top of page
Rafaella Winarta & Sharon Rheinata

Pilkada Online: Siapkah Indonesia?

Updated: Nov 23, 2020


Kompas.com

Latar belakang Pilkada 2020


Rapat alot yang dihadiri oleh penyelenggara pemilu, pemerintah, dan DPR di bulan terakhir ini akhirnya membuahkan hasil. Pemilihan kepala daerah telah ditetapkan akan dilaksanakan secara serentak di tengah mewabahnya virus corona. Pilkada yang tepatnya akan diselenggarakan pada tanggal 9 Desember 2020 ini, akan melibatkan 270 daerah di Indonesia dan jadwal pelaksanaanya pun kurang lebih mundur tiga bulan dari jadwal sebelumnya. Tentunya keputusan ini banyak sekali menuai kontroversi di kalangan masyarakat. Namun, tentu terdapat alasan yang sudah dipertimbangkan secara mendalam, di balik putusan pilkada di situasi yang masih sangat genting ini. Berikut 4 alasan utama yang dijelaskan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU):


1. Melaksanakan undang-undang

I Dewa Kade Wiarsa Raka Sandi merupakan salah satu anggota KPU, yang mengatakan bahwa sebelumnya mereka sempat menunda tahapan pilkada, dikarenakan oleh pandemi virus korona. Namun, setelah penundaan tersebut, pemerintah menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti UU Pilkada Nomor 2 Tahun 2020, yang merupakan landasan hukum untuk digelarkan kembali pesta demokrasi tingkat daerah itu.

“Yang pertama KPU tentu melaksanakan amanat peraturan yang berlaku,” ungkap Dewa, Minggu 22 Juni 2020.


2. Tidak adanya kepastian kapan wabah ini berakhir

Alasan berikutnya yang dikatakan oleh Dewa adalah karena tidak ada yang dapat memastikan kapan pandemi virus korona ini berakhir. Poin ini pun berhasil membuat Pemerintah dan DPR menyepakati pemungutan suara serentak pada tanggal 9 Desember 2020 mendatang.


Dalam pengambilan keputusan ini, KPU juga bekerjasama dengan Gugus Tugas Penanganan Covid-19, yang mengatakan bahwa pilkada dapat dilanjutkan asal dilaksanakan sesuai dengan standar protokol keamanan dan kesehatan.

"Pilkada dilanjutkan sesuai keputusan bersama pemerintah, DPR, dan penyelenggara pemilu. Untuk rekomendasi dari gugus tugas, surat yang disampaikan dijelaskan pilkada bisa dilaksanakan sesuai dengan protokol kesehatan," kata Dewa.


3. Hak konstitusional


Alasan ketiga, yakni tentang hak konstitusional yang diatur di dalam BAB XA tentang Hak Asasi Manusia (HAM), mengenai hak yang dimiliki oleh warga negara, dimana keberadaannya menjadi sebuah jaminan bagi kehidupan warga khususnya warga negara Indonesia. Maka dari itu, setiap 5 tahun sekali, diwajibkan adanya pergantian kepemimpinan.


"Ketika kami memutuskan menunda pilkada, kita berharap bisa dilanjutkan setelah covid-19 berakhir. Namun, seiring waktu, WHO menyampaikan kesimpulan dan pandangannya bahwa pandemi global ini tidak akan mungkin berakhir dalam waktu singkat. Covid-19 tidak akan hilang," ungkap anggota KPU, Viryan Aziz.


4. Tata kelola anggaran

Alasan yang keempat adalah mengenai dana pilkada. Jika pilkada ditunda melewati tahun 2020, maka anggaran yang telah dicairkan pada tahun ini akan terbuang sia-sia karena sudah melewati tahun anggaran. Sementara itu, anggaran yang telah dicairkan sudah mencapai Rp4,1 triliun.

"Ini yang harus dipikirkan, jika pilkada ditunda ke tahun berikutnya," ujar Dewa.

