Setelah tanggal 9 Oktober 2019, sebuah perbincangan dengan berbagai pendapat berbeda lahir. Pembahasan dan perdebatan ini muncul terutama antar para kantor hukum di Indonesia yang memiliki interpretasi mereka masing-masing. Yang menjadi subjek pembahasan ini yakni Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 63 Tahun 2019 yang mengatur tentang Penggunaan bahasa Indonesia. Perpres yang disahkan tanggal 30 September 2019 dan kemudian dipublikasikan tanggal 9 Oktober ini menggantikan Perpres Nomor 16 Tahun 2010 tentang Penggunaan bahasa Indonesia dalam Pidato Resmi Presiden dan/atau Wakil Presiden serta Pejabat Negara Lainnya.
Perpres semula hanya mengatur penggunaan bahasa Indonesia dalam cakupan sempit, yakni pidato resmi yang diberikan para pejabat negara Indonesia. Sekarang, spektrum dari Perpes baru merambat lebih luas, menyangkut ke keseharian masyarakat. Perpres 2019 ini mewajibkan penggunaan bahasa Indonesia untuk sejumlah hal, antara lain bahasa pengantar pendidikan nasional, penulisan dan publikasi karya ilmiah di Indonesia, penamaan bangunan, jalanan, perusahaan, penulisan perjanjian, dan bahkan pemberitahuan informasi melalui media massa serta komunikasi resmi di lingkungan kerja, baik di perusahaan pemerintah maupun swasta.
Penggunaan bahasa Indonesia hanya dikecualikan di beberapa kondisi tertentu. Contohnya, informasi melalui media massa hanya dapat dilakukan dalam bahasa asing atau daerah jika memang mempunyai tujuan atau sasaran khusus. Nama jalan dan lokasi dapat menggunakan bahasa daerah atau asing hanya jika ada nilai sejarah, budaya, adat-istiadat, dan/atau keagamaan. Begitupun untuk bangunan atau gedung yang didirikan atau dimiliki oleh warga negara atau badan hukum Indonesia.
Perseroan Terbatas yang seluruh sahamnya dimiliki oleh warga negara atau badan hukum Indonesia wajib menamakan lembaga usaha mereka dengan bahasa Indonesia, kecuali jika ada nilai-nilai khusus, seperti nilai budaya. Untuk komunikasi resmi dengan lembaga internasional atau negara asing yang berlangsung di lingkungan kerja pemerintah dan swasta pun, pemerintah tidak memberikan pengecualian dan mengharapkan para pegawai menggunakan bahasa Indonesia dan boleh dibantu oleh penejermah untuk kelancaran komunikasi.
Peraturan Presiden ini dinilai kontroversial karena beberapa alasan. Pertama, cakupan dari Perpres ini sangat luas, dan tidak ada waktu penyesuaian yang diberikan untuk beradaptasi dengan penggunaan regulasi baru ini. Selain itu, masih ada beberapa ketentuan di hukum luas ini yang belum jelas, sehingga terbuka ke multitafsir dari berbagai pihak. Isu yang paling ramai diperdebatkan oleh berbagai praktisi hukum adalah provisi tentang perjanjian.
Hukum sebelum ini yang dijadikan acuan tentang bahasa untuk pembuatan perjanjian adalah Undang-Undang No. 24 Tahun 2009 yang kerap disebut “Language Law” oleh beberapa kantor hukum. Hukum ini hanya dengan singkat memaparkan penggunaan bahasa dalam satu pasal. Pasal 31 dari Undang-Undang No. 24 Tahun 2009 mengatur bahwa bahasa Indonesia wajib digunakan dalam nota kesepahaman atau perjanjian yang “melibatkan lembaga negara, instansi pemerintah Republik Indonesia, lembaga swasta Indonesia, atau perseorangan warga negara Indonesia”.
Paragraf selanjutnya mengatur bahwa dokumen tersebut yang melibatkan pihak asing “ditulis juga dalam bahasa nasional pihak asing tersebut dan/atau bahasa Inggris”. Pasal tersebut tidak menjelaskan bahasa mana yang harus menjadi acuan utama dari perjanjian. Oleh karena luasnya peraturan ini, maka di praktik sebelum Perpres yang baru, para pihak biasa berunding dan membuat perjanjian dalam bahasa asing terlebih dahulu, lalu kontrak dalam bahasa Indonesia pun menyusul.
