Latar Belakang
Pada Selasa 7 Juni 2022 secara resmi terdakwa kasus dugaan pembunuhan berencana terhadap sejoli asal Nagreg, Jawa Barat, Handi dan Salsabila, yakni Kolonel Inf TNI Priyanto divonis penjara seumur hidup dan dipecat dari Tentara Nasional Indonesia (TNI). Diketahui kasus ini bermula pada 8 Desember 2021, dimana Kolonel Priyanto bersama dengan Kopral dua Andreas dan Kopral satu Ahmad melanjutkan perjalanan pulang dari Cimahi menuju Yogyakarta melalui jalur Nagreg. Pada saat itu mobil Isuzu Panther dikemudikan oleh Kopda Andreas, kemudian mobil yang dikendarai Kopda Andreas bersama Koptu Ahmad dan Kolonel Priyanto menabrak sepeda motor yang dikemudikan oleh Handi dan ditumpangi Salsabilla. Berdasarkan keterangan Andreas, motor yang dikendarai Handi melaju dari arah berlawanan di Jalan Raya Nagreg karena sempat bersenggolan dengan satu truk yang melaju searah dengan sepeda motor korban. Mendapati motor yang dikendari oleh Handi berada di jalur yang berlawanan, Andreas seketika berupaya melakukan pengereman dengan tujuan menghindari tabrakan dengan Handi dan Salsabila. Namun kecelakaan tersebut tidak dapat dihindarkan.
Setelah kecelakaan tersebut, Kolonel Priyanto bersama dengan Kopda Andreas dan Koptu Ahmad segera mengangkat Handi dan Salsabila masuk ke dalam mobil dengan tujuan untuk dibawa ke Rumah Sakit terdekat. Namun, saat tiba di Pusat Kesehatan Masyarakat dekat lokasi kejadian, Kolonel Priyanto menginstruksikan Andreas untuk tidak memberhentikan laju kendaraanya. Dalam perjalanan Kopda Andreas beberapa kali memohon kepada Kolonel Priyanto untuk membawa korban ke rumah sakit terdekat, namun lagi-lagi hal itu ditolak oleh kolonel Priyanto dengan alasan ingin membuangnya ke sungai untuk menghilangkan bukti-bukti kecelakaan. Tidak hanya itu, Priyanto juga meminta agar bawahannya mematuhi arahannya serta memperingatkannya agar tidak cengeng. Sementara itu, berdasarkan visum et repertum di RSUD Margono, Banyumas ditemukan pasir halus di tenggorokan serta paru-paru Handi. Hal tersebut menandakan bahwa saat dibuang ke sungai Handi sebenarnya masih dalam keadaan hidup dan meninggal akibat tenggelam.
Dalam sidang lanjutan kasus di Pengadilan Militer Tinggi II pada Kamis (7/4), Priyanto menjelaskan bahwa pembuangan korban ke sungai didasari atas hubungan emosional dengan Kopda Andreas Dwi Atmoko dan rasa panik. Menurut Priyanto, Kopda Andreas yang mengemudikan mobil bergetar ketakutan dan berbicara mengenai kekhawatirannya usai terlibat di kecelakaan mobil. Priyanto menjelaskan karena sudah lama Kopda Andreas menjaga anak dan keluarganya maka ada niat untuk menolong Kopda Andreas. Namun, setelah itu mereka panik dan bingung sampai akhirnya Priyanto mengambil keputusan untuk membuang korban ke sungai.
Proses Pengadilan
Kolonel Priyanto dituntut hukuman penjara seumur hidup dan pemecatan dari kesatuan TNI oleh Oditur Militer Kolonel Sus Wilder Boy. Ia diduga melakukan pembunuhan berencana terhadap Handi dan Salsabila, kemudian Kolonel Priyanto didakwa pasal berlapis, yakni Pasal 340 KUHP tentang Pembunuhan Berencana jo Pasal 55 Ayat (1) KUHP tentang Penyertaan Pidana, subsider Pasal 338 KUHP tentang Pembunuhan jo Pasal 55 Ayat (1) KUHP. Selain itu, Kolonel Priyanto didakwa subsider pertama Pasal 328 KUHP tentang Penculikan jo Pasal 55 Ayat (1) KUHP, dan dakwaan subsider kedua Pasal 333 KUHP tentang Kejahatan terhadap Kemerdekaan Orang jo Pasal 55 Ayat (1) KUHP.
