top of page
Andrew Daniel Djapri & Rafaella Winarta

Unggahan Rasial Online: Kebencian di Ujung Jari


Summer: BBC.com

Rasisme, menurut KBBI, adalah prasangka berdasarkan keturunan bangsa. Namun, dalam kehidupan sehari-hari, rasisme yang ditemui sudah melebihi prasangka terhadap suatu bangsa saja. Rasisme saat ini sering kali ditemukan dalam bentuk kebencian terhadap suatu bangsa atau ras dalam bentuk ujaran kebencian atau hinaan hingga kekerasan.


Selain bentuknya yang beragam, rasisme juga semakin sering ditemukan dalam berbagai cabang kehidupan masyarakat. Mungkin awalnya rasisme lebih sering dikaitkan dengan diskriminasi ras dalam kehidupan sehari-hari seperti pekerjaan atau pendidikan. Ternyata, dalam ajang olahraga nasional yang bertujuan untuk mempersatukan suatu bangsa dan negara, ditemukan juga rasisme. Insiden terbaru terjadi setelah Inggris kalah dalam final EURO 2020 terhadap Italia pada 11 Juli 2021. Disamping kericuhan yang timbul karena membludaknya penonton di luar kapasitas, babak final dari ajang olahraga ini ditutup dengan gelombang ujaran rasisme terhadap beberapa anggota tim Inggris melalui media sosial.


Ujaran rasial yang dilontarkan segelintir fans melalui media sosial seperti twitter, instagram, dan facebook ditujukan kepada tiga pemain Inggris, Marcus Rashford, Jadon Sancho, dan Bukayo Saka. Akun media sosial dari ketiga pemain tersebut menerima serangan rasial dalam bentuk tulisan maupun gambar. Serangan tersebut tidak hanya berdasarkan kekalahan Inggris namun juga karena ketiga pemain tersebut merupakan keturunan ras kulit hitam. Sebagian besar ujaran rasial dilontarkan dalam bentuk cercaan rasial (racial slur) yang merupakan bentuk hinaan bagi ras tertentu.


Bagi sebagian besar orang mungkin ujaran rasial dalam media sosial merupakan hal sepele, namun ujaran rasial tersebut meluas dari media sosial ke aksi nyata. Dalam insiden Euro 2020 ini, sulutan ujaran rasial kepada Marcus Rashford di media sosial berakhir dengan pengrusakan mural Rashford di Manchester. Rasisme tidak hanya dilontarkan kepada ketiga pemain Inggris tersebut, para fans tim Italia yang hadir juga menjadi sasaran. Beberapa gambar dan video yang beredar di Twitter menangkap kekerasan fisik yang dilakukan beberapa fans Inggris kepada fans Italia yang terjadi di area Stadion Wembley.


Terjadi juga pengrusakan bendera Italia dalam beberapa insiden. Kekerasan rasial dapat langsung ditangani pihak berwenang dengan hukuman sesuai hukum masing-masing negara, namun terhadap ujaran rasial dalam media sosial, platform-platform media sosial ditantang untuk menerapkan regulasi mereka.


Rasisme dalam Regulasi Media Sosial

Unggahan rasisme dalam media sosial memang banyak ditemui namun secara resmi, regulasi dan aturan dalam platform-platform tersebut melarang unggahan rasisme. Masing-masing dari platform tersebut memiliki kebijakannya tersendiri. Dengan jumlah pengguna terbesar, Facebook dalam pedoman komunitasnya (community guideline), menyatakan bahwa unggahan rasisme termasuk dalam kategori hate speech atau ujaran kebencian.


Secara lebih spesifik, dalam Facebook, ujaran kebencian meliputi ujaran kebencian kepada ras, etnis, kewarganegaraan, orang-orang berkebutuhan khusus, agama, kasta, orientasi seksual, gender, identitas gender, dan penderita penyakit kronis. Facebook juga menyatakan bahwa mereka secara aktif melindungi para pencari suaka dan imigran dari ujaran kebencian dalam platformnya. Jika ditemukan pelanggaran, Facebook akan menghapus unggahan atau memblokir akun.


