16 Oktober 2020, media dihebohkan dengan aksi pemenggalan Samuel Paty, seorang guru di Paris, Prancis, yang dilakukan oleh seorang remaja berusia 18 tahun. Motif dari pembunuhan keji itu, disebutkan, karena Paty menunjukkan sebuah karikatur Nabi Muhammad SAW kepada murid-muridnya. Menanggapi kejadian tersebut, Emmanuel Macron, Presiden Prancis saat ini, menyatakan tidak akan melakukan tindakan apapun terhadap peredaran karikatur Nabi Muhammad SAW itu.
Pernyataan sang Presiden tentu menyulut amarah umat Muslim, termasuk Presiden Turki, Erdoğan yang menyatakan pemboikotan terhadap Prancis. Tidak berhenti sampai disitu, peristiwa pemenggalan itu memicu serangan terorisme di beberapa bagian negara Prancis. Hilangnya nyawa warga Prancis dengan motif serupa dengan pemenggalan tersebut bukanlah yang pertama kalinya. Pada 7 Januari 2015, motif serupa memakan lebih dari satu korban jiwa dalam peristiwa Penembakan Charlie Hebdo.
Pukul 11:30 pagi waktu setempat, kantor pusat majalah satir Charlie Hebdo yang sedang beraktifitas seperti biasanya, menjadi target serangan terorisme oleh dua pria bersenjata, Saïd dan Chérif Kouachi. Aksi kedua pelaku yang bersenjatakan beberapa senjata api jenis senjata serbu, memakan 12 korban jiwa dan 11 luka-luka, beberapa sumber melaporkan jumlah korban jiwa sebanyak 17 orang.
Di antara korban jiwa tersebut, empat diantaranya adalah kartunis dan seorangdirekturpublikasi. Berbeda dengan korban-korban lainnya yang merupakan korban dari peluru yang ditembakan secara membabi buta, kelima orang tadi secara khusus menjadi sasaran Saïd dan Chérif yang menembak mereka di kepala setelah sebelumnya menanyakan nama dari masing-masing kelima orang tersebut yaitu, Jean Cabut, Philippe Honoré, Georges Wolinski, Bernard Verlhac, dan Stéphane Charbonnier. Masih belum diketahui secara pasti mengapa kedua pelaku menanyakan nama dari kelima orang tersebut.
Kedua pelaku utama, Saïd dan Chérif Kouachi, berhasil kabur dari lokasi penembakan yang berujung pada perburuan nasional hingga pada 9 Januari 2015 kedua buronan tersudut dan melakukan penyanderaan di kantor percetakan Création Tendance Découverte. Penyanderaan tersebut tidak memakan korban jiwa dan setelah sekitar tiga jam upaya negosiasi, kedua pelaku melancarkan tembakan kepada kepolisian Perancis yang berakhir dengan tewasnya kedua pelaku kakak beradik tersebut di tempat. Pada akhirnya ada 14 orang yang ditangkap atas tuduhan konspirasi dan penyerangan-penyerangan lainnya.
Motif dari penembakan Charlie Hebdo ini tidak lain adalah peredaran karikatur Nabi Muhammad SAW dalam koran Jyllands-Posten yang dipublikasi ulang oleh Charlie Hebdo dimana pada isu yang diterbitkan tersebut nama Charlie Hebdo diganti dengan sengaja menjadi Charia (Sharia) Hebdo tahun 2006. Kedua hal tersebut menyulut amarah warga Muslim di Prancis dan sejumlah negara lainnya.
Selain publikasi karikatur tersebut, pernyataan yang dibuat oleh Stéphane Charbonnier, salah satu korban penembakan Charlie Hebdo pada 2015, yang mengatakan bahwa mereka tidak akan berhenti mempublikasi hal-hal serupa. Pernyataan tersebut sukses mendaratkan Stéphane Charbonnier ke dalam daftar orang yang paling diincar oleh Al-Qaeda. Momen tersebut menjadi awal dari runtutan kejadian yang berakhir pada penembakan Charlie Hebdo.
Bukan Hanya Islam yang Ditarget Charlie Hebdo
Akar identitas Charlie Hebdo sebagai majalah satir datang dari awal pembentukan perusahaan majalah tersebut dimana mayoritas jurnalis yang membentuk Charlie Hebdo dulunya berasal dari majalah satir lainnya, yaitu Hara-Kiri. Sebagian besar jurnalis Hara-Kiri membentuk Charlie Hebdo yang baru dimulai publikasinya, setelah majalah Hara-Kiri ditutup paksa oleh pemerintah akibat salah satu artikelnya yang menyinggung dan menertawakan kematian Presiden Prancis Charles de Gaulle pada tahun 1970. Nama ‘Charlie Hebdo’ merupakan salah satu nama karakter di komik strip yang dipublikasi oleh Hara-Kiri.
