Pada tanggal 6 Maret 2020, Mariana Amiruddin selaku Ketua Subkomisi Pemantauan Komnas Perempuan menyatakan bahwa terdapat 431.371 kasus sepanjang tahun 2019 mengenai kekerasan terhadap perempuan. Selain itu, ia juga menyatakan adanya kenaikan secara konsisten dari tahun 2008 sampai 2018 mengenai kasus kekerasan terhadap perempuan. Bahkan, dalam kurun waktu 12 tahun, kekerasan terhadap perempuan meningkat hampir 8 kali lipat. Oleh karena itu, sejak tahun 2012 Komisi Nasional Penghapusan Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) telah mengajukan gagasan mengenai RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS). Hal ini dilatarbelakangi oleh peraturan perundang-undangan yang belum mengatur semua bentuk kekerasan seksual.
Seperti yang diketahui, RUU PKS telah diajukan sejak tahun 2012, tetapi hingga saat ini belum disahkan. Terdapat beberapa permasalahan yang dinilai menjadi sebab belum disahkannya RUU PKS. Pertama, judul dan definisi RUU yang dinilai bermasalah yaitu ‘Penghapusan Kekerasan Seksual’. Pengertian dari ‘kekerasan seksual’ (Pasal 1 Angka (1) RUU PKS) dinilai beberapa orang terlalu liberal atau ditafsirkan menjadi pintu masuk untuk memperbolehkan lesbian, gay, biseksual, dan transgender. Oleh karena itu, banyak pendapat yang datang dari masyarakat untuk mengubah judul RUU menjadi RUU Penghapusan Kejahatan Seksual. Penentuan judul merupakan hal yang penting karena judul mempengaruhi substansi Undang-Undang yang akan dibahas.
Kedua, ada pihak yang menyatakan bahwa RUU PKS mendukung perzinaan maupun melegalkan aborsi. Padahal seperti yang diketahui, RUU PKS merupakan hukum yang bersifat lex specialis. Mengenai perzinaan diketahui telah diatur di KUHP yaitu Pasal 296 dan Pasal 506. Sedangkan mengenai aborsi diatur pada Pasal 75 Ayat (1) UU No. 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan, yang menyatakan aborsi boleh dilakukan bila adanya indikasi kedaruratan medis dan kehamilan akibat perkosaan yang dapat menyebabkan trauma. Selanjutnya, dalam Pasal 2 UU Kesehatan dijelaskan aborsi hanya dapat dilakukan setelah dilakukannya konseling.
Terlepas dari beberapa poin yang menyebabkan RUU PKS tak kunjung disahkan, RUU PKS merupakan hukum yang dibuat dengan tujuan melengkapi perlindungan untuk korban kekerasan seksual. Jika sebelumnya di KUHP jenis kekerasan seksual hanya sebatas perkosaan dan pencabulan serta belum menjamin perlindungan hak korban, dalam RUU PKS ini membahas 9 (sembilan) jenis kekerasan seksual yaitu pelecehan seksual, eksploitasi seksual, pemaksaan kontrasepsi, pemaksaan aborsi, perkosaan, pemaksaan perkawinan, pemaksaan pelacuran, perbudakan seksual dan/atau penyiksaan seksual serta telah menjamin perlindungan hak korban (Pasal 22 RUU PKS berupa hak atas penanganan, perlindungan, dan pemulihan). Selain itu, dalam RUU PKS juga diatur mengenai pemidanaan terhadap korporasi — adanya ancaman 2 (dua) pidana pokok dan 9 (sembilan) pidana tambahan berdasarkan pemberatan atas tindak pidana, rehabilitasi khusus kepada pelaku, pidana tambahan berupa 9 (sembilan) poin: restitusi, perampasan keuntungan yang diperoleh dari tindak pidana, kerja sosial, pembinaan khusus, pencabutan hak asuh, pencabutan hak politik, pencabutan hak menjalankan pekerjaan tertentu, pencabutan jabatan atau profesi, dan pengumuman putusan hakim.
Penulis : Erika dan Tifonia
Comments