Menurut Lettu Chk Feri Arsandi, kuasa hukum Priyanto, kliennya tidak dapat dimintai pertanggungjawaban karena pada saat kejadian Priyanto sedang tertidur, sedangkan mobil Isuzu Panther berwarna hitam tersebut dikemudikan oleh Kopda Andreas. Feri menjelaskan bahwa kliennya tidak tahu mengenai adanya peristiwa kecelakaan karena sedang tidur. Ia menyatakan bahwa baru bangun setelah peristiwa tersebut terjadi. Tidak hanya itu, Feri juga mengatakan bahwa kliennya tidak dapat dituntut atas pembunuhan berencana karena korban telah meninggal saat diangkat ke mobil, sedangkan pembuangan korban ke dalam sungai dilakukan di malam hari. Oleh karena itu, menurut Feri, secara hukum Priyanto hanyalah penumpang mobil yang tidak dapat dimintai pertanggungjawaban pidana. Dalam dakwaan Oditur Militer (Jaksa), Priyanto juga turut didakwa atas hal penculikan pada Pasal 328 KUHP juncto Pasal 55 ayat 1 KUHP buku kesatu. Menurut Feri, penculikan berasal dari kata culik yang memiliki arti membawa seseorang dari tempat tinggal sementara atau domisili. Ia kemudian menjelaskan lebih lanjut yang dikutip dari salah satu buku pidana, menculik memiliki arti menempatkan seseorang di bawah kekuasaan yang melawan hukum. Akan tetapi, dalam kasus Priyanto beserta dua bawahannya, mereka meyakini bahwa Handi-Salsa telah meninggal akibat dari kecelakaan. Feri menjelaskan bahwa kliennya tidak memiliki maksud untuk menculik Handi-Salsa sebagaimana dakwaan yang disampaikan oleh Oditur Militer. Feri juga menjelaskan bahwa dalam perkara tersebut telah terungkap bahwa dari awal terdakwa tidak memiliki niat maupun motif untuk menculik atau melarikan orang baik sendiri-sendiri maupun bersama-sama.
Meskipun begitu, pada Selasa 7 Juni 2022 Ketua Majelis Hakim Pengadilan Militer Tinggi II Jakarta Timur, Brigjen Faridah Faisal, menyatakan Kolonel Priyanto terbukti bersalah atas tindakan pembunuhan berencana terhadap sejoli Nagreg. Pada putusannya, Ia menjatuhkan hukuman berupa pidana pokok penjara seumur hidup dan juga menjatuhkan pidana tambahan berupa pemecatan Kolonel Priyanto dari kesatuan TNI.
Tanggapan
Hukuman yang dijatuhkan kepada Kolonel Priyanto atas perbuatannya merupakan hal yang wajar, dimana pemecatan dari TNI dan vonis penjara seumur hidup merupakan hukuman yang setimpal. Akan tetapi, terlepas dari hukuman tersebut, Kolonel Priyanto masih memiliki tanggung jawab yang harus dilakukan dengan membayar restitusi kepada keluarga korban mengingat umur korban yang masih berada di dalam usia produktif. Menurut tanggapan PBHI, apabila restitusi tersebut tidak dibayar oleh Kolonel Priyanto sebagai terdakwa, maka perlu dibayar oleh institusi TNI atau negara sebagaimana latar belakang perkara yang diadili di Pengadilan Militer.
Brigjen Faridah Faisal juga menerangkan bahwa di dalam kasus ini terdapat alasan yang meringankan dan yang memberatkan hukuman, seperti lama dinas terdakwa selama 28 tahun sebagai pertimbangan keringanan, dan aksi pembunuhan yang dilakukan dalam kapasitas terdakwa sebagai prajurit dengan pangkat kolonel sebagai pertimbangan pemberatan. Selain itu, tindakan yang dilakukan Kolonel Priyanto juga secara jelas bertentangan dengan nilai dasar Pancasila terhadap perikemanusiaan yang adil dan beradab, merusak ketertiban, keamanan, dan kedamaian masyarakat.
Comments