Walaupun hanya menyediakan 140 huruf per unggahan, para pengguna tidak jarang menggunakan 140 kata tersebut untuk melontarkan ujaran rasisme di Twitter. Serupa dengan community guideline pada Facebook, dalam fitur Help Center, Twitter mengatur bahwa unggahan yang bersifat kekerasan, ancaman, dan pelecehan terhadap ras, etnis, kewarganegaraan, orang-orang berkebutuhan khusus, agama, kasta, orientasi seksual, gender, identitas gender, dan penderita penyakit kronis, merupakan suatu perilaku kebencian (Hateful conduct).


Berbeda dengan Twitter dan Facebook, perlindungan terhadap ras, etnis, kewarganegaraan, orang-orang berkebutuhan khusus, agama, kasta, orientasi seksual, gender, identitas gender, dan penderita penyakit kronis di Instagram terlihat lebih spesifik. Dalam community guideline, Instagram menyatakan akan menghapus unggahan yang bersifat ujaran kebencian, perundungan (bullying), dan kekerasan. Platform media sosial mungkin sudah mengatur secara rinci unggahan-unggahan tersebut termasuk rasisme namun masih banyak ditemukan unggahan yang lolos.

Bagaimana dengan Indonesia?

Regulasi dalam media sosial memang berlaku universal namun, hukum di Indonesia juga mengatur perlindungan terhadap segala bentuk rasisme melalui berbagai instrumen hukum, mulai dari Undang-Undang Dasar Republik Indonesia 1945, Undang-undang, dan lain sebagainya. Pasal 28I(2) UUD 1945 menyatakan bahwa setiap orang berhak untuk tidak diperlakukan secara diskriminatif atas dasar apapun, dan harus dilindungi dari perlakuan diskriminatif apapun.


Selain itu, Undang-Undang No. 40 Tahun 2008 mengenai Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis, yang mendefinisikan Diskriminasi ras dan etnis sebagai segala bentuk pembedaan, pengecualian, pembatasan, atau pemilihan berdasarkan pada ras dan etnis, yang mengakibatkan pencabutan atau pengurangan pengakuan, perolehan, atau pelaksanaan hak asasi manusia dan kebebasan dasar dalam suatu kesetaraan di bidang sipil, politik, ekonomi, sosial, dan budaya.


UU No. 40 Tahun 2008 pun melarang adanya ujaran kebencian berdasarkan ras dan etnis melalui media apapun, baik itu tulisan, gambar, pidato, kata-kata di tempat umum, pakaian ataupun tindakan kekerasan. Pasal 16 dari undang-undang tersebut juga mengatur bahwa siapapun yang menunjukkan kebencian atau rasa benci berdasarkan ras dapat dikenakan pidana selama 5 tahun, dan/atau denda sebesar lima ratus juta rupiah.


Akan tetapi, dengan pesatnya perkembangan sosial media, yang membuka jalur-jalur baru bagi rasisme untuk tumbuh, maka ada pula UU No. 19 Tahun 2016 tentang Perubahan atas UU No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Perubahan UU ini menyisipkan beberapa hal yang sangat vital, seperti mengatur tindakan-tindakan para penyelenggara sistem elektronik.


UU ini menanggapi tantangan-tantangan terhadap penghapusan rasisme di sosial media melalui beberapa pasal. Yang pertama adalah Pasal 45A jo. Pasal 28(2) UU No. 19 Tahun 2016 yang menetapkan ancaman pidana paling lama 6 tahun dan/atau denda paling banyak sebesar 1 miliar rupiah, bagi siapapun yang dengan sengaja menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA).


Bagi para penyelenggara sistem elektronik terdapat pula pasal 40(2b) yang memberikan pemerintah kewenangan untuk memerintahkan para penyelenggara sistem elektronik untuk memutus akses terhadap Informasi atau Dokumen Elektronik yang melanggar hukum. Pasal ini memberikan kewenangan bagi pemerintah untuk memerintahkan aplikasi-aplikasi sosial media seperti Instagram, Facebook, Twitter dll, untuk takedown konten-konten yang melawan hukum, seperti konten yang mengandung ujaran kebencian berdasarkan ras.


