top of page

Peraturan Daerah P4S Kota Bogor: Pelanggaran Hak Asasi Manusia?

  • Gracia Rumia dan Talia Kallista
  • Apr 1, 2022
  • 4 min read


Peraturan Daerah Nomor 10 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanggulangan Perilaku Penyimpangan Seksual atau yang disingkat Perda P4S dibentuk oleh Pemerintah Kota Bogor telah disahkan pada 21 Desember 2021. Latar belakang dari adanya penetapan Perda P4S, yaitu maraknya penyimpangan seksual seperti seks bebas dan homoseksual yang terjadi di Kota Bogor sehingga menimbulkan keresahan dari masyarakat. Perda P4S ini juga dibuat karena Bogor merupakan salah satu kota yang patuh pada nilai-nilai agama. Hal ini disampaikan oleh Panitia Khusus Rancangan Peraturan Daerah (Pansus Raperda) P4S DPRD Kota Bogor, Devie Prihartini Sultani dalam wawancaranya dengan Nasdem.id. Oleh karena itu, dibentuknya Perda P4S bertujuan untuk meminimalisir adanya penyimpangan yang terjadi dalam tatanan kehidupan bermasyarakat khususnya untuk para generasi muda.

Berdasarkan Pasal 6 Perda P4S ini, perilaku penyimpangan seksual yang dimaksud meliputi: homoseksualitas, lesbianisme, biseksualitas, pedofilia, transvertisme, ekshibionisme, voyeurisme, inses, sadisme, fetisisme, nekrofilia, berhubungan seksual dengan lebih dari 1 orang dalam waktu yang sama, triolisme, bestialitas, dan perilaku seksual lainnya yang dinyatakan secara agama, sosial, budaya, psikologis, dan/atau medis sebagai perilaku penyimpangan seksual. Problematika muncul ketika mereka yang beridentitas homoseksual, lesbian, biseksual, dan transgender disamakan dengan para pelaku aktivitas tidak manusiawi seperti pedofilia dan nekrofilia, serta dikategorikan sama sebagai “perilaku penyimpangan seksual”. Adanya Perda P4S ini menunjukkan banyak pihak, terutama kaum LGBT (lesbian, gay, biseksual, transgender), bahwa pemerintah daerah (Pemda) setempat tidak mengakui keberadaan mereka sebagai sesama manusia, melainkan sebagai masalah sosial yang harus ditangani dan bahkan dihukum. Hal ini pun menimbulkan berbagai respons, terutama ketakutan bagi kaum LGBT setempat. Nyatanya, diskriminasi terhadap kaum LGBT sudah lama terjadi di Kota Bogor, sehingga dikhawatirkan bahwa Perda P4S akan memberikan legitimasi kepada segala tindak penolakan dan kekerasan yang sudah terjadi.

Menanggapi pengesahan Perda P4S ini, Koalisi Masyarakat Sipil untuk Hak Keberagaman Gender dan Seksual (Kami Berani) beserta dengan 140 organisasi masyarakat sipil lainnya mengeluarkan pernyataan pada 25 Maret 2022 dan mendeklarasi Perda P4S sebagai pelanggaran hak asasi manusia. Perda P4S, menurut mereka, justru akan memperparah tindak kekerasan dan diskriminasi terhadap kaum LGBT di Bogor, terkhusus apa yang tertera dalam Pasal 6, serta Pasal 15 yang menulis “rehabilitasi” sebagai salah satu penanggulangan penyimpangan seksual. Mereka juga menyatakan bahwa isi Perda P4S bertentangan dengan Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa (PPDGJ) III oleh Kementrian Kesehatan Republik Indonesia yang menulis bahwa orientasi seksual bukanlah gangguan jiwa, sehingga menyukai sesama jenis tidak seharusnya disamakan dengan pedofilia, inses, nekrofilia, bestialitas, dan lainnya. Ada pula International Classification of Diseases revisi ke-11 yang menyatakan secara jelas bahwa transgender bukan gangguan jiwa.

Menurut Koalisi Kami Berani, Perda ini menekankan stigma bahwa kaum LGBT memiliki penyakit yang harus segera disembuhkan, baik dengan rehabilitasi atau terapi konversi, kemudian mendorong masyarakat untuk terus bersikap diskriminatif terhadap kaum LGBT. Terapi konversi sendiri juga disebut sebagai bentuk penyiksaan sebab individu dipaksa dengan cara apapun untuk mengubah orientasi seksual atau identitas gender mereka, termasuk dengan kekerasan. Penanaman stigma dalam masyarakat juga akan mendorong tersebarnya misinformasi mengenai kaum LGBT sebagai kaum minoritas seksual dan gender; berpotensi meningkatkan kebencian, penolakan, dan bahkan kekerasan. Dari sini, perekonomian juga akan terpengaruh dengan kaum LGBT akhirnya ditolak akses pekerjaan dan sumber penghasilan yang layak. Diskriminasi ini melanggar UUD 1945 selaku Konstitusi Republik Indonesia, terutama Pasal 28D yang menyatakan bahwa setiap orang berhak atas perlakuan yang sama di depan hukum dan perlindungan dari perlakuan diskriminatif.