Ketentuan tersebut berbeda dengan yang diatur di Perpres baru. Menurut Pasal 26 dari Perpres ini, bahasa asing digunakan sebagai padanan atau terjemahan Bahasa Indonesia untuk menyamakan pemahaman dengan pihak asing, dan jika terjadi perbedaan penafsiran terhadap padanan atau terjemahan tersebut, bahasa yang digunakan adalah bahasa yang disepakati dalam nota kesepahaman atau perjanjian. Dari pasal tersebut, dapat diinterpretasikan bahwa kontrak seharusnya terlebih dahulu dirancang dalam Bahasa.
Selain itu, Perpres 2019 tersebut mengatur bahwa perjanjian hanya ditulis dalam bahasa asing jika melibatkan pihak asing, dan tidak secara jelas didefinisikan apa yang dimaksud dengan “melibatkan”. Perpres 2019 ini juga dapat membuat kesulitan kepada pihak asing dalam bekerja sama dengan perusahaan Indonesia karena wajib melakukan konsultasi, diskusi, rapat dan berbagai komunikasi lainnya dengan Bahasa Indonesia.
Selain tentang kontrak, ada pertanyaan dan ketidakpastian lain yang dapat muncul. Contohnya, bagaimana dengan lembaga usaha, atau jalanan yang sudah berbahasa daerah atau asing? Apakah nama-nama mereka akan diubah, atau apakah ketentuan di Perpres 2019 hanya berlaku untuk yang baru dibuat setelah tanggal 30 September? Hal tersebut tidak dijelaskan di Perpres. Begitupula konsekuensi yang dapat muncul dari tidak mematuhi peraturan-peraturan yang di dalamnya, sehingga interpretasi tergantung dari keputusan masing-masing pengadilan.
Perpres hanya mengatur bahwa pengawasan pelaksanaan Perpres ini dapat dilakukan oleh Menteri, gubernur, bupati, walikota, tetapi tidak ada penjelasan lebih lanjut tentang apa yang dimaksud dari “pengawasan” tersebut.
Mungkin juga ada yang mempertanyakan alasan mengapa cakupan Perpres 2019 ini harus seluas itu. Bila berbicara tentang pidato pejabat, masih wajar jika ada peraturan yang mewajibkan mereka menggunakan Bahasa Indonesia. Begitu pula dengan nama jalanan—mungkin agar lebih seragam. Namun, apakah memang harus sampai mengatur bahasa yang digunakan untuk komunikasi di lingkungan kerja? Perlukah hingga bahasa yang digunakan untuk mengutarakan informasi di media massa diwajibkan Bahasa Indonesia? Dan bagaimana dengan lembaga pendidikan nasional yang memang menawarkan kurikulum kelas-kelas bahasa Inggris—apakah tidak lagi bisa dilanjutkan karena Perpres ini?
Ada yang mungkin berargumentasi bahwa Perpes ini disusun untuk menyebarkan “nasionalisme” dan meratakan penggunaan Bahasa Indonesia. Namun, ada juga yang dapat merasa bahwa cakupan Perpres tidak perlu seluas itu. Mungkin ada yang memberi perusahaan mereka nama dalam bahasa asing atau daerah dan juga mempromosikan produk mereka demikian, karena itulah yang paling cocok untuk memaparkan identitas mereka.
Mungkin ada media yang biasa memaparkan informasi mereka dalam bahasa asing atau daerah hanya karena mereka nyaman melakukannya dengan demikian. Bukankah hal ini seharusnya terserah mereka? Dan akankah peraturan ini berpotensi membuat orang menjadi lebih malas belajar bahasa asing? Lagipula, kembali lagi, hukum ini saja tidak jelas tentang implementasinya dan apa yang akan terjadi jika tidak dijalankan.
Untuk menyimpulkan, Perpres No. 63 Tahun 2019 ini mengatur tentang penggunaan Bahasa Indonesia dalam cakupan yang termasuk luas, karena tidak hanya bersangkutan dengan pemerintah dan pejabat, tetapi juga berkaitan dengan kehidupan sehari-hari masyarakat. Di satu sisi, hukum ini memang lebih komprehensif dibandingkan dengan UU. No. 24 Tahun 2009, yang semula digunakan untuk referensi penggunaan bahasa dalam perjanjian.
Orang-orang juga ada yang memiliki pandangan bahwa Perpres ini dapat membantu pemerataan penggunaan bahasa Indonesia. Namun, ada juga yang berpendapat bahwa pewajiban penggunaan Bahasa Indonesia seharusnya tidak perlu seluas yang diatur di Perpes baru, dan masih ada banyak yang belum diatur dengan jelas di hukum ini. Perpres ini memberikan cakupan tentang apa saja yang wajib menggunakan Bahasa Indonesia, namun prosedurnya masih belum dipaparkan dengan jelas, begitu pun konsekuensi dari tidak menjalankan peraturan.
Comments