Guncangan yang diakibatkan oleh karikatur satir Charlie Hebdo faktanya bukan yang pertama kalinya. Setelah ditelusuri, agama Islam bukan agama pertama yang menjadi target ke-satiran aliran publikasi majalah tersebut. Selain target agama seperti Islam, Kristen, dan Yahudi, Charlie Hebdo juga terkenal sering menjadikan aliran sayap kanan politik dan kapitalisme sebagai targetnya. Dilansir BBC, beberapa karikatur kontroversial Charlie Hebdo antara lain adalah karikatur polisi yang memenggal seorang imigran dan karikatur seksual seorang pendeta Katolik. Majalah itu sendiri sudah sering menerima tuntutan atau ancaman dari berbagai kelompok masyarakat, tetapi tidak ada yang dapat memperkirakan bahwa akan terjadi akibat yang sangat fatal seperti Penembakan 2015 tersebut.
Tanggapan dari Berbagai Negara
Hebohnya peristiwa berdarah ini menuai banyak tanggapan dan reaksi dari berbagai negara di seluruh penjuru dunia. Presiden Indonesia, Joko Widodo pun ikut angkat suara soal aksi penyerangan kantor majalah Charlie Hebdo di Perancis tersebut. Jokowi menyalahkan kejadian nahas ini. Namun, Jokowi juga mengingatkan kepada masyarakat bahwa kebebasan berekspresi tetap harus dilakukan dengan saling menghormati.
Majelis Ulama Indonesia (MUI) telah menyatakan kekhawatirannya bahwa serangan penembakan di kantor majalah ini akan merugikan umat Islam di seluruh dunia dan berharap masyarakat internasional akan bersikap adil dalam menanggapi kejadian ini dan tidak menggeneralisasikannya sebagai bagian dari islam. Ketua Komisi VIII DPR, Saleh Partaonan Daulay, mencatat serangan pada hari Rabu itu patut dikecam karena tindakannya menyimpang jauh dari ajaran dan nilai-nilai Islam. Selain itu, kejadian ini juga menggambarkan tindakan kriminal dan bertentangan dengan nilai-nilai kemanusiaan serta pencemaran nama baik.
Presiden Israel, Reuven Rivlin mengatakan, "Kami mendukung Prancis dalam tekadnya untuk menjaga kebebasan berbicara dan kebebasan pers, yang merupakan pilar utama demokrasi." Perdana Menteri Benjamin Netanyahu mengutuk serangan itu sebagai "tindakan brutal dari kebiadaban" dan mengirimkan belasungkawa kepada orang-orang Prancis.
Dia menekankan bahwa dunia bebas harus bersatu melawan terorisme Islam. Menteri luar negeri Avigdor Lieberman juga menyampaikan belasungkawa kepada keluarga korban, dan mengungkapkan, "Israel bersimpati dengan penderitaan Prancis. Dunia tidak boleh membiarkan teroris mengintimidasi dunia bebas dan Barat berkewajiban untuk bersatu dan bertekad melawan ancaman ini."
Perdana Menteri Turki, Ahmet Davutoglu menyampaikan belasungkawa kepada rakyat Prancis dan mengatakan, "Kami mengutuk terorisme dengan cara yang paling kuat. Kami mendukung rakyat Perancis. Terorisme tidak memiliki agama, kebangsaan atau nilai yang diwakilinya. Terorisme adalah kejahatan terhadap kemanusiaan dan sama sekali tidak bisa dibenarkan."
Yalçın Akdoğan, wakil Perdana Menteri Turki juga ikut membuat pernyataan yang mengutuk penembakan itu. Namun, Turki melakukan penyelidikan kriminal terhadap Cumhuriyet, salah satu surat kabar harian terbesarnya. Hal ini dikarenakan, "menghina nilai-nilai agama", ungkapnya dalam liputannya tentang kartun kontroversial yang diterbitkan di Prancis.
Amnesty International mengatakan itu sama dengan sensor negara. Perdana Menteri Turki menyebutkan bahwa produksi kartun tersebut sebagai "provokasi besar", dan juga menyatakan bahwa "kebebasan berekspresi tidak berarti kebebasan untuk menghina.”
