top of page
Writer's picturePanah Kirana

Pembebasan Ba’asyir: Tindakan Tanpa Landasan Hukum


sumber gambar: google.com

PANAH KIRANA – Akhir-akhir ini, nama Abu Bakar Ba’asyir kembali bermunculan di berbagai media. Nama tersebutsebenarnya sudah tidak asing lagi bagi orang-orang yang berkecimpung di dunia Islam, politik, dan hukum. Ba’asyir merupakan sosok orang yang sangat berpengaruh di negara Indonesia, walaupun cenderung ke arah negatif.

Profil Ba’asyir

Pada tahun 1983, Ba’asyir bersama dengan Abdullah Sungkar ditangkap oleh pemerintah Orde Baru karena asas tunggal Pancasila. Selain itu, ia juga melarang santrinya untuk melakukan hormat bendera karena menurutnya itu adalah perbuatan syirik. Keduanya divonis 9 tahun penjara. Namun, pada tahun 1985, keduanya melarikan diri ke Malaysia ketika masih berstatus sebagai tahanan rumah. Dianggap berbahaya, pemerintah Amerika Serikat pun memasukkan nama Ba’asyir sebagai salah satu teroris karena hubungannya dengan jaringan Al-Qaeda.

Sepulangnya dari Malaysia, ia aktif dalam salah satu organisasi Islam baru garis keras, yaitu Majelis Mujahidin Indonesia (MMI). Singkat cerita, Ba’asyir kembali ditetapkan tersangka oleh Kepolisian RI sebagai pelaku pengeboman Bom Bali pada 18 Oktober 2002. Tiga tahun kemudian, ia dinyatakan bersalah dan dihukum 2,5 tahun penjara atas konspirasi serangan Bom Bali 2002. Setelah bebas pada 14 Juni 2006 berkat remisi, ia kembali ditahan atas tuduhan pembentukan cabang Al-Qaeda di Aceh pada 9 Agustus 2010. Akhirnya ia dijatuhi hukuman penjara selama 15 tahun pada 16 Juni 2011, setelah dinyatakan terlibat dalam pendanaan latihan teroris di Aceh dan mendukung terorisme di Indonesia.

Polemik Pembebasan

Baru-baru ini, massa tengah dihebohkan oleh wacana pemerintah untuk membebaskan Ba’asyir tanpa syarat dengan alasan kemanusiaan. Sesuai dengan vonis majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Ba’asyir yang baru menjalani hukuman penjara selama kurang lebih sembilan tahun ini seharusnya belum dapat dibebaskan tanpa syarat. Membebaskan warga permasyarakatan sebelum masa pidana berakhir adalah melalui pembebasan bersyarat, sesuai dengan Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor 3 Tahun 20018 tentang Syarat dan Tata Cara Pemberian Remisi, Asimilasi, Cuti Mengunjungi Keluarga, Pembebasan Bersyarat, Cuti Menjelang Bebas, dan Cuti Bersyarat. Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengatakan bahwa pembebasan ini dilakukan dengan pertimbangan usia Ba’asyir yang sudah sepuh. Selain itu, kondisi kesehatan Ba’asyir juga dijadikan pertimbangan karenaia sempat jatuh sakit saat menjalani hukuman 15 tahun penjaradi Lembaga Permasyarakatan Gunung Sindur.

Bahkan, Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) juga mempertanyakan skema pembebasan yang diberikan Presiden Jokowi. Direktur Eksekutif ICJR, Anggara Suwahju, menyatakan bahwa pembebasan tersebut bukan merupakan pembebasan bersyarat maupun grasi, sehingga keputusan ini patut dipertanyakan. Disebut bukan grasi karena narapidana Ba’asyir tidak pernah mengajukan grasi ke Presiden, seperti yang telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2010 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2002 tentang Grasi. Dengan demikian, apabila pembebasan Ba’asyir murni disebabkan oleh langkah kemanusiaan, ICJR berharap Presiden Jokowi dapat melakukan tindakan yang serupa juga terhadap, misalnya terpidana mati.


Pengkajian Keputusan

Menteri Koordinator bidang Politik, Hukum dan Keamanan, Wiranto, menegaskan bahwa pembebasan Ba’asyir masih perlu dipertimbangkan dari berbagai aspek, seperti aspek ideologi Pancasila, NKRI, hukum, dan lain sebagainya. Keluarga Ba’asyir memang telah mengajukan permintaan pembebasan sejak tahun 2017. Menurut Wiranto, Presiden sangat memahami permintaan keluarga tersebut. Itulah sebabnya, Presiden memerintahkan pejabat terkait untuk segera melakukan kajian yang lebih dalam dan komprehensif guna merespons permintaan keluarga.

Batal Dibebaskan

Sebagaimana Presiden ingin membebaskan Ba’asyir, Ba’asyirsendiri tidak dapat memenuhi syarat formil yang ditentukan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan dan lebih lanjut didetailkan dalam Peraturan Menteri Hukum dan HAM Nomor 3 Tahun 2018 tentang Syarat dan Tata Cara Pemberian Remisi, Asimilasi, Cuti Mengunjungi Keluarga, Pembebasan Bersyarat, Cuti Menjelang Bebas dan CutiBersyarat. Dari empat syarat yang dipaparkan, Ba’asyir hanya telah memenuhi syarat menjalankan dua per tiga masa pidana, yaitu paling sedikit sembilan bulan. Syarat-syarat lainnya tidak dipenuhi, yakni pertama, bersedia bekerja sama dengan penegak hukum untuk membantu membongkar perkara tindak pidana yang dilakukannya. Kedua, telah menjalani asimilasi paling sedikit setengah dari masa pidana yang wajib dijalani, dan terakhir, menunjukkan kesadaran dan penyesalan atas kesalahandengan menyatakan ikrar kesetiaan kepada NKRI secara tertulis. Segala persyaratan tersebut tidak dapat dinegosiasikan dan harus dilaksanakan sehingga pemerintah sudah memastikan bahwa keputusan pembebasan Ba’asyir telah dibatalkan. (RIA)

1 view0 comments

Comments


Post: Blog2 Post
bottom of page