Selain Koalisi Kami Berani, Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) juga mendesak Perda diskriminatif ini untuk segera dicabut dan apabila Pemda Bogor tidak mengambil aksi, maka akan dibatalkan oleh Pemerintah Pusat secara langsung melalui Kementerian Dalam Negeri. Peneliti ICJR, Genova Alicia, berpendapat bahwa pemerintah seharusnya menyelesaikan dan mencegah diskriminasi yang sudah dialami oleh kaum LGBT di Kota Bogor selama ini, bukan terus menekankan stigma negatif yang sama dalam masyarakat dengan memberikan mereka label “penyimpangan” secara hukum. Selain itu, dengan memasukkan LGBT ke dalam kategori perilaku penyimpangan, Perda P4S sebenarnya ikut mengatur orientasi seksual dan identitas gender individu, sedangkan Pemda Bogor seharusnya tidak berhak memasuki ranah privat tersebut. Ada pula Pasal 9 huruf e yang mengatur pemantauan media dan internet yang dikhawatirkan akan mengganggu hak kebebasan berpendapat dan privasi. Terakhir, Perda P4S juga dinilai akan menghambat usaha penanggulangan HIV-AIDS di Indonesia dikarenakan stigma dan diskriminasi terhadap kaum LGBT yang terus ditekankan dan bahkan dilakukan secara hukum.

Disamping itu, terdapat beberapa pihak juga yang mendukung dengan disahkannya Perda P4S ini. Wakil Ketua Dewan Pertimbangan Majelis Ulama Indonesia (MUI), Prof Dr KH Didin Hafidhuddin, MSc berpendapat bahwa Perda tersebut harus didukung terutama bagi kaum Muslim, karena Perda tersebut sifatnya Preventif dan jangan sampai manusia melakukan perbuatan tercela yang dilarang dalam aturan agama. Selain itu, Maulana, selaku aktivis Muhammadiyah kota Bogor juga sangat mendukung dengan disahkannya Perda P4S, karena menurutnya, Perda P4S ini isinya sudah sangat baik dengan tujuan untuk mencegah kekerasan seksual di masyarakat tanpa adanya diskriminasi. Ia juga mengatakan bahwa Perda P4S yang telah disepakati oleh DPRD Kota Bogor merupakan wujud dari representasi wakil rakyat dalam menjalankan tugasnya dengan baik. Forum Masyarakat Peduli Bogor (FMPB) juga menyatakan dukungannya atas Perda P4S dan mereka membantah bahwa Perda tersebut dapat mendiskreditkan orang dengan perilaku seks yang dianggap menyimpang. Ketua FMPB juga menyampaikan bahwa tujuan dari adanya Perda P4S ini untuk pembinaan kepada masyarakat dan Ia membantah jika Perda P4S ini dikatakan tidak menjunjung tinggi Hak Asasi Manusia. Dengan hadirnya P4S ini bertujuan untuk memberikan jaminan HAM yang sama bagi setiap warga di Kota Bogor untuk kehidupan sosial yang sehat dan memberikan perlindungan bagi masyarakat khususnya untuk para generasi muda.

Sehingga berdasarkan pemaparan diatas, dapat ditarik kesimpulan bahwa terdapat perbedaan pendapat antara pihak yang mendukung dan pihak yang menentang Perda P4S tersebut. Perda P4S bertentangan dengan Hak Asasi Manusia karena sejatinya orientasi hak seksual merupakan bagian dari Hak Asasi Manusia. Perda P4S juga mengganggu kehidupan pribadi masyarakat Kota Bogor (identitas gender) dan hal tersebut juga melanggar konstitusi. Maka, alangkah baiknya dalam hal ini Pemerintah Daerah dapat mendengarkan saran dari koalisi serta pihak-pihak lain yang sudah membuka suara agar Perda P4S dapat diperbaiki dan ditinjau kembali, serta memfokuskan pada tindakan kekerasan seksual yang tidak manusiawi seperti pedofilia bestialitas dan nekrofilia.



 
 
 

Comments


Post: Blog2 Post
bottom of page