Bulan Juni 2021, sejumlah lembaga swadaya masyarakat (LSM), peneliti dan pegiat advokasi, melakukan pengujian terhadap Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2020 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) 1/2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disease (Covid-19) dan/atau Dalam Rangka Menghadapi Ancaman yang Membahayakan Perekonomian Nasional dan/atau Stabilitas Sistem Keuangan ke Mahkamah Konstitusi (MK). Salah satu yang menjadi permohonan dari para pemohon yaitu mengenai Pasal 29 UU Covid-19 yang berbunyi “Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia”. Menurut para pemohon pasal tersebut tidak memberikan jangka waktu keberlakuannya kendati diterbitkan dalam rangka menyelesaikan persoalan masa darurat kesehatan masyarakat. Oleh karena itu, untuk menciptakan akan kepastian hukum yang adil perlu dilakukan pembatasan masa berlakunya hingga status kedaruratan kesehatan masyarakat akibat Covid-19 ini dicabut presiden.
Dalam sidang yang dilaksanakan pada 28 Oktober 2021, atas perkara nomor 37/PUU-XVIII/2020 tersebut, Hakim Mahkamah Konstitusi (MK) memberikan putusan menolak gugatan formil dan mengabulkan sebagian gugatan materiil. Dalam pertimbangan hukumnya, Hakim MK memutuskan UU Covid-19 hanya berlaku selama status pandemi Covid-19 dan paling lama 2 tahun sejak UU Covid-19 diberlakukan.
Hakim MK juga mengabulkan mengenai pasal 27 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) Lampiran UU 2/2020 yang diajukan oleh para pemohon yaitu Perkumpulan Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI), Yayasan Mega Bintang Solo Indonesia 1997, Lembaga Kerukunan Masyarakat Abdi Keadilan Indonesia (KEMAKI), Lembaga Pengawasan, Pengawalan, Penegakan Hukum Indonesia (LP3HI), dan Perkumpulan Bantuan Hukum Peduli Keadilan (PEKA). Para pemohon mengajukan Pasal 27 UU Covid-19 yang menurut para pemohon menjadikan pemerintah atau pejabat Komite Kebijakan Sektor Keuangan (KKSK), Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Bank Indonesia (BI), pejabat Kementerian Keuangan, menjadi kebal hukum. Mereka tidak bisa dituntut secara hukum perdata, pidana, maupun PTUN dengan dalih itikad baik dan bukan merupakan kerugian negara. Dalam pertimbangannya, Mahkamah menilai ketentuan dalam pasal tersebut berpotensi memberikan hak imunitas dalam penegakan hukum. Saldi Isra, Hakim Konstitusi membacakan pertimbangan Hukum Mahkamah berkenaan dengan konstitusionalitas frasa “bukan kerugian negara” dalam Pasal 27 ayat (1) Lampiran UU Covid-19. Hakim menilai norma tersebut berkaitan dengan keuangan negara sehingga tidak dapat dilepaskan dari Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor). Di dalam UU Tipikor termuat ketentuan unsur esensial yang harus dipenuhi dalam membuktikan terjadinya tindak pidana korupsi, yakni terpenuhinya unsur merugikan keuangan negara atau perekonomian negara. "Oleh karena itu, demi kepastian hukum norma Pasal 27 ayat (1) Lampiran UU Covid-19 harus dinyatakan inkonstitusional sepanjang frasa 'bukan merupakan kerugian negara' tidak dimaknai 'bukan merupakan kerugian negara sepanjang dilakukan dengan itikad baik dan sesuai dengan peraturan perundang-undangan" kata Saldi Isra membacakan pertimbangan mahkamah.
Selanjutnya, pada ayat (2), MK tidak mengubah satu pun frasa di dalamnya. Karena, dalam ayat (2) tersebut sudah ada perubahan di dalam ayat (1) yang otomatis berimplikasi pada ayat (2). Menurut Mahkamah, pejabat pemerintah yang disebutkan dalam ayat (2) termasuk subjek hukum yang kini bisa digugat. “Tindakan hukum baik secara pidana maupun perdata tetap dapat dilakukan terhadap subjek hukum yang melakukan penyalahgunaan keuangan negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (2) Lampiran UU 2/2020 sepanjang perbuatan tersebut menimbulkan kerugian negara karena dilakukan dengan itikad tidak baik dan melanggar peraturan perundang-undangan dalam norma Pasal 27 ayat (1) Lampiran UU 2 2/2020” bunyi pertimbangan hakim.
