumnya dijadikan sebagai kaca cermin untuk merefleksikan akan tindakan apa yang seharusnya dilakukan dan tidak dilakukan. Maka dari itu, untuk mengatasi permasalahan ini haruslah dilakukan konsolidasi dengan secepat mungkin antar pihak yang memiliki konflik.
Komentar