Meskipun hukum untuk menghapus rasisme telah ada di Indonesia, hal ini tidak menghalangi tindakan-tindakan rasis di Indonesia baik melalui sosial media maupun secara langsung. Contoh dari ini adalah lontaran-lontaran ujaran yang berbau rasisme yang menyebabkan keributan di Asrama Kasmasan di Surabaya.


Kejadian yang bermula dari pemasangan bendera Merah Putih yang kemudian ditemukan di dalam got tersebut menimbulkan keributan dan keonaran di masyarakat luas. Selain itu, beberapa pihak pun menuduh bahwa mahasiswa yang berasal dari Papua yang tinggal di Asrama tersebut merupakan pelaku pengrusakan terhadap bendera merah putih. Hal ini memicu ujaran-ujaran diskriminatif yang dengan sengaja menyerang perbedaan ras dari para mahasiswa tersebut. Dunia olahraga Indonesia pun tidak luput dari serangan tersebut.


Salah satunya adalah ejekan rasial yang diterima oleh pemain PSM Makassar Patrich Wanggai lewat sosial medianya, setelah mengalahkan Persija Jakarta di Piala Menpora pada Selasa, 23 Maret 2021. Ejekan tersebut pun mendapatkan kecaman baik dari rekan se-tim Patrich dan juga oleh PSSI, yang mengecam ujaran-ujaran rasial tersebut kepada pemain manapun.


Media sosial dan pejabat angkat bicara

Terhadap ujaran rasialisme dalam media sosial di Indonesia, salah satu tindakan nyata adalah kehadiran polisi cyber yang berpatroli di media-media sosial. Sejak kemunculannya, pada Februari 2021, polisi siber sudah mengirimkan peringatan terhadap setidaknya 80 akun yang terbukti mengunggah ujaran kebencian berbau SARA.


Terkait insiden unggahan rasisme setelah Euro 2020, selain tindakan media sosial, para pejabat dan anggota kerajaan Inggris pun angkat bicara. Perdana Menteri Inggris, Boris Johnson, mengecam ujaran rasisme tersebut dan menyatakan bahwa tim Inggris sepatutnya mendapatkan pujian bukan kekerasan ras di media sosial. Pangeran William, Duke of Cambridge, juga mengecam ujuaran rasial tersebut dan menyatakan bahwa tim Inggris tidak seharusnya menerima kebencian tersebut dan untuk pelakunya agar segera di hukum. Menanggapi kecaman para pejabat Inggris dan masyarakat luas, platform media sosial terkait angkat bicara.


Juru bicara Facebook pada 12 Juli 2021 menyatakan bahwa Facebook dan Instagram (yang berada di bawah facebook) secara aktif menghapus unggahan rasial terhadap tim Inggris tersebut. Namun, Adam Mosseri, pemimpin dari Instagram, mengakui bahwa terkadang algoritma Instagram menyebabkan lolosnya unggahan rasial.


Sebagian besar unggahan yang lolos tersebut merupakan unggahan yang tidak dilaporkan oleh pengguna lainnya. Disisi lain, juru bicara Twitter melaporkan bahwa sistem mereka sudah menghapus lebih dari seribu unggahan atau tweet dan memblokir sejumlah akun.


Terlepas dari tindakan dan tanggapan terhadap unggahan rasial, kejadian-kejadian diskriminasi maupun ejekan rasial yang masih kerap terjadi menunjukkan bahwa penegakan hukum terhadap tindakan-tindakan rasis kurang tegas, bertentangan dengan pernyataan-pernyataan para figur publik dan politik yang kerap sekali mengecam kejadian-kejadian tersebut, baik di Indonesia maupun di manca negara.

30 views0 comments

Recent Posts

See All

Comentários


Post: Blog2 Post
bottom of page