Selasa, 2 Juni 2020 — Hari ini merupakan hari pertama dari debat calon ketua Badan Eksekutif Mahasiswa UPH (BEM-UPH) periode 2020/2021. Bedanya dengan tahun-tahun sebelumnya, kegiatan debat kali ini dilaksanakan online, via conference call aplikasi Zoom yang terbuka untuk umum. Dua mahasiswa yang mencalonkan diri pada tahun ini yakni Evelyn Floretta dari Hubungan Internasional angkatan 2018 selaku kandidat pertama, dan Carlo Axton Lapian dari Hukum angkatan 2018 sebagai kandidat kedua. Debat ini juga mengundang tiga panelis, Catherine Susantio, S.H., M.M., M.Kn, Evan Theodorus, S.E., dan Yosua Yeremia.
Debat tahun ini bertema “BEM-UPH Sebagai Pusat Pengembangan Kepemimpinan Mahasiswa”, dan dibagi menjadi dua segmen. Di segmen pertama, moderator memberikan dua pertanyaan yang harus dijawab masing-masing kandidat secara bergantian. Setelah memberikan jawaban, panelis akan menanyakan pertanyaan follow up, yang lalu harus ditanggapi oleh kandidat. Di segmen kedua, moderator memberikan pertanyaan berbeda secara bergilir kepada satu kandidat, dan kandidat lain dapat menanggapi serta memberikan pertanyaan kepada kandidat tersebut. Berikut merupakan rangkuman dari hasil debat kedua segmen:
SEGMEN 1
Bagaimana cara mencapai visi “one UPH” sebagai BEM-UPH pusat?
Di segmen pertama, pertanyaan yang pertama diajukan adalah tanggapan para kandidat tentang cara mencapai visi “one UPH”. Selain kampus di Lippo Village, UPH memiliki dua cabang kampus lainnya di Medan dan Surabaya, dan BEM di UPH Lippo Village merupakan “BEM pusat”.
Kandidat pertama, Evelyn, menjawab bahwa untuk mewujudkan “one UPH”, dibutuhkan awareness dari pihak BEM Pusat, yang ditindaklanjuti dengan pengajuan standard operating procedure bagi semua BEM UPH yang jelas dan dipublikasikan. Selain itu, juga diperlukan modul yang menjelaskan program-program kerja BEM. Carlo menjawab pada konsepnya, BEM pusat tidak boleh ada eksklusivitas dalam menjalankan tugasnya terhadap cabang UPH lainnya. Ada baiknya untuk melakukan studi banding dan mengunjungi kampus-kampus lainnya agar BEM pusat dapat mengetahui kondisi kedua kampus lain dan membangun koneksi lebih erat, lalu menyelaraskan standar pelaksanaan program-program BEM.
Tanggapan mengenai kode etik mahasiswa yang melarang demonstrasi, dan apa yang dapat dilakukan jika BEM-UPH tidak “turun ke jalan”?
Untuk pertanyaan kedua, Evelyn menjawab bahwa segala sesuatu tentunya harus mengikuti kode etik yang sudah diatur oleh UPH. Selebih itu, penting bagi para mahasiswa untuk terdidik mengenai sebuah isu sebelum menanggapinya, sehingga Evelyn melihat ada baiknya melakukan kajian yang kemudian dipublikasikan kepada mahasiswa UPH. Juga perlu ada seminar, yang katanya “tidak terlalu serius” untuk memberikan edukasi kepada mahasiswa. Carlo menjawab bahwa kode etik yang ada diciptakan karena mahasiswa UPH diharapkan untuk berkontribusi dengan cara lain yang bukan berdemonstrasi di lapangan, dan Carlo setuju dengan ini. Ia kemudian mengatakan bahwa perlu ada kajian materi yang dibuat dengan himpunan mahasiswa yang program studinya berkaitan dengan isu yang sedang dibahas. Carlo juga mendorong bahwa meskipun tidak demonstrasi, BEM-UPH dapat memberikan audiensi kepada pemerintahan secara langsung baik melalui koneksi kampus, alumni, maupun BEM dari universitas lain.