E-voting sebagai metode pemungutan suara


Pesta demokrasi di Indonesia mencatat tragedi tersendiri. Pada Pemilu 2019 saja tercatat, sekitar 300 petugas kelompok penyelenggara pemungutan suara (KPPS) dilaporkan meninggal dunia disebabkan beratnya beban pekerjaan ini. Ditambah lagi, Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) mengusulkan bahwa Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) 2020 dilakukan dengan memakai sistem pemilihan elektronik atau e-voting agar masyarakat aman di masa pandemi Covid-19. Alasan-alasan inilah yang kemudian mendasari munculnya wacana penggunaan sistem e-voting untuk menggantikan pemilihan umum manual.


E-voting sendiri merupakan singkatan dari elektronik voting, dan merupakan sebuah sistem yang memanfaatkan perangkat elektronik dan mengolah informasi digital untuk membuat surat suara, memberikan suara, menghitung perolehan suara, menayangkan perolehan suara dan memelihara serta menghasilkan jejak audit. Tentu jika dibandingkan dengan pemungutan suara konvensional, e-voting menawarkan lebih banyak keunggulan jika diaplikasikan pada masa seperti ini.


Ketua DPR Bambang Soesatyo, bahkan mengusulkan agar pemilu mendatang dapat memanfaatkan teknologi terbaru ini, yakni sistem e-voting. Ia mengatakan bahwa proses pemilu kali ini sangat membuang waktu dan tergolong sangat primitif, dimana para pemilih masih menggunakan paku dan kertas sebagai alat coblos di era globalisasi yang semua kegiatan sudah serba digital.


"Bukan hanya sekedar e-counting atau e-rekap sebagaimana yang diusulkan KPU. Tapi perubahan secara menyeluruh, yaitu dengan menerapkan sistem e-voting yang bisa dimulai uji cobanya pada pilkada serentak mendatang karena dapat menghemat waktu, tenaga dan biaya hingga triliunan rupiah,” ungkap Bamsoet melalui pernyataan tertulisnya.


Ia meyakini bahwa dengan penerapan e-voting, maka pelaksanaan pemilu akan jauh lebih efektif dan tidak menyita banyak waktu. Hal ini dikarenakan, tidak diperlukan lagi panitia penyelenggara, pengawas, saksi maupun pihak keamanan dalam jumlah besar. Selain itu, dengan sistem e-voting ini, tiap daerah tidak perlu lagi menyediakan tempat/lokasi bilik suara, kotak suara, surat suara, dan juga tinta untuk mencoblos.

Kendala E-voting: Ketidaksiapan Infrastruktur


Wacana diadakannya pilkada secara daring memang terlihat sebagai suatu solusi utama terhadap polemik diadakannya Pilkada serentak dengan ancaman virus COVID-19. Namun, solusi yang paling tepat sekali pun pasti memiliki suatu kekurangan. Jika pilkada akan dilakukan dengan media daring, maka yang memiliki peran utama dalam rencana ini adalah jaringan internet. Demi tercapainya kelangsungan Pilkada serentak yang lancar maka dibutuhkan jaringan internet yang lancar pula. Sangat disayangkan bahwa kenyataan di lapangan adalah yang sebaliknya, jangkauan internet di beberapa daerah di Indonesia masih kurang memadai. Menurut data yang terkumpul oleh Kementerian Komunikasi dan Informasi (Kominfo) pada tahun 2020 pengguna internet di Indonesia sudah mencapai 64% wilayah di Indonesia atau mengalami kenaikan sebanyak 17% dari tahun 2019. Angka tersebut tetap saja berada di bawah harapan sebab masih tinggi angka masyarakat yang belum bisa menikmati jaringan internet walaupun Indonesia sudah meluncurkan satelit baru. Untuk dapat dijangkau internet, suatu area juga membutuhkan komponen krusial lainnya yaitu listrik. Menurut Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Menko PMK) cangkupan aliran listrik terutama pada daerah pedesaan sudah mencapai 99% namun itu berarti masih ada beberapa daerah yang belum dijangkau aliran listrik. Menko PMK menjelaskan bahwa hal tersebut difaktori oleh ketersediaan anggaran, sumber daya, dan karakteristik desa. Jika masih ada beberapa daerah yang tidak terjangkau listrik maka akan lebih sulit jika mengharuskan jaringan internet untuk terlaksananya Pilkada secara daring.


