Hukum pidana seringkali identik dengan sanksi-sanksi yang mengekang, menahan, dan sebuah penjara. Hal tersebut seringkali menjadi sebuah patokan bagi masyarakat bahwa mereka akan merasa aman dan tenang jika hal tersebut dilakukan setelah adanya sebuah kejahatan terjadi. Namun, seiring perkembangan era terus, para pemimpin ingin menjadikan sebuah hukuman penjara menjadi suatu hal yang dapat membangun dan menjadi sebuah wadah rehabilitasi. Diharapkan dengan adanya kelahiran sistem tersebut, narapidana dapat keluar dengan sebuah pembelajaran yang baru dan diharapkan dapat menjadi warga yang lebih baik di kedepan hari. Tidak hanya itu, narapidana yang mengikuti sistem ini diharapkan dapat kembali berperan aktif dalam lingkungan sosial serta dapat menjadi warga yang lebih baik dan bertanggung jawab. Sistem tersebut telah dilahirkan dan terus dirombak sejak 66 tahun yang lalu dan dikenal sebagai sistem pemasyarakatan.
Narapidana yang telah dibina di dalam sistem tersebut dikenal sebagai Warga Binaan Pemasyarakatan. Didasari dengan sebuah undang-undang sistem pemasyarakatan diatur dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995. Undang-undang ini juga mengatur hak dan kewajiban warga binaan pemasyarakatan, yaitu hak dalam menjalankan ibadah sesuai dengan kepercayaan masing-masing, hak untuk dapat melanjutkan pendidikan, hak mendapatkan perawatan, serta hak untuk menyampaikan pendapat mereka secara pribadi. Diikuti dengan adanya perlakuan terbaik terhadap anak didik menjadi salah satu esensi yang terdapat di dalam undang-undang ini. Tidak hanya pengaturan mengenai anak didik dari sistem pemasyarakatan, undang-undang ini juga mengatur mengenai kode etik petugas pemasyarakatan. Kode etik ini memiliki sebuah fungsi sebagai sebuah landasan bagaimana para petugas dapat melakukan dan menjalankan tugasnya secara baik dan benar. Sistem pemasyarakatan dipastikan harus dilakukan secara efektif, efisien, terpadu dan memiliki tingkat organisasi yang jelas. Mengikuti beberapa ketentuan berikut akan menghasilkan proses penegakan hukum, dari tahap pertama hingga akhir peradilan secara adil dan benar.
Setelah ditelusuri dan dianalisa hal tersebut terdapat esensi yang tidak sesuai lagi dengan perkembangan dan kebutuhan hukum di dalam masyarakat. Maka dari itu pemerintah dan para instansi yang bersangkutan mengadakan sebuah rapat untuk melakukan perubahan dan adanya penggantian dari Undang-Undang Nomor 12 tahun 1995 agar ketentuan-ketentuan yang ada sesuai dengan nilai-nilai Pancasila itu sendiri dan Undang-Undang Dasar 1945.
Pembahasan terus dilakukan dan dianalisa, yang akhirnya disepakati dan menghasilkan beberapa materi baru yang telah dirumus dan diselaraskan dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan. Hal tersebut menambahkan beberapa substansi yang terus menegaskan dan perubahan yang harus dilakukan pada masa itu. Hal baru yang perlu diperhatikan dalam perumusan undang-undang pemasyarakatan ini merupakan:
Adanya cakupan yang lebih luas mengenai tujuan sistem ini yang bukan hanya memastikan peningkatan moral serta edukasi dari para narapidana, namun para narapidana mendapatkan hak perlindungan.
Penjelasan yang lebih mendetail mengenai fungsi sistem itu sendiri yang menyangkut tentang adanya pelayanan, bimbingan kemasyarakatan, perawatan, pengamanan serta adanya pengawasan.
Ingin meningkatkan adanya kebersamaan serta kerjasama untuk memerankan kegiatan yang dilakukan dalam penyelenggaraan sistem pemasyarakatan.