SEGMEN 2
Peran BEM-UPH dan Service Learning Community dalam pengabdian masyarakat?
Carlo diberikan pertanyaan yang berkaitan dengan visinya, yakni “sinergi”. Ia ditanyakan tentang tanggapannya mengenai peran BEM dan organisasi Service Learning Community (SLC) dalam hal pengabdian masyarakat. Carlo menjawab bahwa perlu ada sinergi antara SLC dengan BEM di kala ini. Carlo juga berpendapat bahwa tindakan dari BEM sepatutnya tidak hanya terbatas kepada sumbangan moneter, melainkan dapat memberikan sumbangan jasa seperti menurunkan tim medis dari mahasiswa kedokteran UPH. “Tidak hanya crowdfunding, tetapi juga crowdsourcing”, ucap Carlo. “True knowledge itu kemampuan mengaplikasikan teori yang dipelajari.”
Kepada jawaban ini, Evelyn menanggapi bahwa setiap organisasi ada fungsi masing-masing, dan apa yang disebutkan Carlo sudah di ranah SLC, sedangkan tujuan BEM-UPH dari awal sudah jelas adalah raising awareness. Carlo pun kembali menjawab bahwa maksudnya bukan untuk melakukan lintas ranah, tapi justru untuk bekerja sama dengan organisasi-organisasi mahasiswa lain dan mengajak mahasiswa untuk berpartisipasi, sehingga para mahasiswa dari organisasi-organisasi itu bisa menyumbang kemampuan mereka. Menurut Carlo tidak cukup hanya melakukan “posting” di Instagram, dan ia mempertanyakan apakah BEM tidak boleh turut turun ke lapangan seperti SLC.
Apakah BEM-UPH dibutuhkan ketika banyak kebutuhan mahasiswa dapat dijawab oleh organisasi-organisasi lain di UPH?
Selanjutnya, Evelyn ditanyakan mengenai visinya untuk menjawab kebutuhan mahasiswa dengan cepat dan akurat. Evelyn diminta untuk memberikan tanggapan terhadap statement bahwa hampir semua kebutuhan mahasiswa sudah dapat dijawab oleh organisasi dan lembaga lain, seperti SLC, himpunan dan Ambassadors of UPH (AoU). Kepada ini, Evelyn menjawab bahwa BEM-UPH berfungsi sebagai organisasi yang menaungi organisasi lainnya di UPH. Himpunan memang penting, tapi lingkupnya hanya per jurusan, oleh sebab itu untuk dapat menyalurkan aspirasi mahasiswa dengan skala dan lingkup lebih besar, perlu ada BEM-UPH.
Carlo kemudian mempertanyakan lebih lanjut kaitan dan kegunaan BEM terhadap organisasi-organisasi seperti AoU, dan mengenai penalaran yang sudah dapat dilakukan oleh himpunan masing-masing. Evelyn pun menanggapi bahwa AoU tetap membutuhkan BEM untuk perekrutan, karena AoU adalah dari mahasiswa untuk mahasiswa, dan BEM adalah organisasi yang bisa menjawab kebutuhan itu. AoU pun akan sering berkolaborasi dengan BEM-UPH, dan juga pernah dilakukan sebelumnya dalam pelaksanaan program kerja dan aktivitas lapangan. Tentang penalaran, tentunya setiap jurusan dapat mengembangkannya masing-masing, tetapi BEM bisa bekerja sama dengan mereka.
Apa yang lebih penting: kepentingan mahasiswa yang tidak dianggap penting bagi kampus, atau kepentingan kampus yang tidak disadari sebagai penting oleh mahasiswa?
