top of page
Rafaella Winarta & Gracia Rumia

Polemik Tuntutan Mati Pemerkosa 13 Santri


Herry Wirawan seorang pria yang berusia 36 tahun, bekerja sebagai pimpinan yayasan pesantren dan Madani Boarding School yang memperkosa sebanyak 13 santri. Beberapa dari santri hamil dan melahirkan. Pemerkosaan tersebut dilatarbelakangi karena istri Herry yang tidak mau memiliki banyak anak. Herry mempengaruhi para santri dengan memberikan janji bahwa dirinya akan membiayai kuliah anak korban serta menjadikannya pengurus pesantren. Atas tindakannya tersebut, terdakwa menjalankan sidang tuntutan perkara pada hari Selasa 11 Januari 2022 di Pengadilan Negeri Kelas IA Bandung yang akan dibacakan oleh jaksa penuntut umum (JPU) yaitu Asep N Mulyani.


Herry dituntut hukuman mati dan juga diberi hukuman tambahan berupa kebiri kimia. Tuntutan lain yang diberikan oleh JPU yaitu meminta hakim untuk merampas harta kekayaan Wirawan baik itu tanah, bangunan maupun pondok pesantren baik yang sudah disita maupun yang belum disita untuk dilelang dan diserahkan ke negara. Seluruh hasil rampasan tersebut nantinya akan digunakan untuk membiayai hidup para korban dan anak korban. Selain itu, JPU juga menuntut terdakwa untuk membayar restitusi atau uang ganti rugi untuk 13 korban pemerkosaan sebesar lebih dari Rp 331 juta serta meminta hakim melakukan pembekuan dan pencabutan, serta membubarkan yayasan yang dikelola oleh Herry Wirawan.


Seperti hal kontroversial lainnya, tuntutan JPU tersebut menyulut pro dan kontra dari berbagai kalangan masyarakat. Tuntutan mati memang merupakan hukuman tertinggi bagi pelaku kejahatan di Indonesia, jika melihat jejak perbuatan pelaku tidak heran jika sebagian besar masyarakat menginginkan hukuman terberat bagi pelaku. Namun, para penegak hak asasi manusia menyatakan ketidaksetujuan terhadap tuntutan tersebut. Dilansir dari Kompas.com, Deputi Perlindungan Khusus Anak Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA), Nahar, menyatakan bahwa tuntutan hukuman mati tersebut sudah sesuai dengan Undang-undang No 17 tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Undang-undang No 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Tepatnya tuntutan hukuman mati didasari pada Pasal 81 ayat 1, ayat 3 dan ayat 5 UU Nomor 17 Tahun 2016 yang pada ayat 1 berbunyi “Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76D dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah)”.


Pada Pasal 81 ayat 3 UU No 17 tahun 2016 tersebut menyatakan alasan pemberat bagi sanksi pada ayat 1 yang berbunyi “Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh orang tua, wali, orang-orang yang mempunyai hubungan keluarga, pengasuh anak, pendidik, tenaga kependidikan, aparat yang menangani perlindungan anak, atau dilakukan oleh lebih dari satu orang secara bersama-sama, pidananya ditambah ⅓ (sepertiga) dari ancaman pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1)”. Ayat 5 berbunyi “Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76D menimbulkan korban lebih dari 1 (satu) orang, mengakibatkan luka berat, gangguan jiwa, penyakit menular, terganggu atau hilangnya fungsi reproduksi, dan/atau korban meninggal dunia, pelaku dipidana mati, seumur hidup, atau pidana penjara paling singkat 10 (sepuluh) tahun dan paling lama 2O (dua puluh) tahun.”


Dasar dari sanksi pada Pasal 81 tersebut adalah Pasal 76D yang diatur dalam Undang-undang No 35 tahun 2014 tentang Perubahan Undang-undang 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak yang berbunyi “Setiap orang dilarang melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain”. Kedua pasal tersebut merupakan dasar dari persetujuan Kementerian PPPA terhadap hukuman mati. Nahar menyatakan bahwa dengan jumlah korban yang cukup banyak, dampak kejahatan Herry Wirawan berdampak besar terhadap korban dan keluarga korban. Terlebih lagi dengan naiknya kasus ini ke permukaan, korban bisa mengalami tekanan psikologis. Tuntutan hukuman mati juga didukung oleh Komisi III DPR RI yang beranggapan bahwa hukuman mati merupakan hal yang pantas bagi Herry Wirawan mengingat tindakannya sudah merusak kehidupan banyak orang. Disamping persetujuan tersebut, Kementerian PPPA maupun Komisi III DPR RI tetap menghargai pendapat para pihak yang tidak setuju dengan tuntutan hukuman mati.


Ketidaksetujuan terhadap hukuman mati bukanlah tidak berdasar. Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) RI, dalam laman resminya menjelaskan bahwa hukuman mati melanggar ketentuan hak asasi manusia. Komnas HAM menilai bahwa hukuman mati melanggar hak hidup seseorang yang merupakan non-derogable right atau hak absolut yang tidak boleh dikurangi. Hak untuk hidup pada dasarnya diatur dalam Deklarasi HAM Universal pada Pasal 3 yang mengatur bahwa sebagai individu setiap orang berhak atas kehidupan. Di dunia hukum Indonesia, hak untuk hidup tercantum dalam Undang-undang No 39 tahun 1999 yang mengatur pada Pasal 4 bahwa beberapa hak termasuk hak untuk hidup adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun dan oleh siapapun. Selain hak untuk hidup dalam UU HAM dan Deklarasi HAM Universal, pengaturan hukuman mati sendiri diatur dalam International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR) atau Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik yang sudah diratifikasi oleh Indonesia melalui Undang-undang No 12 tahun 2005. Dalam ICCPR diatur pembatasan hukuman mati yaitu penerapan hukuman mati dengan syarat tertentu dalam Pasal 6 ayat 2.


Selain hak asasi manusia, sebagian opini yang dilontarkan juga mempertanyakan mengapa Indonesia tidak menetapkan penghapusan hukuman mati yang sudah dilaksanakan beberapa negara. Setelah ditelaah lebih lanjut, Indonesia belum menghapus hukuman mati bukan tanpa alasan. Penghapusan hukuman mati baru diatur dalam Second Optional Protocol to ICCPR. Pembaruan terhadap ICCPR tersebut berlaku sejak tahun 1991 namun hingga saat ini baru diratifikasi oleh 88 dari 173 negara yang sudah meratifikasi ICCPR.


Terlepas dari pentingnya penegakan hak asasi manusia bagi setiap orang, hukuman mati bagi pelaku kekerasan seksual bukan suatu solusi yang tepat walaupun merupakan hukuman terberat yang dapat diberikan. Selain kebiri kimia dan hukuman untuk menanggung biaya hidup korban, dalam kasus Herry Wirawan hukuman terberat yang dapat dijatuhkan adalah penjara seumur hidup. Hukuman mati bagi pelaku kekerasan seksual dikhawatirkan membuat korban-korban pada kasus lain enggan melapor karena bayang-bayang pencabutan nyawa orang lain apalagi jika pelaku adalah orang terdekat korban. Tuntutan hukuman mati juga terbukti memancing perhatian masyarakat kepada pelaku dimana seharusnya perhatian lebih dan pemulihan serta pendampingan seharusnya tetap difokuskan pada para korban.


197 views0 comments

Recent Posts

See All

Comments


Post: Blog2 Post
bottom of page