Kekerasan dalam rumah tangga merupakan suatu tindakan yang dihindari dalam setiap pernikahan. Kasus KDRT masih dianggap hal sepele bagi masyarakat sebab budaya patriarki mengajarkan bahwa memperlakukan istri sekehendak suami merupakan hak suami sebagai pemimpin dan kepala rumah tangga. Hal ini tidak mengejutkan jika kasus KDRT di Indonesia masih tinggi, bahkan meningkat sejak pandemi Covid-19. Terkadang korban tidak menyadari bahwa mereka sendiri berada dalam hubungan yang tidak sehat dan mempunyai rasa takut untuk menceritakan pengalamannya.
Atas pemikiran tersebut, dibentuklah UU Nomor 23 Tahun 2004 mengenai Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (UU PKDRT). UU PKDRT ini bertujuan untuk memberikan jaminan dan mencegah terjadinya kekerasan dalam rumah tangga, menindak pelaku kekerasan dalam rumah tangga, dan melindungi korban kekerasan dalam rumah tangga. Segala bentuk kekerasan merupakan pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) dan kejahatan terhadap martabat kemanusiaan serta bentuk diskriminasi yang harus dihentikan. Selain memberi gambaran atas ketentuan pidana yang akan diberikan, undang-undang ini mengatur tentang hukum acara, kewajiban negara dan masyarakat, serta memberikan perlindungan segera kepada korban yang melapor.
Sebelum UU PKDRT berhasil disahkan pada tanggal 22 September 2004, kasus kekerasan dalam rumah tangga sulit untuk dipecahkan secara hukum karena dianggap sebagai hal privat dan personal. Berbicara tentang apa yang terjadi di balik pintu tertutup dicap sebagai “aib” yang tidak perlu diumbarkan. Sampai saat ini, Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) telah tercatat ada 544.452 kasus Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) atau ranah personal selama 17 tahun, yaitu sepanjang 2004-2021. Sebenarnya, kasus KDRT yang tercatat jauh lebih sedikit daripada yang tidak tercatat. Hal ini disebabkan oleh rendahnya dukungan dari keluarga dan teman, di mana kekerasan dipandang sebagai tindakan yang sementara dan akan berhenti dengan sendirinya, dan tekanan lingkungan untuk tetap bertahan dalam hubungan tersebut.
Dalam Pasal 1 UU PKDRT kekerasan rumah tangga didefinisikan sebagai perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis dan penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga. Dalam arti lain, sudah tidak ada lagi toleransi sekecil apapun itu terhadap kekerasan dalam berkeluarga. Walau sebagian besar korban yang mengalami kekerasan adalah perempuan, namun dalam Pasal 2 UU PKDRT lingkup rumah tangga dalam undang-undang ini meliputi suami, istri, anak, orang-orang yang mempunyai hubungan keluarga baik itu hubungan darah, perwalian, yang menetap dalam rumah tangga atau orang yang bekerja membantu rumah tangga dan menetap dalam rumah tangga tersebut.
Berdasarkan Pasal 6 UU PKDRT, kekerasan fisik sebagaimana dimaksud adalah perbuatan yang mengakibatkan rasa sakit, jatuh sakit, atau luka berat. Tindakan dari kekerasan fisik antara lain adalah memukul, menendang, menampar, bahkan sampai percobaan pembunuhan. Semua perbuatan kekerasan fisik dapat mengakibatkan cedera, kesulitan untuk melakukan aktivitas sehari - hari, dan efek samping yang dapat dilihat dengan kasatmata. Setiap orang yang melakukan perbuatan kekerasan fisik dalam lingkup rumah tangga berdasarkan Pasal 44 dalam UU PKDRT akan mendapat pidana penjara selama 4-15 tahun dan denda paling besar Rp 5.000.000-Rp 45.000.000 tergantung dari kasusnya.
