Pada hari Sabtu (26/09/2020) lalu, United Nations General Assembly (UNGA) menyelenggarakan sidang umum. Pada sidang kali ini, Indonesia menjadi perhatian dalam pembahasan isu. Hal ini diawali oleh argumentasi dari seorang Perdana Menteri Republik Vanuatu, Bob Loughman. Dalam menyampaikan hak jawabnya, Bob menyinggung bahwa Indonesia melakukan pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) terhadap masyarakat di Papua.
Penyampaian pendapat itu dilakukan hampir setiap tahun sekali saat menyelenggarakan sidang umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Menanggapi singgungan tersebut, Silvany Austin Pasaribu, seorang diplomat muda yang mewakili Indonesia menggunakan hak jawabnya. Silvany beranggapan bahwa Papua sudah menjadi salah satu wilayah di Indonesia sejak tahun 1945 dan telah disetujui oleh PBB pada tanggal 26 September 1950. Silvany beranggapan bahwa tuduhan yang diberikan kepada Indonesia merupakan sebuah advokasi separatisme.
“Indonesia akan membela diri dari segala advokasi separatisme yang disampaikan dengan kedok kepedulian terhadap hak asasi manusia yang artifisial. Prinsip-prinsip Piagam PBB yang jelas tidak dipahami Vanuatu adalah penghormatan terhadap kedaulatan dan integritas teritorial,” ujar Silvany. Ia juga mengutip Piagam PBB Pasal 1 ayat (3), bahwa “mengembangkan hubungan persahabatan antar bangsa berdasarkan penghormatan terhadap prinsip persamaan hak dan penentuan nasib sendiri masyarakat, dan untuk mengambil tindakan yang tepat lainnya untuk memperkuat perdamaian universal.”
"Pada saat krisis besar kesehatan dan ekonomi, mereka lebih memilih untuk menanamkan permusuhan serta menabur perpecahan dengan memandu advokasi mereka untuk separatisme dengan perhatian masalah hak asasi manusia yang berlebihan," tambahnya.
Ada apa dengan Vanuatu dan Papua Barat?
Peristiwa pada Sidang Umum PBB kemarin bukanlah pertama kalinya bagi Vanuatu untuk mengomentari dan mengkritik perlakuan Indonesia terhadap Papua Barat. Bila melihat sejarah, keberpihakan dan dukungan Vanuatu pada Papua Barat dimulai pada tahun 1969 ketika digelar Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) atau Act of Free Choice, yang merupakan momentum saat masyarakat Papua Barat diminta untuk memilih, antara tetap bergabung dengan Indonesia atau tidak.
Didasari oleh Perjanjian New York, Referendum Pepera diikuti oleh 1.025 orang yang diseleksi oleh militer Indonesia dan ditentukan melalui aklamasi di mana perwakilan warga Papua Barat memilih untuk tetap menjadi warga negara Indonesia. Setelah hasil dari Pepera dibacakan dalam Resolusi 2504 Majelis Umum PBB, Vanuatu tetap meyakini bahwa pemerintah Indonesia berlaku tidak adil dan memaksa warga Papua Barat untuk tetap menjadi WNI.
Sejak saat itu, Vanuatu pun terus berusaha untuk menjadi advokat dalam menyuarakan ketidakadilan yang dialami oleh warga Papua Barat. Tindakan berikutnya adalah permintaan Vanuatu dalam Konferensi Tingkat Tinggi Pacific Island Forum (KTT-PIF) 2010 agar Papua Barat mendapatkan status Observer yang diwakili oleh ULMWP.
Permintaan ini pun disampaikan di hadapan organisasi negara berlatar belakang budaya Melanesia, Melanesian Spearhead Group (MSG). Meskipun tidak berhasil, dalam tahun yang sama, Parlemen Vanuatu mengadopsi Rancangan undang-undang berisi pengakuan terhadap kemerdekaan Papua Barat dari Indonesia.
Seiring dengan dorongan dari Pacific Island Forum agar Indonesia mengundang Michelle Bachelet, Komisioner HAM PBB untuk meninjau mengenai kondisi HAM di Papua. Dalam KTT PIF 2019, Vanuatu sukses dalam mendorong sebuah resolusi yang menciptakan sebuah deadline bagi Indonesia untuk mengundang Michelle Bachelet sampai tahun 2020. Meskipun Indonesia tidak menyampaikan penolakan, kunjungan tersebut belum saja terjadi.
Dalam Pertemuan Majelis Umum PBB ke-75, Perdana Menteri Vanuatu kembali menyatakan keprihatinan mereka terhadap kondisi Hak Asasi Manusia di Papua Barat. Mereka prihatin bahwa masyarakat asli Papua Barat sedang dilanggar Hak Asasinya oleh Pemerintah Indonesia dan meminta Pemerintah Indonesia untuk memenuhi permintaan
Permintaan Pacific Island Forum agar Indonesia mengundang Komisioner HAM PBB Michelle Bachelet merupakan sesuatu yang wajar, tapi tidak wajib bagi Indonesia untuk dipenuhi. Ini sesuai dengan salah satu prinsip dasar dari Piagam PBB yaitu kesetaraan negara, yang berarti negara manapun tidak dapat memaksakan kehendak politiknya terhadap negara lain.