Adanya posisi pemasyarakatan yang lebih kuat di dalam sistem peradilan pidana dalam penegakan hukum di dalam bidang perlakuan terhadap tahanan, anak, serta keluarga binaan.
Asas dan pelaksanaan sistem pemasyarakatan yang didasari oleh beberapa asas-asas sosial yaitu non-diskriminasi, kemanusiaan, gotong royong, mandiri dan profesional.
Beberapa esensi diatas telah dibahas dan disepakati dalam rapat paripurna pada Selasa, 17 September 209 yang diyakinkan sudah memiliki esensi perombakkan yang maksimal dan hal tersebut dapat berkembang lebih baik dalam penetapan Undang-Undang Pemasyarakatan itu sendiri.
Yang menjadi kontroversi sehingga masyarakat tidak ingin RUU ini lolos pada tahun 2019 kemarin, adalah isi RUU pemasyarakatan yang dianggap meringankan beban dari pelaku kejahatan berat seperti korupsi. Banyak warga mempermasalahkan pasal 9 dan 10, yang berisi hak-hak para narapidana. Pasal 10 mengatur bahwa narapidana yang berkelakuan baik, aktif mengikuti program Pembinaan, dan telah menunjukkan penurunan tingkat risiko, berhak memperoleh remisi, asimilasi, cuti mengunjungi atau dikunjungi keluarga, cuti bersyarat, cuti menjelang bebas, pembebasan bersyarat, dan hak lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Di Peraturan Pemerintah Nomor 32 tahun 1999 tentang Pembinaan dan Pembimbingan Warga Binaan Pemasyarakatan, beberapa hak yang telah disebutkan seperti remisi dan asimilasi sudah diatur. “Cuti bersyarat” merupakan sebuah hak baru, namun tidak dijelaskan di dalam RUU tersebut definisi dari cuti bersyarat dan lingkup dari hak ini. Tidak hanya itu, “program pembinaan”, yakni salah satu syarat untuk memperoleh hak-hak yang telah disebutkan, juga tidak didefinisikan.
Jika RUU ini disahkan, tidak ada kepastian apakah Peraturan Pemerintah Nomor 99 Tahun 2012 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1999 Tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan masih akan berjalan. Pasal 96 dari RUU ini hanya menyatakan bahwa peraturan perundang-undangan yang merupakan peraturan pelaksanaan dari UU Pemasyarakatan sebelumnya akan tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan RUU tersebut. Dalam pasal 94, RUU ini juga mengatur bahwa Peraturan Pemerintah sebelumnya seperti PP Nomor 32 tahun 1999 akan tetap berlaku hingga RUU ini berlaku. PP Nomor 99 tahun 2012 tidak disebutkan di dalam pasal 94.
Banyak warga menganggap PP Nomor 99 Tahun 2012 sepatutnya masih berjalan, karena PP ini berisikan hak-hak serta syarat pemberian remisi, asimilasi, dan peringanan lainnya bagi narapidana tertentu berdasarkan kejahatan yang mereka lakukan. Narapidana tertentu baru akan mendapatkan remisi serta asimilasi jika mereka dapat membantu membongkar perkara, membayar lunas hutang bagi para koruptor dan mengikuti program deradikalisasi yang diselenggarakan oleh LAPAS. Syarat itu dianggap lebih pantas bagi pelaku kejahatan berat seperti korupsi. Sementara, di RUU baru, syarat pemberian remisi, asimilasi, dan hak-hak peringanan lainnya diberikan hanya berdasarkan perlakuan baik, pelaksanaan program pembinaan, dan jika dianggap mengalami penurunan risiko, sehingga dianggap menyamakan semua hak narapidana dan “memanjakan” pelaku kejahatan berat. Selain itu, ada pengenalan hak baru narapidana yaitu hak untuk mendapatkan cuti bersyarat, tetapi hak ini tidak didefinisikan atau dijelaskan lebih lanjut. Hal lain yang menjadi kontroversi adalah pemberian hak untuk mendapatkan cuti dikunjungi keluarga. Hak ini juga baru tertera dalam draft RUU pemasyarakatan dan menjadi tanda tanya bagi warga dengan maksud itu, karena narapidana sudah memiliki hak untuk menerima kunjungan dari keluarga di dalam penjara.