Pertanyaan ketiga diajukan kepada Carlo mengenai misinya untuk menggerakkan mahasiswa dalam bersinergi. Ia disuruh memilih apakah lebih penting kepentingan mahasiswa yang tidak dianggap penting bagi kampus, atau kepentingan kampus yang justru mahasiswa tidak sadari sebagai penting bagi mereka. Carlo menjawab bahwa secara spesifik, dibutuhkan penelusuran terhadap kepentingan tersebut, tetapi secara umum sebagai calon ketua Badan Eksekutif Mahasiswa, yang secara jelas akan didengarkan adalah aspirasi mahasiswa. Kalau ada rektorat atau atasan yang ingin melakukan sesuatu yang berdampak kepada mahasiswa, harus ada audiensi. MPM juga dapat membuat survei mengenai respon mahasiswa, dan BEM bisa bersinergi dengan mereka. Kalau ada bentrokan, Carlo menyarankan untuk melakukan pertemuan bipartite antara BEM-UPH dan kampus. Kalau masih tidak dapat membuat persetujuan, mahasiswa juga dapat dilibatkan agar mereka dapat langsung mendengar penjelasan dari kampus mengenai kepentingan mereka.
Evelyn bertanya apa yang akan Carlo lakukan jika banyak mahasiswa ingin peraturan-peraturan kampus yang tidak terlalu “strict”, dan jika mahasiswa menuntut sesuatu hingga ada konflik, tetapi kampus tetap melarangnya. Carlo menjawab, ada beberapa hal yang sudah tidak bisa dihilangkan dan sudah menjadi norma, seperti larangan merokok di kampus. Carlo menambah bahwa BEM-UPH perlu mengetahui kemampuan mereka sebagai mahasiswa dan tetap mematuhi kode etik dan norma yang sudah tidak bisa digantikan.
Apa yang dapat BEM-UPH lakukan jika ada aspirasi mahasiswa yang tidak dapat direalisasikan, dan aspirasi itu tidak dalam ranah kerja BEM-UPH?
Terakhir, Evelyn ditanyakan tentang apa yang akan ia lakukan jika ada aspirasi mahasiswa yang tidak dapat direalisasikan, tetapi aspirasi tersebut tidak di ranah BEM-UPH seperti infrastruktur. Evelyn menanggapi bahwa ia akan mempercayakan permasalahannya kepada MPM, dan akan menggunakan BEM untuk mengedukasi mahasiswa tentang alasan dibalik penolakan aspirasi mereka oleh kampus. Contohnya, seperti tarif parkir. Meskipun BEM tidak dapat mengubah keputusan kampus, BEM dapat menyediakan informasi seperti mengapa harganya ditetapkan seperti itu, apakah itu melanggar peraturan dan hak-hak tertentu, dan lain-lain.
Carlo menanyakan lebih lanjut tentang solusi Evelyn dan apakah ia siap menerima sanksi sosial dari mahasiswa yang, dengan contoh tarif parkir, sudah banyak yang ingin harganya turun. Kepada ini Evelyn menjawab bahwa ia tidak akan mengganggu wilayah MPM, dan kampus memiliki hak menolak aspirasi mahasiswa. Perihal sanksi sosial, Evelyn percaya bahwa banyak mahasiswa UPH yang rasional dan ingin membaca informasi yang disediakan BEM dengan baik. “Asal membicarakan kebenaran, buat apa takut? Kalau emang tujuannya juga untuk mengedukasi, dan agar orang bisa tahu alasan dibaliknya.”
Visi-Misi Kedua Kandidat
Evelyn, selaku kandidat pertama, memiliki visi agar BEM-UPH dapat menjadi organisasi yang bergerak dengan cepat dan tepat dalam menjawab kebutuhan mahasiswa. Tiga misi dari kandidat pertama yakni knowing, function, dan collaboration. Sementara itu, Carlo selaku kandidat kedua memiliki visi terciptanya wadah bagi mahasiswa-mahasiswi UPH untuk bergabung dan mengembangkan kemampuan individual serta meningkatkan nama baik UPH. Tiga misi kandidat kedua yakni kreatif, sinergis, dan aktif. Untuk mengetahui lebih lanjut mengenai kedua kandidat ini, simak akun media sosial KPU UPH.
Comments