Virus Corona, atau yang sekarang dikenal dengan nama COVID-19, telah menjadi sorotan dunia. Pertama ditemukan di Wuhan, China, virus ini telah menyebar ke ratusan negara dan menjadi sebuah pandemi. Sejak awal kemunculan virus ini, timbul kepanikan dalam masyarakat untuk menimbun atau hoarding benda-benda yang dianjurkan dapat setidaknya menangkal penularan virus, seperti masker dan hand sanitiser. Banyak dari kasus penimbunan tersebut bukan untuk pemakaian pribadi melainkan dijual kembali. Akan tetapi, penimbunan tersebut berakibat pada kelangkaan dan adanya permintaan tinggi terhadap masker dan hand sanitiser membuka peluang bagi para pelaku penimbunan untuk menaikkan harga jual berkali-kali lipat dari harga pasaran. Masker dan hand sanitiser yang normalnya dihargai puluhan ribu rupiah menjadi ratusan bahkan jutaan rupiah.
Pada awal bulan Maret lalu, sejak ditemukannya kasus positif pertama di Indonesia, Polri telah menangani 12 kasus penimbunan masker dan hand sanitiser, dan 25 orang ditetapkan menjadi tersangka. Para tersangka diancam dengan hukuman maksimal lima tahun penjara dan denda maksimal Rp. 50 miliar. Beberapa dari para pelaku akhirnya hanya diberi sanksi wajib lapor. Namun, walaupun dengan adanya ancaman hukuman penjara maupun denda, kasus penimbunan tersebut tidak berhenti. Pada awal April, Polri melaporkan 18 kasus dengan 33 orang ditetapkan sebagai tersangka. Dari 33 tersangka, hanya 2 orang yang ditahan. Dilihat dari pertambahan kasus penimbunan masker dan hand sanitiser, banyak yang menilai bahwa penjeratan Pasal 107 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2014 tentang Perdagangan dianggap masih kurang untuk menimbulkan efek jera terhadap para pelaku penimbunan.
Tindakan yang dilakukan para penimbun masker dan hand sanitiser yang dijual kembali tergolong sebagai tindakan ilegal. Pasal 29 (1) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2014 tentang Perdagangan menyebutkan bahwa, “Pelaku Usaha dilarang menyimpan Barang Kebutuhan pokok dan/atau Barang penting dalam jumlah dan waktu tertentu pada saat terjadi kelangkaan Barang, gejolak harga, dan/atau hambatan lalu lintas perdagangan barang”. Melihat penjelasan mengenai Pasal 29 (1) Undang-Undang tersebut bahwa larangan ini dimaksudkan untuk menghindari adanya penimbunan barang yang akan menyulitkan konsumen dalam memperoleh Barang kebutuhan pokok dan/atau Barang penting. Idealnya, para pelaku usaha ini akan diadili dengan tuntutan pidana yang tertera pada Pasal 107 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2014 tentang Perdagangan yang berbunyi:
"Pelaku Usaha yang menyimpan Barang kebutuhan pokok dan/atau Barang penting dalam jumlah dan waktu tertentu pada saat dan/atau terjadi hambatan kelangkaan lalu Barang, lintas gejolak Perdagangan harga, Barang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp50.000.000.000,00 (lima puluh miliar rupiah)."
Menurut Pasal 1 (14) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2014 tentang Perdagangan, Pelaku Usaha adalah orang perseorangan warga negara Indonesia atau badan usaha yang berbentuk badan hukum atau bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan dalam wilayah hukum NKRI yang melakukan kegiatan usaha di bidang Perdagangan.
Dalam konteks ini, para penimbun itu tergolong dalam pelaku usaha tersebut. Hal ini disebabkan karena Pasal 1 (14) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2014 tentang Perdagangan menyebutkan bahwa pelaku usaha adalah badan usaha yang berbadan hukum dan bukan berbadan hukum. Dengan kata lain, setiap orang yang melakukan kegiatan perdagangan adalah para pelaku usaha. Walaupun sudah memiliki dasar hukum yang dapat menjerat para pelaku usaha masker dan hand sanitiser tersebut, kurang ada penegakan hukum yang tegas terhadap kasus ini sehingga masih banyak pelaku usaha yang masih menjual barang-barang penting tersebut dengan harga yang tinggi.
Comentários