PP Nomor 99 tahun 2012 juga sudah berisikan spesifikasi pemberian remisi serta asimilasi terhadap tersangka berdasarkan tindakan yang ia lakukan, yang tidak dilakukan di RUU. Pada pasal 34A dari PP Nomor 99 tahun 2012, dicantumkan bahwa “pemberian remisi bagi narapidana karena melakukan tindak pidana terorisme, narkotika, dan prekursor narkotika, korupsi, kejahatan terhadap keamanan negara, kejahatan HAM yang berat, serta kejahatan transnasional terorganisir” itu diberikan jika mereka bersedia bekerjasama dengan penegak hukum untuk membantu membongkar perkara. Perlakuan syarat ini dianggap lebih baik, karena juga dapat membantu penegak hukum dalam memecahkan kasus kejahatan berat lainnya.
Perbandingan dengan sistem negara lain
Karena yang secara umum dipermasalahkan oleh masyarakat merupakan peringanan-peringanan yang tertera pada pasal 10 RUU Pemasyarakatan, artikel ini juga akan mengulas perbandingan dengan sistem peringanan yang diterapkan di negara lain. Dengan melakukan perbandingan ke negara lebih maju, yakni Kanada, Indonesia dapat belajar dari sistem yang mereka terapkan.
Di Kanada, sistem “pemasyarakatan” mereka terkandung dalam hukum mereka Corrections and Conditional Release Act yang dibuat pada tahun 1992. Hukum ini mengatur pemberian pembebasan bersyarat (“parole”), cuti yang didampingi dan tidak didampingi, dan “statutory release” yang menggantikan remisi, dimana tahanan dapat tinggal di luar penjara hingga masa tahanan mereka selesai. Di Kanada, peringanan ini diberikan untuk memfasilitasi rehabilitasi dan reintegrasi para pelanggar kembali ke dalam masyarakat sebagai warga negara yang taat hukum. Tentunya, prioritas utama tetaplah perlindungan masyarakat. Kanada tidak mengenal remisi, hanya pemberian kebebasan bersyarat kepada narapidana sebelum masa penjara mereka berakhir.
Pembebasan bersyarat atau parole merupakan hak yang diberikan tahanan untuk berpartisipasi dalam kegiatan komunitas agar mereka dapat bersiap-siap untuk di reintegrasi kembali ke masyarakat dan berkontribusi. Pengajuan untuk parole dilakukan di waktu-waktu tertentu dari masa penjara narapidana, tergantung dari kejahatan dan masa penjara masing-masing narapidana.
Parole dibagi menjadi dua jenis, yakni day parole dan full parole. Day parole hanya memberikan narapidana hak untuk berpartisipasi di kegiatan komunitas di luar penjara pada pagi hari, lalu diwajibkan untuk kembali bermalam di penjara. Full parole memberikan hak narapidana untuk menjalankan sisa dari masa tahanan mereka di luar penjara, dengan supervisi dari komunitas. Di waktu tersebut, mereka melibatkan diri dengan pekerjaan, proyek, atau kegiatan-kegiatan tertentu. Mereka tetap harus dengan aktif melapor kepada parole supervisor tentang kegiatan mereka di luar penjara, dan menginformasikan ketika ada perubahan pekerjaan atau keadaan pribadi, seperti tempat tinggal.
Keputusan memberikan parole diserahkan kepada sebuah tribunal administratif independen, yakni Parole Board of Canada (“PBC”). Mereka akan mempertimbangkan beberapa faktor, antara lain keputusan dan rekomendasi dari hakim yang memberikan masa penjara, sifat dan keberatan dari kejahatan, peran dari narapidana dalam kejahatan tersebut, informasi dari korban, dan analisa yang dilakukan otoritas pemasyarakatan. Narapidana pun diberikan informasi, alasan dari keputusan PBC, dan kesempatan untuk melakukan review terhadap keputusan tersebut agar proses pemberian kebebasan bersyarat ini dapat adil bagi seluruh pihak.