Kendala seputar jaringan internet bukanlah menjadi masalah dalam wacana itu saja. Walaupun Pilkada daring masih menjadi wacana, nyatanya beberapa aspek Pilkada sudah dilakukan secara daring seperti kampanye daring salah satunya. Pelaksanaan kampanye daring sendiri merupakan salah satu anjuran yang dikeluarkan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU). Hal tersebut dilaksanakan guna meminimalisir penyebaran COVID-19 yang bisa terjadi jika kampanye dilakukan seperti biasanya yang mengundang kerumunan orang. Meskipun anjuran kampanye daring diperuntukan untuk semua daerah namun dari data yang diterima Bawaslu, hanya 37 dari 270 daerah yang menjalankan kampanye online. Kendala akses internet yang diperhitungkan dalam wacana pelaksanaan Pilkada daring menjadi kenyataan dalam pelaksanaan kampanye online. Salah satunya pada kampanye calon Wali Kota Solo, Gibran Rakabuming yang sempat terhambat karena terjadinya gangguan jaringan internet.

Bagaimana pengaturannya?


Sejauh ini status Pilkada daring masih menjadi sebuah wacana, oleh karena itu belum ada peraturan yang mengatur pelaksanaan Pilkada daring tersebut. Dengan tidak adanya peraturan yang mengatur Pilkada daring ditambah dengan kendala jaringan internet maka dapat dikatakan bahwa wacana Pilkada daring ini masih dekat dengan tidak mungkin. Hal lain yang ramai diperdebatkan selain Pilkada daring adalah diundurnya kembali pelaksanaan Pilkada serentak 2020. Berbeda dengan wacana pilkada daring, wacana diundurnya kembali Pilkada 2020 yang sudah diundur dari Mei 2020 menjadi Desember 2020 ternyata memiliki dasar hukum. Pengaturan tersebut tercantum dalam Pasal 201A Ayat 3 UU no 6 tahun 2020 tentang Penetapan peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No 2 tahun 2020. Yang mana pada pasal tersebut diatur bahwa pemungutan suara serentak dapat ditunda dan dijadwalkan kembali setelah bencana non-alam sudah berakhir. Jika peraturan tersebut menjadi penyokong wacana yang belum dipastikan akan terjadi, maka ada pula peraturan untuk bagian dari Pilkada online yang sudah terlaksana yaitu kampanye online.

Pengaturan utama yang dibentuk guna menjaga pelaksanaan kampanye online adalah pengaturan mengenai konten negatif di internet. Sebagai bentuk pencegahan, Bawaslu, KPU, dan Kominfo, membentuk suatu Nota kesepakatan Aksi atau Memorandum of Action untuk memperkuat pengaturan konten negatif pada UU No 19 tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik serta Peraturan Menkominfo No 19 tahun 2014 tentang Penanganan Konten Internet Bermuatan Negatif. Ketiga lembaga menerbitkan tiga Memorandum of Action yaituK.Bawaslu/Hm/02.00/Viii/2020, Nomor Pr.07-Nk/01/Kpu/Viii/2020, dan Nomor: 581/Mou/M.Kominfo/Hk.04.01/8/2020. Pengaturan konten negatif tersebut guna mencegah penyebaran informasi tidak benar atauhoaxyang ditakutkan akan menyebar dengan cepatnya digitalisasi berbagai aspek kehidupan dalam masa pandemi ini.


17 views0 comments

Recent Posts

See All

Comments


Post: Blog2 Post
bottom of page