Kenyataannya, kekerasan psikis tidak jauh berbahaya dengan kekerasan fisik. Kekerasan psikis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 dalam UU PKDRT adalah perbuatan yang mengakibatkan ketakutan, hilangnya rasa percaya diri, hilangnya kemampuan untuk bertindak, rasa tidak berdaya, atau penderitaan psikis berat pada seseorang. Kekerasan psikis dapat berbentuk pengendalian, manipulasi, eksploitasi, kesewenangan, perendahan dan penghinaan, pemaksaan dan isolasi sosial. Biasanya sulit untuk mendeteksi seseorang yang mengalaminya. Dalam UU PKDRT Pasal 45 ayat 1 menerangkan orang yang melakukan perbuatan kekerasan psikis akan dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 tahun atau denda paling banyak Rp.9.000.000 sedangkan pada ayat 2 perbuatan yang dilakukan suami terhadap istri atau sebaliknya yang tidak menimbulkan penyakit akan dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 bulan atau denda paling banyak sebesar Rp 3.000.000.
Meskipun hubungan seksual dalam sebuah perkawinan sudah dianggap sah namun jika tindakan itu dilakukan secara terpaksa maka akan dianggap sebagai kekerasan seksual. Kekerasan seksual dalam rumah tangga meliputi kontak fisik, seperti meraba, menyentuh organ intim, mencium, serta perbuatan lain yang menimbulkan rasa jijik, terhina, dan merasa dikendalikan. Berdasarkan ketentuan Pasal 46 dan 47 di UU PKDRT ketentuan pidana yang dilaksanakan adalah pidana penjara paling singkat 4-15 tahun atau denda sebesar Rp 12.000.000-Rp 300.000.000. Dilanjut pada Pasal 48 jika korban mendapat luka dalam yang tidak bisa sembuh baik itu dalam keadaan fisik dan psikis, keguguran janin dalam kandungan, atau mengakibatkan tidak berfungsinya alat reproduksi, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 tahun dan dipidana penjara paling lama 20 tahun atau denda paling sedikit Rp 25.000.000 dan denda paling banyak sebesar Rp 500.000.000.
Bentuk kekerasan rumah tangga yang terakhir adalah penelantaran rumah tangga. Secara hukum orang yang sudah menikah dengan sah memiliki kewajiban untuk merawat dan menjaga rumah tangganya. Penelantaran rumah tangga yang dimaksud disini adalah perbuatan yang membatasi orang khususnya perempuan untuk bekerja dan menghasilkan uang atau barang, membiarkan korban bekerja untuk dieksploitasi atau menelantarkan anggota keluarga. Dalam Pasal 49 UU PKDRT, pelaku penelantaran rumah tangga dipidana dengan penjara paling lama 3 tahun atau denda paling banyak sebesar Rp15.000.000.
Lalu, apa yang harus korban lakukan jika mengalami kekerasan pada rumah tangga? Korban pada dasarnya berhak melaporkan secara langsung kekerasan dalam rumah tangga kepada kepolisian, baik di tempat korban berada maupun di tempat kejadian perkara. Selain itu, korban dapat memberikan kuasa kepada keluarga atau orang lain untuk melaporkannya kepada kepolisian. Seperti yang dinyatakan dalam Pasal 16 UU PKDRT dalam waktu 1x24 jam terhitung sejak mengetahui atau menerima laporan kekerasan dalam rumah tangga, kepolisian wajib segera memberikan perlindungan sementara pada korban dan meminta surat penetapan perintah perlindungan dari pengadilan. Polisi akan bekerjasama dengan tenaga kesehatan, pekerja sosial, relawan pendamping, dan pembimbing rohani untuk mendampingi korban. Mereka akan membantu untuk memberikan layanan kesehatan, memberikan konseling, dan memberikan dukungan kepada korban selagi polisi melakukan penyelidikan.
UU Penghapusan KDRT telah membawa kemajuan berupa terbentuknya struktur aparatur penegak hukum atau masyarakat sipil yang secara khusus dibentuk untuk menangani kasus KDRT, seperti UUPA, P2TP2A, dan Women Crisis Center (WCC) atau Lembaga Pendampingan Korban yang dikelola oleh masyarakat. Semoga kedepannya akan lebih banyak orang yang mulai angkat bicara dan menyebarkan kesadaran tentang bahayanya kekerasan dalam rumah tangga.
コメント