Tony Abbott, Perdana Menteri Australia mengatakan penyerangan dan penembakan yang terjadi di Perancis, merupakan bentuk kekejaman. Dikarenakan insiden ini, seluruh warga Australia ikut prihatin dan mendoakan keluarga korban yang tewas dalam peristiwa penembakan di kantor koran mingguan ini. Abbott juga mengungkapkan bahwa, "Jika Anda tidak suka sesuatu, jangan dibaca. Jangan membunuh orang yang tidak setuju dengan Anda," unggahnya pada akun Twitter.
Sementara itu Perdana Menteri Inggris, David Cameron juga ikut menuangkan pernyataannya padaakunTwitternya.“Kami bersama warga Perancis dalam memerangi teror dan memperjuangkan kebebasan berekspresi," ujar Cameron. Sekretaris Jenderal PBB, Ba Ki-moon mengutuk keras penyerangan ini, dan ia menganggap kejadian ini mengancam media dan kebebasan berekspresi.
"Kejahatan yang mengerikan, tidak dibenarkan, dan kejahatan berdarah dingin. Ini juga menyerang demokrasi, media, dan kebebasan berekspresi," ungkapnya Ba Ki-moon kepada para wartawan di markas PBB di New York, Amerika Serikat. Pemerintah Iran juga ikut mengutuk keras kejadian tahun 2015 ini. "Semua aksi teror yang mengancam orang-orang tak bersalah adalah bertentangan dengan doktrin dan ajaran Islam," ujar Menteri Luar Negeri Iran, Marzieh Afkham. Menurutnya aksi penyerangan ini adalah bagian dari "gelombang radikalisasi" yang telah menyebar di seluruh dunia dalam beberapa tahun terakhir.
Hal ini dikarenakan kurangnya kebijakan serta standar ganda dalam mengatasi kejahatan dan ekstrimisme. Tetapi di satu sisi, ia juga kembali mengkritik keputusan surat kabar tersebut dengan mengatasnamakan kebebasan berekspresi.
Karya tersebut menggambarkan seseorang menggunakan turban yang terbuat dari bom dan memicu kemarahan dan aksi protes di Iran, dan negara-negara lainnya. "Menggunakan kebebasan berekspresi untuk menghina agama-agama monistik dan nilai-nilai juga simbol mereka tidak bisa diterima," ungkap Afkham.
Dampak dan Intoleransi Terhadap Umat Muslim di Prancis
Analisis statistik yang dilakukan oleh surat kabar Le Monde menunjukkan bahwa konten majalah tersebut lebih mementingkan politik Prancis daripada agama, dimana hanya sekitar 1,3% yang membahas topik Islam. Pada bulan Februari 2006, Charlie Hebdo mencetak ulang kartun Nabi Muhammad yang muncul pertama kali di Denmark Jyllands-Posten. Penggambaran visual Nabi sendiri dilarang oleh Islam, karena dianggap menganut prinsip anikonisme. Dimana hal tersebut bertentangan dengan penggunaan ikon atau gambar untuk menggambarkan makhluk hidup.
Masjid Agung Paris dan Persatuan Organisasi Islam Prancis digugat di bawah undang-undang anti-rasisme, menuduh majalah itu menghasut kebencian terhadap Muslim. Pengadilan Prancis memutuskan untuk mendukung Philippe Val, editor eksekutif Charlie Hebdo, yang menyatakan bahwa hanya fundamentalis, bukan Muslim pada umumnya.
Pada tanggal 2 November 2011, kantor majalah Charlie Hebdo diserang menggunakan bom api setelah meluncurkan edisi khusus yang disebut "Charia Hebdo" dan menamai Nabi Muhammad sebagai pemimpin redaksi. Pada tahun 2009, Charbonnier kemudian mengambil alih posisi sebagai editor di kantor majalah Charlie Hebdo dan ditempatkan di bawah perlindungan polisi.
Setelah peristiwa menyedihkan ini, Prancis mengalami peningkatan dalam Islamofobia. Perkembangan ini sangat mengkhawatirkan bagi 4,7 juta orang yang membentuk komunitas Muslim terbesar di Eropa Barat. Hal yang berlawanan dengan permusuhan itu mempopulerkan slogan "Je suis Ahmed", untuk mengenang petugas polisi Muslim yang dieksekusi oleh para teroris, Ahmed Merabet.
Meskipun Islam radikal tetap menjadi pusat perhatian di Prancis, setidaknya 130 orang akan terbunuh dalam serangkaian serangan teroris di Paris kurang dari setahun setelah penembakan Charlie Hebdo dan solidaritas semacam itu menyoroti perbedaan yang dirasakan antara agama dan fundamentalisme militan.
Comments