top of page
Aisya S Zahra

Sejarah Dibalik Lambang Keadilan Di Indonesia



Dunia hukum tidak hanya dipenuhi oleh adagium, asas, dan peraturan, namun juga simbol atau logo hukum. Beberapa di antaranya yang paling terkenal adalah palu dan Themis. Arti lambang palu dalam hukum adalah kepastian hukum yang dibuat oleh seorang hakim. Kemudian, Themis merupakan lambang keadilan. Indonesia pernah menggunakan Themis sebagai lambang keadilan dalam waktu yang lama, sebelum menggantinya pada 1960 menjadi pohon beringin.


Themis, Sang Dewi Keadilan, menjadi lambang dari hukum. Wanita yang ditutup matanya dan memegang timbangan yang sama di satu tangan dan pedang yang kemudian diturunkan di tangan lainnya. Simbol keadilan terdiri dari empat elemen utama, antara lain Dewi Keadilan, mata tertutup, timbangan, dan pedang. Jane E. Harrison (1911) dalam tulisannya yang berjudul Themis: A Study of The Social Origins of Greek Religion menjelaskan bahwa Themis mewakili aturan sosial yang berdiri di atas proyeksi hati nurani, hukum, atau kebiasaan yang baik. Harrison lebih lanjut menjelaskan bahwa dewa-dewi Yunani adalah kelompok sosial yang dibentuk oleh konsesi sosial, dan Themis adalah kesadaran sosial yang mendasari struktur sosial. Sebagai dasar dari struktur sosial, kehadiran Themis tentu saja merepresentasikan keadaan masyarakat tertentu, yang berubah dari waktu ke waktu dan memenuhi fungsinya.


Themis, Sang Dewi Keadilan adalah wujud keadilan yang dilambangkan dengan sosok perempuan. Hal ini karena wanita dianggap sebagai makhluk dengan hati nurani yang mulia. Secara filosofis, sosok wanita memiliki perasaan dan kualitas halus yang menyukai keindahan dan kebaikan. Hal tersebut diartikan sebagai hukum tidak ditakuti. Hal ini dikarenakan hukum tentu mempunyai sifat dan hati nurani manusia. Elemen kedua dari simbol keadilan yakni mata yang tertutup. Saat menutup mata, penglihatan menjadi gelap dan tidak dapat melihat bentuk di depan.


Hukum adalah tempat mencari keadilan. Adanya simbol tersebut yang menggambarkan mata yang tertutup memiliki arti bahwa hukum tidak membeda-bedakan siapa yang melakukannya. Di bawah hukum dengan “mata tertutup,” semua orang memiliki hak yang sama dan diperlakukan sama tanpa diskriminasi. Elemen selanjutnya adalah timbangan, tangan Sang Dewi Keadilan yang ditutup matanya mengangkat timbangan yang seimbang. Arti dalam simbol keadilan ketiga ini adalah bahwa hukum tidak pernah berpihak.


Setiap tindakan diberi bobot sebelum hukuman dijatuhkan, tidak peduli kaya atau miskin, penguasa atau rakyat kecil. Siapapun yang melanggar hukum akan diperlakukan secara adil sesuai dengan besarnya tindakannya. Elemen terakhir dari simbol keadilan adalah pedang. Pedang yang diturunkan tidak mewakili hukum yang mengancam di bawah. Filosofi dari simbol ini yaitu bahwa pedang yang diturunkan bukanlah alat pembunuhan tetapi ditarik ketika diperlukan sebagai upaya terakhir (ultimum remedium) dan tidak digunakan sebagai pencegahan awal (premium remedium).


Lady Justice atau Themis, Sang Dewi Keadilan digunakan sebagai simbol keadilan di Indonesia pada masa pemerintahan Belanda hingga awal kemerdekaan. Pada tahun 1960, simbol keadilan Indonesia digantikan oleh pohon beringin. Daniel S. Lev menyatakan di dalam buku yang berjudul “Hukum dan Politik di Indonesia” (1990), bahwa logo tersebut adalah gambar pohon beringin, distilasi, dan bertuliskan kata bahasa Jawa, Pengayoman, yang berarti "perlindungan dan kesejukan". Dr. Saharjo mengusulkan perubahan ini, di mana pada saat itu ia menjabat sebagai Menteri Kehakiman. Ia merasa Themis, Sang Dewi Keadilan, tidak cocok diterapkan di Indonesia. Hal ini dikarenakan mitologi Yunani yang tidak mempunyai hubungan dengan kehidupan di Indonesia.