Sedangkan untuk ayat (3), MK mengubah frasa di dalamnya. Ketentuan dalam ayat (3), mengatakan semua tindakan termasuk keputusan yang diambil berdasarkan Perppu bukan merupakan objek gugatan yang bisa digugat ke PTUN. Dengan mengacu pada ketentuan Pasal 49 UU PTUN, MK memutuskan kondisi pandemi Covid-19 saat ini merupakan salah satu dari keadaan yang dikecualikan untuk tidak dapat dijadikan sebagai objek gugatan ke lembaga peradilan tersebut. MK menilai Perppu ini tidak hanya berkaitan dengan pandemi Covid-19, melainkan juga berkaitan dengan ancaman-ancaman yang membahayakan terhadap perekonomian nasional. Oleh karena itu, MK memutuskan dan menilai perlu dilakukan pengawasan. “Apabila fungsi kontrol tersebut tidak diberikan maka hal demikian berpotensi menimbulkan kesewenangan-wenangan (abuse of power) dan ketidakpastian hukum” bunyi pertimbangan hakim. Dengan pertimbangan tersebut, MK mengubah Pasal 27 ayat (3) menjadi: “Segala tindakan termasuk keputusan yang diambil berdasarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang ini bukan merupakan objek gugatan yang dapat diajukan kepada peradilan tata usaha negara sepanjang dilakukan terkait dengan penanganan pandemi Covid-19 serta dilakukan dengan itikad baik dan sesuai dengan peraturan perundang-undangan”.
Lewat persidangan yang dilaksanakan secara virtual tersebut, pemerintah menghormati putusan yang dibacakan oleh hakim MK. Pernyataan itu disampaikan oleh Staf Khusus Presiden Bidang Hukum Dini Purwono. Menurut Dini revisi frasa Pasal 27 ayat (1) dan (3) Covid-19 tersebut, hanya bersifat klarifikasi yakni menegaskan maksud dari pasal tersebut. Menurutnya, unsur itikad baik dan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang ditambahkan MK dalam putusannya, sebenarnya sudah disebutkan dalam Pasal 27 ayat (2). Kemudian menurut beliau, yang mengatur bahwa tindakan pejabat negara dalam pelaksanaan Perppu penanganan Covid yang tidak dapat dituntut baik secara perdata atau pidana adalah sepanjang tindakan tersebut dilakukan dalam rangka pelaksanaan tugas dan dilakukan dengan itikad baik dan sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Selain permohonan tersebut, ada enam permohonan terkait UU 20/2020 yang dibacakan dalam rapat tersebut antara lain Perkara Nomor 42/PUU-XVIII/2020, Nomor 43/PUU-XVIII/2020, Nomor 45/PUU-XVIII/2020, Nomor 47/PUU-XVIII/2020, Nomor 49/PUU-XVIII/2020, dan Nomor 75/PUU-XVIII/2020. Terkait enam dalil pemohon tentang alasan perubahan Pasal 27 Ayat 2 Lampiran UU Covid-19, MK berpendapat bahwa hal ini tidak jauh berbeda dengan isu konstitusional sebagaimana telah dipertimbangkan Mahkamah dalam putusan MK Nomor 37/PUU-XVIII/2020.
Dapat ditarik kesimpulan, dengan adanya putusan MK tersebut terhadap pasal 27,aparat pemerintah atau pejabat dapat ditindak secara pidana, perdata maupun PTUN dalam penanganan Covid-19 sepanjang dalam pelaksanaan tugasnya tidak dilakukan dengan itikad baik dan tidak sesuai pada peraturan perundang-undangan yang berlaku. Putusan MK ini memberikan kepastian hukum karena putusan MK hakikatnya bersifat final dan mengikat.
Comments