Pada Oktober lalu, kabar tentang dugaan kasus pelecehan seksual terhadap anak di bawah umur kembali muncul dari kalangan publik figur. Dalam kasus ini, A selaku orang tua dari LM melaporkan V ke Polres Metro Jaya atas tuduhan kekerasan seksual yang dialami anaknya. Diduga, kejadian ini berdampak serius terhadap kondisi LM. Selain itu, pemberitaan juga menyebut tentang adanya situasi kehamilan yang kemudian didukung dengan adanya tindakan aborsi sebanyak dua kali. Kasus ini mendapat perhatian luas dari publik, mengingat usia LM yang masih di bawah umur pada waktu kejadian tersebut.
A melaporkan V ke kepolisian atas dugaan tindak pidana kekerasan seksual yang melanggar beberapa ketentuan hukum. V dilaporkan atas pelanggaran Pasal 76D Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak, yang menyatakan bahwa setiap orang dilarang melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain. Pelaku tindak pidana ini dapat dikenakan sanksi pidana sesuai dengan Pasal 81, yaitu pidana penjara paling singkat 5 tahun dan paling lama 15 tahun serta denda paling banyak Rp5 miliar. Selain itu, V juga dituntut berdasarkan Pasal 60 Undang-Undang Kesehatan jo Pasal 346 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) atas dugaan praktik aborsi terhadap LM. Larangan aborsi diatur dalam Pasal 60 UU Kesehatan yang menjelaskan bahwa korban pemerkosaan adalah pengecualian dari larangan aborsi. Terakhir, A mengajukan tuntutan berdasarkan Pasal 384 KUHP yang menyatakan bahwa barang siapa dengan sengaja menyebabkan gugurnya atau matinya kandungan seorang perempuan dengan persetujuannya, diancam pidana penjara paling lama 5 tahun 6 bulan.
Kasus kekerasan seksual di Indonesia merupakan salah satu masalah serius yang kerap meningkat setiap tahunnya. Kasus kekerasan seksual ini dapat terjadi di berbagai lapisan masyarakat, baik di lingkungan keluarga, sekolah, tempat kerja, maupun ruang publik. Indonesia. Meskipun beberapa di antaranya telah dilaporkan ke pihak berwajib, faktanya masih banyak kasus yang tidak terungkap atau dilaporkan, baik karena adanya ancaman dari pihak tertentu, rasa takut, malu, ataupun stigma sosial yang masih kuat terhadap korban kekerasan seksual. Kekerasan seksual mencakup berbagai bentuk tindakan yang melanggar hak dan martabat seseorang atas tubuhnya. Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual menyebutkan kekerasan seksual dapat didefinisikan sebagai setiap perbuatan yang merendahkan, menghina, menyerang, dan/atau tindakan lain terhadap tubuh, hasrat seksual, atau fungsi reproduksi seseorang secara paksa dan tanpa persetujuan. Berdasarkan jenisnya, kekerasan seksual dapat digolongkan menjadi kekerasan seksual yang dilakukan secara verbal, non fisik, fisik, dan daring atau melalui teknologi informasi dan komunikasi.
Ketua Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) menyatakan bahwa terdapat sekitar 30.000 perempuan yang menjadi korban tindak kekerasan sepanjang 2023. Data terbaru, yakni per tanggal 1 Januari 2024 terdapat sebanyak 21.792 kasus yang dimana 18.898 merupakan perempuan dan 4.810 nya merupakan laki-laki. Tingginya angka kekerasan seksual di Indonesia ini menunjukkan masih lemahnya perlindungan hukum dan kesadaran masyarakat terhadap isu ini. Menanggapi masalah ini, Undang-Undang No. 12 Tahun 2022 memberikan sejumlah hak bagi korban kekerasan seksual, yakni hak atas informasi terhadap seluruh proses dan hasil penanganan, perlindungan, dan pemulihan, hak mendapatkan dokumen hasil penanganan, hak atas layanan hukum, hak atas penguatan psikologis, hak atas pelayanan kesehatan meliputi pemeriksaan, tindakan, dan perawatan medis. Korban juga memiliki hak atas layanan dan fasilitas yang sesuai dengan kebutuhan khusus korban dan hak atas penghapusan konten bermuatan seksual untuk kasus kekerasan seksual dengan media elektronik.