Hak kebebasan bersyarat kedua yang dapat diminta narapidana adalah cuti. Ada cuti yang didampingi, dan juga ada yang tidak. Cuti diberikan antara lain agar narapidana dapat memperoleh perawatan medis, menghubungi keluarga, melakukan konseling, dan juga berpartisipasi di dalam aktivitas komunitas. Para tahanan dapat meminta cuti yang didampingi di masa apapun dalam waktu tahanan mereka, sedangkan cuti yang tidak didampingi hanya boleh diajukan setelah sekian lama dari masa penjara mereka berlalu, tergantung dari kejahatan yang dilakukan dan masa penjara masing-masing narapidana. Cuti ini dapat diberikan oleh Correctional Service Canada (“CSC”), sebuah lembaga pemerintah yang bertanggung jawab terhadap pemenjaraan dan rehabilitasi narapidana, atau juga oleh PBC.
Sebelumnya, Kanada juga memiliki sistem remisi yang diberikan berdasarkan kelakuan baik dari tahanan. Tetapi, setelah Act keluar di 1992, remisi diubah dengan statutory release. Statutory release adalah ketika tahanan dikeluarkan dari penjara secara otomatis setelah menjalankan ⅔ dari masa penjara mereka jika belum dikeluarkan lewat parole. Status mereka tetap narapidana dan mereka belum secara resmi selesai dengan masa tahanan mereka, tetapi mereka tidak perlu menghabiskannya di penjara. Ini dilakukan agar mereka dapat kembali berintegrasi dengan masyarakat, dan mereka tetap disupervisi hingga masa tahanan mereka secara resmi sudah berakhir. Tentunya, statutory release ini diikuti dengan syarat-syarat tertentu, seperti rutin melapor kepada CSC dan tidak boleh meninggalkan wilayah Kanada. Ini hak yang diberikan kepada kebanyakan dari tahanan, tetapi CSC dapat merekomendasikan agar seseorang tidak diberikan hak ini jika dipercaya mereka dapat melakukan kejahatan yang membahayakan orang lain dan menyalahgunakan narkoba sebelum akhir dari masa tahanan.
Dari sini, dapat dilihat bahwa Kanada memiliki sistem yang terstruktur dan matang dalam pemberian hak kebebasan bersyarat. Hukum mereka dengan jelas menjelaskan setiap jenis hak, masa narapidana dapat mengajukan hak, dan badan yang diberikan wewenang untuk memberikan hak-hak tersebut. Di RUU Pemasyarakatan terbaru, ada beberapa hak seperti cuti bersyarat dan asimilasi yang tidak dengan jelas didefinisikan oleh RUU, yang berencana untuk menggantikan PP berkaitan sebelum ini. Ada pula hak yang rancu seperti cuti “dikunjungi keluarga”, yang menimbulkan pertanyaan karena narapidana dapat menerima kunjungan dari keluarga ketika di dalam penjara. Sebagian dari syarat untuk mendapatkan hak ini pun seperti “program pembinaan” tidak didefinisikan dengan jelas. Selain itu, RUU ini tidak memberikan wewenang kepada sebuah lembaga independen untuk memutuskan pemberian hak-hak yang dicantumkan dalam pasal 10 RUU. Jika mengikuti Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1999 tentang syarat dan tata cara pelaksanaan hak warga binaan pemasyarakatan, peringanan diberikan oleh Menteri Hukum dan Ham. Dengan banyaknya pekerjaan lain yang sudah dimiliki oleh Menteri Hukum dan Ham, diragukan bila efektif jika keputusan pemberian peringanan tepat dilimpahkan langsung kepada Menteri ini. Selain itu, Kanada dengan jelas memprioritaskan keselamatan dari masyarakat dan juga korban dari para narapidana, dan informasi dari korban menjadi salah satu konsiderasi bagi badan yang memberikan hak parole. Di Indonesia, memang dilakukan pertimbangan pengurangan risiko, tetapi informasi dari pribadi yang sebelumnya terdampak oleh kejahatan narapidana sepertinya tidak diperhatikan dalam RUU ini.