PIF pun dianggap oleh Pemerintah Indonesia sudah menyimpang dari tujuan organisasi tersebut. Pendapat ini disampaikan oleh Teuku Faiziyah, Menteri Luar Negeri Indonesia tahun 2019 bahwa mandat organisasi tersebut adalah untuk berbicara mengenai isu-isu lingkungan hidup, bagaimana mengangkat pembangunan dan mengatasi dampak lingkungan di wilayah negara-negara pasifik.
Selain itu, sebelum sebuah permasalahan dapat dibawa ke ranah internasional, semua solusi hukum lokal harus dijalankan terlebih dahulu. Ini merupakan sebuah prinsip hukum internasional yaitu “Exhaustion of Local Remedies”. Meskipun tidak secara eksplisit menyatakan prinsip ini, Menteri Koordinator Bidang Politik Hukum dan HAM Indonesia Mahfud MD mengatakan bahwa dalam menyelidiki pelanggaran HAM dalam negeri Indonesia sudah memiliki aparatur negara yaitu Komnas HAM yang telah mengadili beberapa kasus-kasus pelanggaran HAM.
Membalas Kritik Vanuatu: Prinsip Non Intervensi
Prinsip non-internvensi adalah prinsip yang menyatakan bahwa negara-negara berdaulat tidak boleh saling campur tangan dalam urusan internal masing-masing. Tidak adanya campur tangan dalam urusan negeri masing-masing merupakan penghormatan terhadap kedaulatan negara dan integrasi teritorial yang mengatur hubungan antar negara sehubungan dengan hak dan kewajiban setiap negara.
Menanggapi pernyataan Perdana Republik Vanuatu, Indonesia menegaskan bahwa Vanuatu bukanlah perwakilan warga Papua, dan secara implisit menegaskan prinsip non-intervensi kepada Vanuatu terhadap Indonesia.
Seperti yang sudah disebutkan sebelumnya, Vanuatu selalu menyinggung isu dugaan pelanggaran HAM yang dialami masyarakat Papua setiap tahun dalam Sidang Umum PBB. Tuduhan ini, menurut Indonesia, sengaja dilontarkan untuk mendukung tindakan separatisme.
Silvany menegaskan bahwa sejak tahun 1945, Papua dan Papua Barat merupakan bagian dari Indonesia yang merupakan keputusan final dan tidak dapat diubah, yang telah didukung oleh PBB dan komunitas internasional sejak beberapa dekade lalu. Oleh sebab itu, menurut Silvany, Vanuatu harus menghormati prinsip-prinsip di Piagam PBB, yakni penghormatan terhadap kedaulatan dan integritas teritorial.
Konsep Diplomasi Indonesia yang Kurang Ideal
Tanggapan yang dilontarkan Pemerintah Indonesia melalui Silvany tersebut membuat Indonesia terkesan tidak mengerti diplomasi. Walaupun prinsip non-intervensi merupakan prinsip yang wajib untuk dihormati, hal tersebut adalah kata mati dalam teori diplomasi.
Dengan terus membalas tanggapan dari Vanuatu dengan konsep non-intervensi, hal ini seolah-olah menutup kritik dari negara lain untuk memberikan rekomendasi dan menutup komunikasi politik antarnegara.
“Jika Indonesia selalu mengeluarkan kata non-intervensi pada saat ada negara lain yang mengkritik atau mempertanyakan sikap Indonesia terkait situasi domestik, untuk apa ada forum internasional, seperti PBB, yang mana forum tersebut dibangun untuk memperbaiki situasi politik dan ekonomi negara anggotanya,” tutur Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras), Fatia Maulidiyanti.
Fatia menilai, dengan menggunakan argumen non-intervensi secara terus menerus setiap ada negara yang mengangkat isu Papua, seakan-akan membuat Indonesia terlihat membenarkan akan adanya pelanggaran HAM di Papua Barat.
Mengingat Indonesia yang merupakan negara hukum, Indonesia seharusnya menjawab tuduhan dari Vanuatu dengan cara yang lebih elegan. Hal ini dapat dilakukan, misalkan, dengan cara menunjukkan komitmen Indonesia dalam penegakkan hukum dan HAM.
Menurut Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid, Amnesty International Indonesia menyayangkan respon Indonesia saat menjawab tuduhan yang dilontarkan Vanuatu terkait pelanggaran HAM. “Kami sangat menyayangkan sikap Pemerintah Indonesia di forum PBB yang masih cenderung resisten terhadap suara-suara dari negara sekecil apapun, bahkan sekecil negara Vanuatu misalnya,” ujarnya dalam konferensi pers daring, Senin (28/9/2020) lalu.
Dalam menanggapi kritik dari negara-negara lain, Indonesia seharusnya dapat bersikap lebih transparan dalam praktik diplomasinya terkait isu Papua, sehingga tidak menjadi double standard, mengingat Indonesia juga secara senantiasa mendukung dengan lantang mengenai kemerdekaan Palestina. (RIA, EA, ADD)
Comments