Pergantian lambang ditetapkan dengan Surat Keputusan No. J.S. 8/20/17. Tanggal 6 Desember 1960. Simbol pohon beringin berlabel "Pengayoman" secara resmi ditetapkan sebagai simbol hukum dan simbol Departemen Kehakiman. Selanjutnya, pada tanggal 11-16 Maret 1963, Seminar Hukum Nasional I mengesahkan lambang pohon beringin sebagai lambang hukum, lambang Departemen Kehakiman dan lambang Presiden Republik Indonesia. Ktut Sudiri Panyarikan menjelaskan bahwa Saharjo pernah menceritakan kisah lama tentang pohon beringin. Dalam cerita, ketika orang ingin meminta keadilan penguasa, mereka duduk di bawah pohon beringin sampai penguasa mendengar tuntutan mereka.


Kepuasan mungkin datang terutama dari anugerah keindahan, tetapi penggantian dewi keadilan Eropa dengan pohon beringin Asia merupakan indikasi minat para pemimpin Indonesia untuk kembali ke tradisi mereka sendiri. Warisan hukum kolonial Belanda menjadi hukum Indonesia. Sebagai simbol keadilan hukum sekaligus mengikuti praktik sebelumnya, Saharjo mengibaratkan pohon beringin dengan hukum. Pohon beringin sebagai hukum harus mampu memberikan perlindungan dan kesejukan.


Pohon beringin sendiri melambangkan perlindungan rakyat yang mendambakan keadilan hukum. Lambang pohon beringin diterima oleh para peserta Seminar Hukum Nasional pada 1963. Desain lambang tersebut dibuat oleh pelukis Derachman di mana lambangnya disebut Lambang Pengayoman. Walaupun sudah beberapa kali diubah, lambang pohon beringin tetap dipertahankan dan dapat dilihat pada logo Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham) saat ini.


Perubahan logo ini dilatarbelakangi oleh perubahan fungsi hukum dari keadilan atau kepastian hukum menjadi perlindungan (kembali ke landasan filosofis bangsa Indonesia). Dalam lambang pohon beringin, rimbunnya daun pohon beringin dimaknai sebagai pelindung dari hujan dan panas. Batang pohon beringin yang kokoh dapat digunakan sebagai pelindung dari badai dan angin topan. Berdasarkan hal tersebut, pohon beringin dapat memberikan perlindungan kepada mereka yang membutuhkan tanpa meminta imbalan apapun. Filosofi Pohon Beringin dianggap sah karena melindungi dari kesewenang-wenangan dan ketidakadilan.


Lembaga Koperasi Indonesia juga mengadaptasi pohon beringin dalam lambang mereka. Hal ini, menunjukkan bahwa lembaga keuangan tersebut lahir sebagai bentuk pengamalan nilai-nilai pada landasan negara Indonesia tersebut. Bukan hanya itu, pohon beringin juga merupakan salah satu simbol dalam Pancasila. Dimana pada Sila ke-3 berbunyi “Persatuan Indonesia” yang dilambangkan dengan pohon beringin pada perisai Garuda sebelah kanan atas dengan latar belakang warna putih. Dilansir dari Kementerian Pertahanan Republik Indonesia, pohon beringin adalah pohon besar yang digunakan banyak orang untuk berteduh di bawahnya. Pohon beringin merupakan perwujudan negara Indonesia sebagai tempat berteduh bagi seluruh rakyat. Sulur dan akarnya yang menjalar ke segala arah mewakili keberagaman warga Indonesia yang terbentuk dari banyak suku, bahasa, budaya, agama, ras, dan budaya.





75 views0 comments

Recent Posts

See All

Comentários


Post: Blog2 Post
bottom of page