Kesimpulan
Undang-Undang Pemasyarakatan merupakan suatu hal yang penting dan dapat berdampak baik bagi masyarakat Indonesia itu sendiri. Walaupun Hal tersebut tidak dapat dirasakan secara langsung oleh banyak individu, namun dengan adanya RUU ini, para narapidana dapat mendapat banyak edukasi dan didikan moral yang dapat mereka teruskan di dalam kehidupan mereka sehari-hari terlepas dari penjara sebagai konsekuensi hukuman yang mereka hadapi. Norma-norma yang diharapkan akan ditanamkan oleh para pemimpin bangsa serta individu yang menetap sebagai pelaku penegak hukum RUU Pemasyarakatan menjadi suatu hal yang bermanfaat. Narapidana diharapkan dapat menjadi sosok yang memiliki kualitas yang lebih maju dan memiliki norma etika yang meningkatkan rasa untuk tidak mengulangi perbuatan yang telah mereka perbuat sebelumnya. Maka dari itu, adanya pembahasan RUU lanjutan untuk memastikan adanya penyelarasan serta semua peraturan memiliki kejelasan hukum yang mendasari keadilan semua pihak baik para narapidana maupun para penegak hukum itu sendiri.
Terlepas dari niat baik oleh pencipta RUU ini, RUU ini menjadi kontroversi di masyarakat dan dianggap belum layak disahkan karena “memanjakan” narapidana di saat sebelumnya sudah ada peraturan yang dianggap memberikan syarat peringanan yang pantas bagi pelaku kejahatan berat seperti korupsi dan terorisme, di PP Nomor 99 Tahun 2012. Namun, jika disahkan RUU ini, tidak jelas apakah PP ini akan tetap dijalankan, atau semua narapidana terlepas dari kejahatan, terkecuali yang terkena penjara seumur hidup atau hukuman mati, akan mendapatkan syarat yang sama untuk hak peringanan.
Selain itu, ada hal-hal yang kurang dijelaskan oleh RUU, termasuk mengenai cuti bersyarat dan cuti dikunjungi keluarga yang membuat masyarakat menjadi bingung karena tidak ada penjelasan lebih lanjut mengenai hal itu. Serta pada bagian pemberian hak terdapat hal yang membingungkan, yaitu syarat aktif mengikuti program pembinaan. Di dalam RUU Pemasyarakatan, tidak dijelaskan apa saja program pembinaan yang dijalankan oleh narapidana. Sebaiknya pemerintah menjelaskan lebih lanjut tentang hal hal itu karena banyak warga yang belum mengerti arti dari itu.
Indonesia dapat belajar dari negara-negara lain yang sudah memiliki hukum dan sistem baik dalam menerapkan hak-hak seperti remisi, asimilasi, dan cuti. Contohnya, di Kanada, hukum mereka dengan jelas mendefinisikan hak-hak yang diberikan, kapan hak tersebut dapat diajukan, syarat-syarat dan pertimbangan, dan mereka juga membuat sebuah lembaga independen yang pekerjaannya khusus mempertimbangkan pemberian hak pembebasan bersyarat. Di Indonesia sekarang, hak pembebasan bersyarat diberikan oleh Menteri Hukum dan Ham, yang sudah memiliki banyak pekerjaan sehingga tidak akan efektif jika tugas mempertimbangkan pemberian hak pembebasan bersyarat diberikan kepada mereka. Juga akan baik jika Indonesia memiliki lembaga independen yang tidak terpengaruh dalam membuat keputusan mereka. Selain itu, Indonesia juga dapat mencontoh bagaimana Kanada peduli terhadap keselamatan dan pertimbangan dari korban yang terdampak kejahatan narapidana sebelum memberikan remisi, agar masyarakat termasuk korban merasa aman ketika narapidana tersebut dibebaskan secara bersyarat.
Penulis: Andrieta, Jocelyn, Jason.
Comments