Hak perlindungan bagi korban kekerasan seksual diatur lebih lanjut dalam Pasal 69 UU No. 12 Tahun 2022, yang menjelaskan hak korban atas perlindungan meliputi: penyediaan informasi mengenai hak dan fasilitas perlindungan, penyediaan akses terhadap informasi penyelenggaraan perlindungan, perlindungan dari ancaman atau kekerasan pelaku dan pihak lain serta berulangnya kekerasan, perlindungan atas kerahasiaan identitas, perlindungan dari sikap dan perilaku aparat penegak hukum yang merendahkan korban, perlindungan dari kehilangan pekerjaan, mutasi pekerjaan, pendidikan, atau akses politik dan pidana atau gugatan perdata atas tindak pidana kekerasan seksual yang telah dilaporkan. Selain itu, Pasal 70 UU 12/2022 juga mengatur mengenai hak pemulihan bagi korban seperti pemberian rehabilitasi, pemberdayaan sosial, restitusi/ kompensasi, dan reintegrasi sosial. Pasal ini juga menjelaskan bagaimana korban juga akan dapat pemulihan sebelum dan selama proses peradilan berlangsung, pemulihan ini diantaranya mencakup penguatan psikologis, pemberian informasi, pendampingan hukum, penyediaan aksesibilitas dan akomodasi yang layak, dan sebagainya.
Dalam rangka menanggulangi kekerasan seksual di Indonesia, pemerintah telah mengambil langkah-langkah signifikan, termasuk membentuk Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) dan Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan). Komnas HAM berperan dalam melindungi hak asasi manusia di Indonesia, termasuk hak untuk bebas dari kekerasan, sedangkan Komnas Perempuan memiliki tugas khusus untuk memantau, mengadvokasi, dan memberikan rekomendasi kebijakan dalam upaya pencegahan serta penanganan kekerasan terhadap perempuan. Selain itu, saat ini Kementerian PPPA juga telah menyediakan hotline SIMFONI PPA yang berfungsi sebagai sistem pendataan, monitoring, dan evaluasi kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak di Indonesia. Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) juga menyampaikan bahwa Peraturan Presiden Nomor 55 Tahun 2024 akan mengesahkan pembentukan UPTD (Unit Pelaksana Teknis Daerah) Perlindungan Perempuan dan Anak, yang bertugas dalam penanganan, perlindungan, serta pemulihan bagi korban, keluarga korban, dan saksi. Kementerian PPPA juga mengimbau agar seluruh lembaga kementerian turut berpartisipasi dalam menanggulangi kekerasan seksual untuk menciptakan lingkungan yang lebih aman dan mendukung.
Tak hanya pemerintah, peran aktif masyarakat juga sangat diperlukan dalam mencegah terjadinya kasus kekerasan seksual di Indonesia. Masyarakat dapat mengambil berbagai langkah kecil namun signifikan dalam berpartisipasi untuk menanggulangi masalah ini, seperti melakukan pendidikan mengenai kesehatan reproduksi, mengadakan seminar atau diskusi tentang bahaya kekerasan seksual, serta meningkatkan kepekaan terhadap orang-orang di sekitar yang mungkin telah menjadi korban kekerasan seksual. Selain itu, masyarakat juga dapat membentuk lingkungan yang mendukung bagi korban dengan memberikan tempat aman untuk berbicara dan melapor. Walaupun langkah-langkah tersebut terkesan sederhana, jika dilaksanakan dengan konsisten, hal ini akan menciptakan dampak yang besar dalam meningkatkan kesadaran kolektif dan menciptakan rasa aman bagi setiap individu. Dengan peran aktif masyarakat, diharapkan kekerasan seksual dapat diminimalisir, sehingga masyarakat merasa lebih aman, nyaman, dan terlindungi.
Kekerasan seksual di Indonesia merupakan isu serius yang memerlukan penanganan secara menyeluruh. Pemerintah telah melakukan berbagai upaya signifikan, seperti pembentukan Komnas HAM dan Komnas Perempuan, serta penyediaan hotline SIMFONI PPA untuk pemantauan dan pendataan kasus kekerasan seksual. Selain itu, undang-undang yang mengatur hak perlindungan dan pemulihan bagi korban, seperti yang tercantum dalam Undang-Undang No. 12 Tahun 2022, telah diberlakukan. Meski demikian, tantangan dalam implementasi kebijakan ini masih ada, terutama dalam meningkatkan kesadaran masyarakat dan penegakan hukum yang lebih tegas terhadap pelaku kekerasan seksual. Peran serta masyarakat juga sangat penting untuk menciptakan lingkungan yang aman dan mendukung korban kekerasan seksual. Masyarakat perlu lebih peka terhadap isu ini, melakukan edukasi serta menyediakan ruang yang aman bagi korban untuk melapor. Dengan langkah-langkah yang berkelanjutan dari berbagai pihak, diharapkan angka kekerasan seksual dapat berkurang, dan korban mendapat perlindungan dan pemulihan yang tepat. Namun, penguatan implementasi kebijakan yang sudah ada harus terus ditingkatkan agar perlindungan terhadap korban lebih efektif, dan pelaku dapat dijatuhi sanksi sesuai ketentuan hukum yang berlaku.
Comments